Uh sungguh rasanya aku tak dapat melepas perasaan ini,,aku tak dapat melepasnya walau sekejap mata.
I REALLY LIKE...HIM
WHY??
Em...i have much reason for that,,but
I REALLY HATE...HIM
WHY??
Because...why I like a wrong men...ark...
WHAT HAPPEN with ME?
Lama2 bisa gila...
Plis somebody help me...give me reason but dont give me choice because just to make the same mistake again(hohoho i like this song)
why this men, for long I was deleted this men from my life, n his come back with the new world.
Oh no... First time he comeback, site beside me, smile to me, n bla bla bla...
Ark crazy gw lama2...
Say not love, but have much love for him.
Tapi lama waktu berlalu sungguh amat aneh kisah ini...he always beside me but always to look the another way...he not really beside me...
Aku bohongi hatiku dan hati semua orang.
Sunday, September 27, 2009
Friday, September 18, 2009
Perjalanan
sebelumnya makasih seseorang yang udah bisa ngebaca pikiran gw buat bikin nih cerita, semoga gw gak maels ngerjainnya,,,hahahahaha
***
3. Rasa gunda begitu menguasai hatinya padahal sejam lalu ia begitu yakin untuk kembali. Ia terus menarik napas panjang dan mencoba untuk terus melangkah tapi ia juga terus berhenti berjalan dan menahan napas.
"Apa aku siap? Apa aku siap?" Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Ilyas berhenti dan melewati jalan lain. Ia terus berjalan hingga bertemu sebuah tempat duduk dibawah sebuah pohon. Ia duduk disana dan memandang langit yang sudah mulai tampak semburat kemerahan.
“Ras Indi.” Panggil laki-laki tua yang berjanggut putih.
Ras Indi berlari kearahnya tanpa berkata.
“Sedang apa kamu?”
Ras Indi berusaha mencari jawaban, “Tak sedang melakukan apa-apa, ada apa kek?”
Laki-laki tua berjanggut yang dipanggil kakek oleh Ras Indi sebenarnya bukan kakek kandungnya, Ibu Ras Indi ketika remaja ditemukan oleh kakek itu ketika meringkuk hampir mati disudut jalan. Kakek itu membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Sungguh beruntung nasibnya.
Hingga 7 tahun kemudian lahirlah Ras Indi dari rahim ibunya dan berayah seorang laki-laki tampan dari pulau sumatra, tapi sayang sang ayah tewas dalam sebuah kecelakaan tragis ketika Ras Indi berumur 3 tahun.
“Berapa umurmu sekarang?” Tanya kakek.
Ras Indi memandang wajah kakeknya, “7 tahun.” Jawabnya singkat.
Sebelum lanjut berbicara kakek mencium kening Ras Indi, “Kenalkan namanya Ilyas.”
Ras Indi mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Ilyas, “Ras Indi Wardana, panggil Ras Indi saja.”
Kakek tersenyum.
Sekali lagi Ilyas menarik napas panjang lalu bangkit dari duduknya. Ia ingat senyuman pertama Ras indi kepadanya ketika menjabat tangannya.
Ayo Ilyas kuatkan tekadmu, jangan kecewakan dia lagi.
Ilyas kembali membulatkan tekadnya menemui Ras Indi dan anaknya yang belum pernah ia temui secara langsung.
***
“Mama…” Teriak seorang anak laki-laki sambil berlari kearah Ras Indi.
“Ada apa sayang?”
“Ada yang cari mama.” Ucapnya sambil minta untuk digendong Ras Indi.
“Siapa?”
Anak itu mengangkat bahu dan memeluk Ras Indi.
Ras Indi sangat berharap kalau tamu yang datang adalah orang yang seminggu lalu ia temui, orang yang sudah sangat melekat dalam hatinya.
“Maaf bu,,,saya mau menawarkan barang.”
Ras Indi tersenyum. Sungguh ia salah sangka.
“Maaf aja ya mas…”
Laki-laki itu pergi dengan senyum ramahnya.
Ras Indi menutup pagar rumahnya.
“Ma siapa tuh?” Tanya Piyo tiba-tiba.
Ras Indi berbalik dan melihat sosok yang ia harapkan. Ia kembali membuka pagar dan langsung memeluk laki-laki itu.
Sungguh lega perasaan Ilyas, melihat Ras Indi dan anaknya.
***
2.Siang itu matahari begitu semangat memancarkan panasnya. Diantara keributan di pasar induk seorang laki-laki gagah duduk dibawah sebuah pohon, membaca koran sambil sesekali meminum kopi dari gelas kaca. Begitu serius dan tak merasa terganggu sedikitpun dengan lalu lalang orang disekelilingnya.
“Bang…” Panggil seorang anak kecil berbaju lusuh dan ingusan.
Laki-laki itu menghentikan bacanya, “Ada apa?”
“Ada yang nyari tuh…”
“Siapa?”
Anak kecil itu hanya mengangkat bahunya.
“Suruh kesini aja.” Perintah laki-laki itu.
“Oke bang.” Ucap anak kecil itu cengengesan.
“Eh…lap tuh ingus lo, jijik gw liatnya.” Laki-laki itu meminum kopinya dan anak kecil berlaki menjauh darinya.
Siapa yang nyari gw yah, kok pake nyruh tuh anak yang bilang ke gw, biasanya kalo ada yang nyari gw si Unang yang nganter. Hati laki-laki itu bertanya sendiri.
“Terima kasih yah udah nganterin, nih buat jajan kamu.” Terdengar suara perempuan dari belakang Ilyas.
Ilyas membalikkan badannya karena merasa kenal dengan sura itu. Ia begitu terkejut dengan pa yang ia lihat saat ini.
“Biasa aja lagi gak usah kaget gitu.” Perempuan itu tersenyum dan menepuk pundak Ilyas.
Senyumnya masih sama bahkan tak berubah sedikitpun walau umur perempuan itu sudah semakin dewasa dari 10 tahun yang lalu.
“Kenapa kesini? Tempat ini tak pantas untukmu.” Ucap Ilyas tegas.
“Lalu apa pantas tempat ini untukmu?” Perempuan itu balik bertanya.
Ilyas terdiam tak bisa menjawab.
“Kau masih ingat diriku, Ras Indi Wardana.” Tanya perempuan yang bernama Ras Indi Wardana kepada Ilyas.
“Ada apa sebenarnya? Katakan saja? Tak pantas buat kamu berlama-lama bicara denganku, akan rusak nama kamu nanti.” Ucap Ilyas yang tak berani memandang wajah Ras Indi.
“Rusak? Kamu bilang namaku rusak? Sudah rusak dari dulu namaku gara-gara kamu buat apa aku peduli tentang hal itu lagi.” Ras Indi sedikit gusar karena ucapan Ilyas tadi.
Ilyas menghela napas, “Baik aku minta maaf tentang hal itu, sekarang katakan baik-baik ada apa kau kesini?” Ilyas memberanikan diri menatap mata dan wajah Ras Indi.
“Mau berapa lama kau meninggalkan aku, tak tahukah kamu kita sudah mempunyai anak, sudah taman kanak-kanak dia sekarang, tak bisa lagi aku berbohong tentang kamu kepada anak kita.” Ras Indi menunggu reaksi dari Ilyas.
“Aku tahu, tapi aku tak sanggup menghadapinya nanti, apalagi bila ia bertanya kemana aku selama ini.”
“Ilyas, biarlah semua yang sudah terjadi, akupun sudah lelah marah padamu lagi, kita mulai dari awal, kita bangun rumah kita kembali.” Ras Indi meyakinkan Ilyas untuk pulang bersamanya.
Ilyas mengalihkan pandangannya.
Tak jauh dari sana anak-anak muda membicarakan Ilyas.
“Eh ada yang tau gak tuh perempuan siapa? Kayanya akrab banget sama bang Ilyas? Gw belom pernah liat bang Ilyas ngomong se akrab itu sama perempuan.” Tanya anak muda yang tak berambut alias gundul kepada yang lain.
“Bukan akrab itu sih tapi mesra, kaya di film-film gitu.” Celetuk temannya yang bertopi.
“Siapa yah dia?” Tanya yang lain.
“Oh iya…!” Salah satu diantara mereka berseru.
“Oh iya apa?” Tanya pemuda yang gundul.
“Jangan-jangan dia itu pacarnya bang Ilyas.” Ucap pemuda itu hati-hati tapi dengan penuh semangat.
“Ah jangan ngaco lo, bisa dibacok sama bang Ilyas, udah lanjut kerja lagi kita.”
“Ilyas.” Panggil pelan Ras Indi.
“ Beri aku waktu.”
Ras Indi memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan meyakinkan dirinya bahwa Ilyas akan kembali padanya, sudah cukup ia berjauhan dengan belahan hatinya. “Baik, aku beri kau waktu seminggu dari hari ini.” Ras Indi mengeluarkan selembar kertas lalu menyerahkannya kepada Ilyas, “ Ini tempat tinggalku sekarang. Pulanglah sayang, aku dan anak mu menunggu dirumah.”
***
“Seminggu ini liat gak sih perubahan bang Ilyas, dia jadi pendiem, kalo ditawarin sesuatu gak mau, gak suka diajak ngobrol yang lebih parahnya lagi gak minta duit dia sama pedang udah seminggu ini.” Si gundul buka obrolan malam itu.
“Iya tuh gw juga ngerasa kalo bang Ilyas berubah semenjak kedatengan perempuan minggu lalu, gw jadi penasaran sebenernya siapa sih tuh perempuan. Apa bener itu pacarnya bang Ilyas, tapi gw gak pernah liat bang Ilyas kemana-mana ato kenalan sama cewe di pasar ini.” Si Uhui yang suka banget pake topi berkomentar.
“Tapi siap tau aja bener, kita kan gak selalu ada sama bang Ilyas, bisa aja bang Ilyas diem-diem pergi pas kita kerja.” Ucap Joko.
“Ah gak mungkin deh kayanya.” Si Gundul yakin banget kalo Ilyas tak pernah meniggalkan pasar, kalo pun mau pergi pasti ia menitipkan pesan ke Gundul.
“Trus sebenernya ada apa sama bang Ilyas?” Tanya Joko.
“Ehm…” Tiba-tiba Ilyas sudah berdiri dibelakang mereka, “Jangan bicarakan saya di belakang.”
“Eh bang Ilyas, maaf bang.”
“Ada apa? Kalian ngobrol gak ngajak-ngajak saya.” Ilyas duduk diantara mereka.
“Ini bang Ilyas, sebelumnya kita mau minta maaf, sebenernya abang kenapa sih seminggu ini? Kita perhatiin kaya ada yang lagi dipikirin bang.” Tanya Gundul memberanikan diri.
Ilyas memandang satu-persatu pemuda yang selama ini dibinanya, walaupun dy jadi centeng pasar tapi gak pernah sekalipun dia ngajarin tuh pemuda buat meras para pedagang, kalo mau duit yah mereka mesti kerja.
Ilyas tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, “Memang ada yang abang pikirin akhir-akhir ini.”
“Apa tuh bang? Kasih tau kekita aja, kali aja kita bisa bantu.”
“Abang mesti pergi dari sini.”
“Hah…!!!” Semuanya kaget dengan pernyataan Ilyas.
“Kenapa bang? Apa ada diantara kita yang bikin salah sama abang?” tanya Joko.
“Bukan itu masalahnya. Abang harus pulang, abang mesti tunjukin kalo abang bertanggung jawab.”
“Tanggung jawab apaan bang?”
“Tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.”
“Hah…jadi abang udah nikah?” Gundul kaget.
Ilyas hanya tersenyum.
“Terus kalo abang pergi yang disini siapa bang?” Tanya Uhui sambil garuk-garuk kepala alias garuk-garuk topi yang jarang banget dilepasnya.
“Kan ada kalian, abang yakin kalian pasti bisa jaga tempat ini, tapi inget apa yang abang ajarin, kalian disini tuh untuk ngebantu pedagang bukan nyusahin pedangang.” Peringat Ilyas.
“Iya bang, tapi apa mampu kita hidup disini tanpa abang?”
“Abang yakin kalian mampu, kalian ini berenam sedang abang dulu Cuma sendiri buktinya abang mampu hidup sampai sekarang. Abang pergi malem ini juga.” Ucap Ilyas lalu bangkit dari duduknya diikuti yang lainnya.
Tanpa perintah atau ajakan mereka semua menyalami tangan Ilyas, bahkan beberapa orang diantara mereka menangis.
Ilyas pergi malam itu secara sembunyi-sembunyi, untung pasar malam itu agak sepi jadi dia bisa leluasa jalan sendirian.
***
1.Tentang seorang anak dari pinggiran kota, kehidupannya begitu keras sampai ia mengenal silat.
Ia terus berlari, terus dan terus, untung saja ia sudah hapal jalan itu, ia melewati gank-gank dengan langkah kakinya yang sangat terburu-buru. Sesekali ia melihat kebelakang melihat orang-orang yang terus mengejarnya sambil membawa apa saja yang mereka temui. Aku harus lari, aku harus lolos dari mereka, kata-kata itu terus ia ucapkan dalam hati.
Ia mengatur napasnya agak tak bersuara, ia menundukkan keplanya diantara lututnya, ia diam dan berdoa, disana ia bersembunyi diantara tumpukan kardus. Ia tak berani keluar hingga benar-benar tak ada suara satupun disana. Ia tetap berlari-terus berlari, namun ia tak tau kemana ia harus berlari. Hingga…ia hanya mampu terduduk dipinggir jalan yang gelap dan tak ada yang melintas.
Akhirnya ia tertidur disana.
“Ilyas…kenapa kamu bengong. Ayo konsentrasi.” Kakaknya menempeleng kepala Ilyas yang tidak memperhatikan ucapak kakaknya, “Kapan kamu mau pintar kalau belajar saja tak konsentrasi.”
“Kakak, aku mau belajar silat seperti kakak.” Ucapnya sambil menatap kakak satu-satunya, kakak yang selalu melindunginya saat ia dijahili teman-temannya.
Kakaknya tersenyum, “Kakak janji, kalau kamu pintar disekolah dan mendapat juara umum, kakak akan mengajarkan semua yang pernah kakak pelajari, ayao sekarang kita mulai dari awal.” Kakaknya mengajarkan kembali pelajaran yang tadi ia ajarkan kepada Ilyas.
Ilyas dengan masih mengenakan seragam sekolahnya, berlari terus mencari kakaknya untuk menunjukkan apa yang ia bawa. Ilyas meninggalkan ibunya dibelakang dengan senyuman.
Kakaknya menangkap dan memeluk Ilyas, “Bagaimana hasilnya?”
“Aku juara umum kak, nilaiku yang paling bagus diantara yang lain.” Ucap Ilyas begitu bangga.
Kakaknya tersenyum, memeluknya dan mencium kening Ilyas.
Ilyas tertidur dipelukan kakaknya dengan wajah tersenyum malam itu, ia begitu bangga dengan hasil belajarnya selama ini tapi yang tak sabar menunggu besok pagi, pelajaran silat pertamanya.
“Ranu….” Teriak ibunya dalam rintihan tangis dan kerumunan orang yang sibuk dengan ember ditangan mereka. Ilyas tak sadarkan diri.
Seseorang menendang pantatnya, “Hai…disini kau rupanya ketika mereka mengejar….ckckckc…cepat juga larimu.” Laki-laki sebayanya duduk disampingnya dan menyalakan sebatang rokok, “Mau?”
Ilyas menggeleng.
“Ah aku lupa, kau tidak merokok buat apa aku menawarimu, sayang barang kita tertinggal disana.” Temannya menghembuskan asap rokok ke wajah Ilyas.
“Jauhkan asap dan rokok itu dariku.” bentak Ilyas tiba-tiba lalu langsung meninggalkan temannya itu.
“Mau kemana kau?” Panggil temannya tanpa berusaha menyusul Ilyas.
“Kemana saja yang tak mengharuskanku mencuri dan menghisap asap rokok.” jawab Ilyas enteng.
“Hahahaha….” Temannya mengejar Ilyas yang sudah cukup menjauh, “Kau mau berhenti mencuri? Darimana nantinya kau dapat makan?”
“Urusanku, bukan urusanmu.” Ilyas mempercepat langkahnya dan meninggalkan temannya yang masih tertawa dibelakang sana.
Ini urusanku, bukan urusanmu, aku mau berhenti mencuri, ini urusanku bukan urusanmu. terus dirinya berkata-kata sendiri
***
3. Rasa gunda begitu menguasai hatinya padahal sejam lalu ia begitu yakin untuk kembali. Ia terus menarik napas panjang dan mencoba untuk terus melangkah tapi ia juga terus berhenti berjalan dan menahan napas.
"Apa aku siap? Apa aku siap?" Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Ilyas berhenti dan melewati jalan lain. Ia terus berjalan hingga bertemu sebuah tempat duduk dibawah sebuah pohon. Ia duduk disana dan memandang langit yang sudah mulai tampak semburat kemerahan.
“Ras Indi.” Panggil laki-laki tua yang berjanggut putih.
Ras Indi berlari kearahnya tanpa berkata.
“Sedang apa kamu?”
Ras Indi berusaha mencari jawaban, “Tak sedang melakukan apa-apa, ada apa kek?”
Laki-laki tua berjanggut yang dipanggil kakek oleh Ras Indi sebenarnya bukan kakek kandungnya, Ibu Ras Indi ketika remaja ditemukan oleh kakek itu ketika meringkuk hampir mati disudut jalan. Kakek itu membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Sungguh beruntung nasibnya.
Hingga 7 tahun kemudian lahirlah Ras Indi dari rahim ibunya dan berayah seorang laki-laki tampan dari pulau sumatra, tapi sayang sang ayah tewas dalam sebuah kecelakaan tragis ketika Ras Indi berumur 3 tahun.
“Berapa umurmu sekarang?” Tanya kakek.
Ras Indi memandang wajah kakeknya, “7 tahun.” Jawabnya singkat.
Sebelum lanjut berbicara kakek mencium kening Ras Indi, “Kenalkan namanya Ilyas.”
Ras Indi mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Ilyas, “Ras Indi Wardana, panggil Ras Indi saja.”
Kakek tersenyum.
Sekali lagi Ilyas menarik napas panjang lalu bangkit dari duduknya. Ia ingat senyuman pertama Ras indi kepadanya ketika menjabat tangannya.
Ayo Ilyas kuatkan tekadmu, jangan kecewakan dia lagi.
Ilyas kembali membulatkan tekadnya menemui Ras Indi dan anaknya yang belum pernah ia temui secara langsung.
***
“Mama…” Teriak seorang anak laki-laki sambil berlari kearah Ras Indi.
“Ada apa sayang?”
“Ada yang cari mama.” Ucapnya sambil minta untuk digendong Ras Indi.
“Siapa?”
Anak itu mengangkat bahu dan memeluk Ras Indi.
Ras Indi sangat berharap kalau tamu yang datang adalah orang yang seminggu lalu ia temui, orang yang sudah sangat melekat dalam hatinya.
“Maaf bu,,,saya mau menawarkan barang.”
Ras Indi tersenyum. Sungguh ia salah sangka.
“Maaf aja ya mas…”
Laki-laki itu pergi dengan senyum ramahnya.
Ras Indi menutup pagar rumahnya.
“Ma siapa tuh?” Tanya Piyo tiba-tiba.
Ras Indi berbalik dan melihat sosok yang ia harapkan. Ia kembali membuka pagar dan langsung memeluk laki-laki itu.
Sungguh lega perasaan Ilyas, melihat Ras Indi dan anaknya.
***
2.Siang itu matahari begitu semangat memancarkan panasnya. Diantara keributan di pasar induk seorang laki-laki gagah duduk dibawah sebuah pohon, membaca koran sambil sesekali meminum kopi dari gelas kaca. Begitu serius dan tak merasa terganggu sedikitpun dengan lalu lalang orang disekelilingnya.
“Bang…” Panggil seorang anak kecil berbaju lusuh dan ingusan.
Laki-laki itu menghentikan bacanya, “Ada apa?”
“Ada yang nyari tuh…”
“Siapa?”
Anak kecil itu hanya mengangkat bahunya.
“Suruh kesini aja.” Perintah laki-laki itu.
“Oke bang.” Ucap anak kecil itu cengengesan.
“Eh…lap tuh ingus lo, jijik gw liatnya.” Laki-laki itu meminum kopinya dan anak kecil berlaki menjauh darinya.
Siapa yang nyari gw yah, kok pake nyruh tuh anak yang bilang ke gw, biasanya kalo ada yang nyari gw si Unang yang nganter. Hati laki-laki itu bertanya sendiri.
“Terima kasih yah udah nganterin, nih buat jajan kamu.” Terdengar suara perempuan dari belakang Ilyas.
Ilyas membalikkan badannya karena merasa kenal dengan sura itu. Ia begitu terkejut dengan pa yang ia lihat saat ini.
“Biasa aja lagi gak usah kaget gitu.” Perempuan itu tersenyum dan menepuk pundak Ilyas.
Senyumnya masih sama bahkan tak berubah sedikitpun walau umur perempuan itu sudah semakin dewasa dari 10 tahun yang lalu.
“Kenapa kesini? Tempat ini tak pantas untukmu.” Ucap Ilyas tegas.
“Lalu apa pantas tempat ini untukmu?” Perempuan itu balik bertanya.
Ilyas terdiam tak bisa menjawab.
“Kau masih ingat diriku, Ras Indi Wardana.” Tanya perempuan yang bernama Ras Indi Wardana kepada Ilyas.
“Ada apa sebenarnya? Katakan saja? Tak pantas buat kamu berlama-lama bicara denganku, akan rusak nama kamu nanti.” Ucap Ilyas yang tak berani memandang wajah Ras Indi.
“Rusak? Kamu bilang namaku rusak? Sudah rusak dari dulu namaku gara-gara kamu buat apa aku peduli tentang hal itu lagi.” Ras Indi sedikit gusar karena ucapan Ilyas tadi.
Ilyas menghela napas, “Baik aku minta maaf tentang hal itu, sekarang katakan baik-baik ada apa kau kesini?” Ilyas memberanikan diri menatap mata dan wajah Ras Indi.
“Mau berapa lama kau meninggalkan aku, tak tahukah kamu kita sudah mempunyai anak, sudah taman kanak-kanak dia sekarang, tak bisa lagi aku berbohong tentang kamu kepada anak kita.” Ras Indi menunggu reaksi dari Ilyas.
“Aku tahu, tapi aku tak sanggup menghadapinya nanti, apalagi bila ia bertanya kemana aku selama ini.”
“Ilyas, biarlah semua yang sudah terjadi, akupun sudah lelah marah padamu lagi, kita mulai dari awal, kita bangun rumah kita kembali.” Ras Indi meyakinkan Ilyas untuk pulang bersamanya.
Ilyas mengalihkan pandangannya.
Tak jauh dari sana anak-anak muda membicarakan Ilyas.
“Eh ada yang tau gak tuh perempuan siapa? Kayanya akrab banget sama bang Ilyas? Gw belom pernah liat bang Ilyas ngomong se akrab itu sama perempuan.” Tanya anak muda yang tak berambut alias gundul kepada yang lain.
“Bukan akrab itu sih tapi mesra, kaya di film-film gitu.” Celetuk temannya yang bertopi.
“Siapa yah dia?” Tanya yang lain.
“Oh iya…!” Salah satu diantara mereka berseru.
“Oh iya apa?” Tanya pemuda yang gundul.
“Jangan-jangan dia itu pacarnya bang Ilyas.” Ucap pemuda itu hati-hati tapi dengan penuh semangat.
“Ah jangan ngaco lo, bisa dibacok sama bang Ilyas, udah lanjut kerja lagi kita.”
“Ilyas.” Panggil pelan Ras Indi.
“ Beri aku waktu.”
Ras Indi memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan meyakinkan dirinya bahwa Ilyas akan kembali padanya, sudah cukup ia berjauhan dengan belahan hatinya. “Baik, aku beri kau waktu seminggu dari hari ini.” Ras Indi mengeluarkan selembar kertas lalu menyerahkannya kepada Ilyas, “ Ini tempat tinggalku sekarang. Pulanglah sayang, aku dan anak mu menunggu dirumah.”
***
“Seminggu ini liat gak sih perubahan bang Ilyas, dia jadi pendiem, kalo ditawarin sesuatu gak mau, gak suka diajak ngobrol yang lebih parahnya lagi gak minta duit dia sama pedang udah seminggu ini.” Si gundul buka obrolan malam itu.
“Iya tuh gw juga ngerasa kalo bang Ilyas berubah semenjak kedatengan perempuan minggu lalu, gw jadi penasaran sebenernya siapa sih tuh perempuan. Apa bener itu pacarnya bang Ilyas, tapi gw gak pernah liat bang Ilyas kemana-mana ato kenalan sama cewe di pasar ini.” Si Uhui yang suka banget pake topi berkomentar.
“Tapi siap tau aja bener, kita kan gak selalu ada sama bang Ilyas, bisa aja bang Ilyas diem-diem pergi pas kita kerja.” Ucap Joko.
“Ah gak mungkin deh kayanya.” Si Gundul yakin banget kalo Ilyas tak pernah meniggalkan pasar, kalo pun mau pergi pasti ia menitipkan pesan ke Gundul.
“Trus sebenernya ada apa sama bang Ilyas?” Tanya Joko.
“Ehm…” Tiba-tiba Ilyas sudah berdiri dibelakang mereka, “Jangan bicarakan saya di belakang.”
“Eh bang Ilyas, maaf bang.”
“Ada apa? Kalian ngobrol gak ngajak-ngajak saya.” Ilyas duduk diantara mereka.
“Ini bang Ilyas, sebelumnya kita mau minta maaf, sebenernya abang kenapa sih seminggu ini? Kita perhatiin kaya ada yang lagi dipikirin bang.” Tanya Gundul memberanikan diri.
Ilyas memandang satu-persatu pemuda yang selama ini dibinanya, walaupun dy jadi centeng pasar tapi gak pernah sekalipun dia ngajarin tuh pemuda buat meras para pedagang, kalo mau duit yah mereka mesti kerja.
Ilyas tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, “Memang ada yang abang pikirin akhir-akhir ini.”
“Apa tuh bang? Kasih tau kekita aja, kali aja kita bisa bantu.”
“Abang mesti pergi dari sini.”
“Hah…!!!” Semuanya kaget dengan pernyataan Ilyas.
“Kenapa bang? Apa ada diantara kita yang bikin salah sama abang?” tanya Joko.
“Bukan itu masalahnya. Abang harus pulang, abang mesti tunjukin kalo abang bertanggung jawab.”
“Tanggung jawab apaan bang?”
“Tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.”
“Hah…jadi abang udah nikah?” Gundul kaget.
Ilyas hanya tersenyum.
“Terus kalo abang pergi yang disini siapa bang?” Tanya Uhui sambil garuk-garuk kepala alias garuk-garuk topi yang jarang banget dilepasnya.
“Kan ada kalian, abang yakin kalian pasti bisa jaga tempat ini, tapi inget apa yang abang ajarin, kalian disini tuh untuk ngebantu pedagang bukan nyusahin pedangang.” Peringat Ilyas.
“Iya bang, tapi apa mampu kita hidup disini tanpa abang?”
“Abang yakin kalian mampu, kalian ini berenam sedang abang dulu Cuma sendiri buktinya abang mampu hidup sampai sekarang. Abang pergi malem ini juga.” Ucap Ilyas lalu bangkit dari duduknya diikuti yang lainnya.
Tanpa perintah atau ajakan mereka semua menyalami tangan Ilyas, bahkan beberapa orang diantara mereka menangis.
Ilyas pergi malam itu secara sembunyi-sembunyi, untung pasar malam itu agak sepi jadi dia bisa leluasa jalan sendirian.
***
1.Tentang seorang anak dari pinggiran kota, kehidupannya begitu keras sampai ia mengenal silat.
Ia terus berlari, terus dan terus, untung saja ia sudah hapal jalan itu, ia melewati gank-gank dengan langkah kakinya yang sangat terburu-buru. Sesekali ia melihat kebelakang melihat orang-orang yang terus mengejarnya sambil membawa apa saja yang mereka temui. Aku harus lari, aku harus lolos dari mereka, kata-kata itu terus ia ucapkan dalam hati.
Ia mengatur napasnya agak tak bersuara, ia menundukkan keplanya diantara lututnya, ia diam dan berdoa, disana ia bersembunyi diantara tumpukan kardus. Ia tak berani keluar hingga benar-benar tak ada suara satupun disana. Ia tetap berlari-terus berlari, namun ia tak tau kemana ia harus berlari. Hingga…ia hanya mampu terduduk dipinggir jalan yang gelap dan tak ada yang melintas.
Akhirnya ia tertidur disana.
“Ilyas…kenapa kamu bengong. Ayo konsentrasi.” Kakaknya menempeleng kepala Ilyas yang tidak memperhatikan ucapak kakaknya, “Kapan kamu mau pintar kalau belajar saja tak konsentrasi.”
“Kakak, aku mau belajar silat seperti kakak.” Ucapnya sambil menatap kakak satu-satunya, kakak yang selalu melindunginya saat ia dijahili teman-temannya.
Kakaknya tersenyum, “Kakak janji, kalau kamu pintar disekolah dan mendapat juara umum, kakak akan mengajarkan semua yang pernah kakak pelajari, ayao sekarang kita mulai dari awal.” Kakaknya mengajarkan kembali pelajaran yang tadi ia ajarkan kepada Ilyas.
Ilyas dengan masih mengenakan seragam sekolahnya, berlari terus mencari kakaknya untuk menunjukkan apa yang ia bawa. Ilyas meninggalkan ibunya dibelakang dengan senyuman.
Kakaknya menangkap dan memeluk Ilyas, “Bagaimana hasilnya?”
“Aku juara umum kak, nilaiku yang paling bagus diantara yang lain.” Ucap Ilyas begitu bangga.
Kakaknya tersenyum, memeluknya dan mencium kening Ilyas.
Ilyas tertidur dipelukan kakaknya dengan wajah tersenyum malam itu, ia begitu bangga dengan hasil belajarnya selama ini tapi yang tak sabar menunggu besok pagi, pelajaran silat pertamanya.
“Ranu….” Teriak ibunya dalam rintihan tangis dan kerumunan orang yang sibuk dengan ember ditangan mereka. Ilyas tak sadarkan diri.
Seseorang menendang pantatnya, “Hai…disini kau rupanya ketika mereka mengejar….ckckckc…cepat juga larimu.” Laki-laki sebayanya duduk disampingnya dan menyalakan sebatang rokok, “Mau?”
Ilyas menggeleng.
“Ah aku lupa, kau tidak merokok buat apa aku menawarimu, sayang barang kita tertinggal disana.” Temannya menghembuskan asap rokok ke wajah Ilyas.
“Jauhkan asap dan rokok itu dariku.” bentak Ilyas tiba-tiba lalu langsung meninggalkan temannya itu.
“Mau kemana kau?” Panggil temannya tanpa berusaha menyusul Ilyas.
“Kemana saja yang tak mengharuskanku mencuri dan menghisap asap rokok.” jawab Ilyas enteng.
“Hahahaha….” Temannya mengejar Ilyas yang sudah cukup menjauh, “Kau mau berhenti mencuri? Darimana nantinya kau dapat makan?”
“Urusanku, bukan urusanmu.” Ilyas mempercepat langkahnya dan meninggalkan temannya yang masih tertawa dibelakang sana.
Ini urusanku, bukan urusanmu, aku mau berhenti mencuri, ini urusanku bukan urusanmu. terus dirinya berkata-kata sendiri
Monday, September 7, 2009
Sembilan tahun tak bertemu
Dalam waktu 2 minggu, seminggu pertama cuma ngobrol di fb, minggu kedua kumpul rapat n minguu ketiga udah buka bareng n kumpul2 berhaha hihi ria bersama sahabat2 di SD dulu,, gak kerasa udah sembilan tahun gak kumpul bareng kaya gini padahal dulu pas SD tiap hari kumpul bareng, yah secara rumahnya satu komplek.
Dibalik kisah kita yang bisa dikatakan gemilang ternyata ada juga kisah2 teman2 yang sungguh menyedihkan, padahal kalo inget dulu gak mungkin bisa kaya gitu deh.
Sempet juga ketempat pak Dede sekalian jenguk beliau yang habis sakit, gak berubah masih suka bercanda n masih suka ngasih nasehat dibalik candanya.
Masih ada segudang rencana lagi buat ngumpulin mereka semua kedalam pertemannan yang tak akan pernah putus.
Semoga sukses Panitia 2000 dalam mengemban rencana2 kita...
Dibalik kisah kita yang bisa dikatakan gemilang ternyata ada juga kisah2 teman2 yang sungguh menyedihkan, padahal kalo inget dulu gak mungkin bisa kaya gitu deh.
Sempet juga ketempat pak Dede sekalian jenguk beliau yang habis sakit, gak berubah masih suka bercanda n masih suka ngasih nasehat dibalik candanya.
Masih ada segudang rencana lagi buat ngumpulin mereka semua kedalam pertemannan yang tak akan pernah putus.
Semoga sukses Panitia 2000 dalam mengemban rencana2 kita...
Subscribe to:
Posts (Atom)