A.
Misteri Padepokan Silat Saba
Malam makin dingin, tapi tangan-tangan
kekar para kuli itu tak henti bekerja, untuk munutupi rasa dingin malam itu
mereka memakai baju berlapis serta sarung tangan, beberapa diantara mereka
memakai kupluk melindungi kepala mereka dari dingin. Satu persatu seng yang
menutupi sebidang tanah itu pindahkan dari posisinya, terlihat di balik
seng-seng itu sebuah pagar yang berdiri tegak mengelilingi sebuah bangunan
mewah yang dikelilingi bangunan-bangun kecil.
Malam itu sepi, hanya mungkin 3
buah motor yang melintas di jalan raya depan bangunan itu. Bila beberapa kuli
sedang merobohkan seng-seng maka yang lainnya sedang mendirikan sebuah papan
nama yang bertuliskan dengan huruf besar-besar "PADEPOKAN SILAT
SABA".
Dua orang terlihat diantara
tiang bangunan yang telah sempurna itu, "Nikmati malam terakhirmu sebagai
dirimu yang lama, karena ketika matahari menebarkan sinarnya kau hanya seorang
penjaga padepokan, kau harus menyembunyikan cerita tentang dirimu dimasa lalu,
kau bukan dirimu yang lalu." Ucap seorang wanita yang menutupi dirinya dengan
pakaian serba hitam.
"Ya, ini pilihanku
sendiri, aku akan menjalankannya walau mungkin suatu saat timbul perasaan aneh
karena aku bukan diriku yang dulu." cukup lama laki-laki ini terdiam lalu
berbicara kembali, "Benar sudah kau siapkan semua yang akan aku gunakan
sebagai argumentasi tempat ini?"
"Mari bicarakan di
kantor." ajak wanita itu. Mereka berdua berjalan menuju sebuah kantor
kecil berada agak dibelakang gedung.
"Ini surat-surat tentang
dirimu, silahkan kau periksa dan simpan baik-baik." Wanita itu menyerahkan
sebuah map kepada laki-laki itu setelah diperiksa lalu wanita itu memberikan
sebuah amplop lagi.
"Sangat banyak tampaknya
yang harus aku pelajari." Komentar yang laki-laki.
"Tak lebih sedikit dari
apa yang harus aku pelajari selama melakukan hal ini." Balas sang wanita
sambil tertawa.
Pagi telah menunjukkan
kegagahannya dengan jubah cahaya matahari, langit tampak begitu mempesona dan
membuat yang melihatnya begitu terpukau. Tapi mereka lebih terpukau lagi dengan
tempat yang selama beberapa tahun ini tak bisa mereka ketahui apa isinya, tapi
kini telah jelas apa yang ada dibalik seng-seng yang disusun tinggi itu.
"Wah, baru kali ini saya
melihat padepokan sebesar ini, lebih besar dari yang berada di taman mini
mungkin." Ucap seorang yang berjaket merah kepada rekannya yang ia gonceng
di sepedah motornya.
"Memangnya itu padepokan?
Tau darimana?" tampaknya laki-laki sebaya dengan yang menggoncengnya ini
tak melihat sebuah papan nama yang memang sengaja diletakkan ditempat yang tak
terlalu mencolok.
"Lihat di dekat pohon itu,
ada papan namanya." ucap kawannya menunjuk ke pohon dan papan nama yang
dimaksud.
"Mama liat deh itu gedung
apa ma? Ada tempat bermainnya disana, ada perosotannya disana." tunjuk
seorang anak kecil yang berumur kira-kira 5 tahun.
"Mama baru liat tempat
ini." komentar mamanya.
"Ayo ma kita kesana, aku
mau main perosotan." rengek anak itu.
"Jangan sekarang ya
sayang, lihat pagarnya saja masih di gembok, darimana kita bisa masuk."
Mama anak itu mencoba menjelaskan ke anaknya. Tampak sang anak memanyunkan
bibirnya.
Baru sehari seng-seng yang
menutupi tempat itu di buka, tetapi tempat itu sudah begitu terkenal dan
menjadi buah bibir di masyarakat sekitar maupun orang-orang yang berlalu lalang
didepan tempat itu. Tak hanya bentuk bangunannya saja yang terlihat megah tapi
juga cerita dibalik pembangunan tempat itu, karena sedikit dari mereka yang
mengetahui kapan dikirimkannya bahan bangunan dan sedikitnya informasi tentang
tempat itu.
D M N
Seminggu kemudian dihari yang
sama, beberapa pemuda gagah dan rupawan berpakaian biru bertuliskan
"padepokan silat saba, membangun generasi pelajar silat",
membagi-bagikan brosur kepada setiap orang dan setiap rumah yang mereka lewati.
Ibu-ibu tampak membicarakan
tempat itu karena selain tempat berlatih silat tempat itu juga memiliki taman
bermain untuk anak yang dapat mereka gunakan kapan saja. Sedangkan bapak-bapak
justru membicarakan tempat itu sebagai sesuatu yang aneh, di zaman canggih
seperti ini mana ada yang mau ikutan silat, itulah komentar diantara
bapak-bapak yang berkumpul.
Anak-anak remaja penasaran
dengan tempat itu, beredar kabar diantara mereka itu adalah tempat yang
dibangun oleh setan, mereka juga ingin mengetahui seperti apakah rasanya
melihat bangunan itu dari dekat dan menginjakkan kaki mereka di gedung luas
itu.
Dalam brosur yang mereka terima
dari pemuda-pemuda gagah, tertuliskan tanggal pembukaan tempat itu, selain ada
upacara pembukaan yang diikuti lebih dari seratus perguruan silat ada juga
pertandingan silat dan pagelaran pertunjukan silat bahkan diadakan juga kursus
bagi yang berminat belajar silat hari itu.
Acara ini memberi banyak ide
untuk mencari tambahan uang bagi penduduk sekitar, ada yang sudah mulai
menghitung-hitung keuntungan apa saja yang mereka peroleh nanti jika berjualan
disana. Pasti akan laris manis dagangan mereka dengan acara sebesar itu.
“Sejak kapan kau
membagi-bagikan brosur ini?”
“Kemarin.”
“Kau yang membagikannya?”
“Aku yang membuatnya, muridmu
yang membagikannya.”
“Muridku? Siapa maksudmu?”
“Ya muridmu, yang dulu kau
melupakanku karena mereka.” Ucap Andira ketus.
“Maksudnya siapa? Aku tak
pernah melupakanmu.”
“Mungkin bagimu tidak tapi
bagiku ya.”
Arya menjatuhkan dirinya di
sofa, “Aku tak menginginkan ini, kau justru akan membuka tentang diriku.”
Andira bangkit dan mendekati
Arya, duduk disampingnya dan memeluk tangan Arya, “Percayalah padaku, aku ingin
membesarkan tempat ini, membuat manfaat tempat ini, menjadikan banyak pemuda
generasi silat, aku ingin kau tetap disampingku menjaga tempat ini dan aku
ingin kau kembali membimbing mereka.”
Arya menatap wajah Andira, “Aku
tak bisa secepat itu memutuskan akan membimbing mereka kembali.”
“Aku tak memaksamu, kan aku
bilang aku ingin, kalau kau tak ingin, ya terserah.” Andira tersenyum pada
Arya, “Gak kangen bertemu dengan mereka?”
Arya menatap Andira dengan
wajahpenuh tanda Tanya.
“Temuilah mereka, kenalkan
dirimu yang baru, jalinlah hubungan yang baru dengan mereka, karena
bagaimanapun dulu kau telah banyak berjanji untuk mereka.” Andira mencoba
meyakinkan Arya.
Arya ingat betul bagaimana ia
melatih beberapa murid kesayangannya ditempat yang terpisah, tak memperkenalkan
mereka satu dengan yang lainnya, bahkan ia tek pernah menyebut nama yang lain
jika bersama dengan salah satu dari mereka. Arya pun ingat bagaimana
kejadian-kejadian dulu yang menimpanya hingga ia harus meminta bantuan dan
menjanjikan sesuatu pada mereka.
“Arya, jangan bengong, siap
ketemu mereka? Aku ada janji hari ini ketemu mereka.”
“Andira, kau baru aku tinggal 3
hari, sudah banyak yang kau lakukan rupanya.”
“Mumpung kau tidak ada.” Andira
tersenyum.
"Hai...sudah
lama?" sapa Andira ketika melihat Afdal dan keempat temannya.
"Belum kok kak. Siapa kak?" Tunjuk Afdal ke laki-laki yang bersama Andira.
"Arya. Kenalkan nama saya Arya."Arya mengulurkan tangannya pada Afdal.
"Afdal. Yang ini Bima, Puja, Ajak, Cendil eh Reja." Afdal mengenalkan keempat temannya dan Raja menyalaminya satu persatu.
"Kalian silahkan pesan makanan, kita santai aja ya disini."
"Asik..." Ujar Bima yang bertubuh agak gemuk.
Sebelum memulai pembicaraan mereka memesan makanan.
"Kak Andira, saya jadi ingat kak Raja." Komentar Ajak.
Sebelum mengomentari ucapan Ajak, Andira melirik ke Arya dan tersenyum, "Dimanapun Raja berada, ingatlah bagaimana dia dulu mengajar kalian menjadi seorang pesilat, mengajarkan kalian tentang hidup dan membangun cita-cita. Berdoalah agar ia selalu sehat dan tetap pada pendiriannya."
Semua melihat ke arah Andira termasuk Arya, tanpa mereka sadari Arya menghapus air matanya, menarik napas dalam dengan pelan.
"Bu, kami sedang ada menu istimewa, steak dan ayam bakar asam manis. Ada juga es krim duren dan es krim bakar." Ucap seorang pelayan.
"Kalian mau?" Tawar Andira pada yang lain.
"Es bakar kayanya enak tuh." Celetuk Puja.
"Es bakar saja 5 dan es duriannya 2." Ucap Andira pada pelayan itu.
"Belum kok kak. Siapa kak?" Tunjuk Afdal ke laki-laki yang bersama Andira.
"Arya. Kenalkan nama saya Arya."Arya mengulurkan tangannya pada Afdal.
"Afdal. Yang ini Bima, Puja, Ajak, Cendil eh Reja." Afdal mengenalkan keempat temannya dan Raja menyalaminya satu persatu.
"Kalian silahkan pesan makanan, kita santai aja ya disini."
"Asik..." Ujar Bima yang bertubuh agak gemuk.
Sebelum memulai pembicaraan mereka memesan makanan.
"Kak Andira, saya jadi ingat kak Raja." Komentar Ajak.
Sebelum mengomentari ucapan Ajak, Andira melirik ke Arya dan tersenyum, "Dimanapun Raja berada, ingatlah bagaimana dia dulu mengajar kalian menjadi seorang pesilat, mengajarkan kalian tentang hidup dan membangun cita-cita. Berdoalah agar ia selalu sehat dan tetap pada pendiriannya."
Semua melihat ke arah Andira termasuk Arya, tanpa mereka sadari Arya menghapus air matanya, menarik napas dalam dengan pelan.
"Bu, kami sedang ada menu istimewa, steak dan ayam bakar asam manis. Ada juga es krim duren dan es krim bakar." Ucap seorang pelayan.
"Kalian mau?" Tawar Andira pada yang lain.
"Es bakar kayanya enak tuh." Celetuk Puja.
"Es bakar saja 5 dan es duriannya 2." Ucap Andira pada pelayan itu.
Segera
setelah peninggalan pelayan itu.
"Bang Arya temannya kak Andira?" Tanya Ajak.
"Ya." Jawab Arya singkat.
"Kerja dimana bang?"
"Em..." sebelum Arya menjawab Andira segera berucap.
"Jadi Arya ini yang akan mengurus padepokan, mulai pengawasan jadwal latihan sampai perawatan dan kebersihan padepokan." Jelas Andira.
"Wah..." Afdal sedikit terkejut, "Jarang-jarang kak Andira menyerahkan banyak tugas pada orang lain, kalau ada kak Raja pasti kak Raja yang mengurusnya."
Arya tersenyum, "Bersyukur saya bisa mendapatkan pekerjaan seumur hidup dan kepercayaan dari Andira."
"Kalau dilihat-lihat bang Arya ini seperti tidak asing." Selidik Bima.
"Mungkin kita pernah bertemu, tapi tidak ingat saya." Ujar Arya.
"Kalau saya tebak, bang Arya ini pasti jago silat. Mana mungkin Kak Andira mempercayakan padepokan pada orang sembarangan, iya kan kak Andira?"
Andira tersenyum, "Ah kalian bisa saja."
"Pasti itu, ayo bang ceritakan tentang pengalaman abang belajar silat, kalau dulu kak Raja senang sekali bercerita tentang pengalamannya." Cendil yang agak pendiam turut memberi komentar.
"Ah tidak, saya tidak banyak pengalaman belajar silat. Hanya pernah belajar pada orang tua saja, tidak lama." Arya menanggapi permintaan Cendil.
"Abang harus tau bagaimana dulu bang Raja mendapakan semua ilmu, mulai dari nyasar dihutan, mendaki digunung sampai nyasar di kota orang." Celoteh Cendil.
"Oke cukup nostalgilanya, ayo kita bahas yang harus dibahas
"Bang Arya temannya kak Andira?" Tanya Ajak.
"Ya." Jawab Arya singkat.
"Kerja dimana bang?"
"Em..." sebelum Arya menjawab Andira segera berucap.
"Jadi Arya ini yang akan mengurus padepokan, mulai pengawasan jadwal latihan sampai perawatan dan kebersihan padepokan." Jelas Andira.
"Wah..." Afdal sedikit terkejut, "Jarang-jarang kak Andira menyerahkan banyak tugas pada orang lain, kalau ada kak Raja pasti kak Raja yang mengurusnya."
Arya tersenyum, "Bersyukur saya bisa mendapatkan pekerjaan seumur hidup dan kepercayaan dari Andira."
"Kalau dilihat-lihat bang Arya ini seperti tidak asing." Selidik Bima.
"Mungkin kita pernah bertemu, tapi tidak ingat saya." Ujar Arya.
"Kalau saya tebak, bang Arya ini pasti jago silat. Mana mungkin Kak Andira mempercayakan padepokan pada orang sembarangan, iya kan kak Andira?"
Andira tersenyum, "Ah kalian bisa saja."
"Pasti itu, ayo bang ceritakan tentang pengalaman abang belajar silat, kalau dulu kak Raja senang sekali bercerita tentang pengalamannya." Cendil yang agak pendiam turut memberi komentar.
"Ah tidak, saya tidak banyak pengalaman belajar silat. Hanya pernah belajar pada orang tua saja, tidak lama." Arya menanggapi permintaan Cendil.
"Abang harus tau bagaimana dulu bang Raja mendapakan semua ilmu, mulai dari nyasar dihutan, mendaki digunung sampai nyasar di kota orang." Celoteh Cendil.
"Oke cukup nostalgilanya, ayo kita bahas yang harus dibahas
B.
Rasa yang Tak Tertahankan
Acara peresmian telah
berlangsung sukses. Pertunjukan silat yang tak sepi penonton dan peliput dari
berbagai media membuat Andira puas akan hasil kerjanya. Andira sengaja mengutus
seseorang untuk mengadakan konfrensi pers menyangkut acara ini, karena bagi
Andira hal iini perlu diketahui orang banyak bahwa silat masih akan terus
bertahan.
Arya, laki-laki yang menjadi
penjaga tempat itu masih tak percaya apa yang baru ia saksikan, hal itu lebih
besar daripada yang ia bayangkan. Ia masih tak percaya, tapi ada satu hal yang
mengganjal dihatinya, tentang identitas barunya dan masa depannya.
"Namaku Raden Arya Moksa?
Nama apa yang kau pilihkan untukku ini?" Tersenyum laki2 itu.
"Bagus bukan nama yang aku
pilihkan?" Tanya Andira sambil tersenyum.
"Wah...nama apa yang kau
pilihkan untukku? Nama yang aneh."
"Raja aku artikan Arya,
bangsawan artinya, begitu juga dengan Raden dalam bahasa jawa, sedangkan Moksa
adalah hilang, lenyap tanpa diketahui jejaknya. Seperti dirimu bangsawan dalam
hatiku yang pernah hilang tapi kini kembali padaku."
"Ah kau bisa saja,"
Raja yang kini bernama Arya, tertawa,"Andira, terima kasih sudah
membantuku selama ini." Arya memeluk andira.
Sebentar ia menikmati pelukan
Arya tapi ia tersadar harusnya hal itu tak pantas dilakukan, "Jangan kau
memelukku seperti itu lagi." ucap Andira pelan.
Arya jadi salah tingkah
sendiri. "Jujur aku sebenarnya ingin menikahimu."
Andira menatap tajam mata
Arya,"Jangan sekali lagi kamu bicara seperti itu lagi, kau sudah memiliki
kehidupanmu dan aku sudah memilih hidupku."
"Jadi ini adalah rahasia
kita saja?"
"Sudahlah, kita bicarakan
saja bagaimana kelanjutan dari tempat ini." Pinta Andira.
"Menurutmu apalagi program
yang akan kita lakukan?" Tanya Arya.
Andira berdiri lalu berjalan
membelakangi Arya, "Harusnya kau yang menentukan masa depan tempat ini,
kau yang membangunya dan ini adalah cita2mu."
Arya berdiri dan memeluk Andira
dari belakang,"Tapi ini adalah semangatmu, hidupmu dan
kepercayaanmu."
Andira melepaskan pelukan
arya."Ah aku tak suka kau goda, lain kali saja kita bicarakan, Raden Arya
Moksa, sang Pendekar bocah nakalku."
Arya mencium kening Andira
sekali lalu beranjak pergi.
Andira tak sedikitpun menolak
perlakuan Arya, hati kecilnya justru merasa terbang ke surga, betapa bahagianya
ia, namun perlahan ia sadar dan menyesal. "Kenapa hal ini tak terjadi
sejak dulu?"
Arya tersenyum sepanjang jalan
menuju ke kamarnya, "Andira, andai saja sejak dahulu aku memberanikan diri
untuk memilikimu. Pasti kehidupanku sekarang ini akan lebih bahagia."
D M N
Mulai
pukul 5 pagi sudah ada 10 bis terpakir didepan gerbang padepokan, pedagang
makanan yang melihat bis-bis itu segera mendekat dan membuat penumpang bis itu
berkerumun, memilih makanan yang dijajakan oleh para pedagang. Mereka tertawa
dan menikmati sarapan seadanya walau sempat kesal karena seharusnya gerbang
sudah dibuka.
“Hai
cepat selesaikan makan kalian dan masuk ke bis, gerbang akan segera dibuka.”
Teriak coordinator salah satu bis.
“Kenapa
gak bisnya aja yang masuk kita menyusul?” Tanya salah seorang penumpang.
“Perintahnya
memang seperti itu, sudah cepat selesaikan makannya da masuk ke bis.”
Tepat
pukul 6 pagi, gerbang terbuka. 10 bis itu segera menyalakan mesin dan masuk ke
dalam area padepokan, dengan dibimbing rambu bis-bis itu parkir dibelakang
gedung.”
10
orang laki-laki berjas putih memegang papan tulis dan sebuah mic berdiri di
depan bis.
“Kepada
yang terhormat, seluruh undangan atraksi silat pembukaan padepokan silat saba,
maaf karena ketidak nyamanan menunggu diluar selama satu jam. Kami dari panitia
acara mengucapkan selamat datang.” Pembicara diam sebentar menunggu seluruh
penumpang turun dari bis lalu mengulangi ucapannya.
“Sudah
diambilkah semua barang kalian dari bis?”
“Sudddaaahhhhh….”
Jawab semua serempak.
“Silahkan
berbaris menurut kelompok penampilan kalian.”
Semua
segera berbaris menjadi 20 kelompok yang artinya akan ada 20 atraksi silat dari
mereka.
“Silahkan
kalian memasuki gedung hotel ke lantai 2, setiap kelompok akan menempati sebuah
ruangan yang sudah diberi nomor dan nama kelompok, silahkan kalian beristirahat
sampai jadwal acara nanti, dan silahkan dinikmati makanan yang disediakan
diruangan tersebut sambil bersiap-siap untuk acara. Disana juga telah ada
susunan acara. Dan saya sangat tersanjut dapat memandu kalian semua, silahkan
coordinator acara antarkan semua tamu.”
Arya
hanya melihat semua itu dari balik jendela kamarnya. Hari ini dia akan menyamar
sebelum benar-benar tampil didepan semua orang. ia dan Andira memang sengaja
melakukan itu karena takut ada yang mengenali Arya.
“Andira,
aku sudah siap.” Ucap Arya ke Andira melalui handphone.
“Temui
aku diruangan.”
C.
Keakraban
"Maaf pak Arya, saya bisa
minta tolong?" Ucap Sandika ketika ketemu Arya.
"Ya pak Sandika, minta
tolong apa ya?" Tanya Arya sedikit bingung.
"Saya minta tolong hari
ini bapak menginap dirumah saya, temani Andira malam ini karena saya harus
menghadiri sebuah acara sampai besok pagi. Kebetulan tadi Andira mengaku sedang
tidak enak badan." Jelas Sandika.
"Gak enak badan pak?
Perasaan saya tadi bu Andira baik-baik saja, tapi maaf pak, apa pantas saya
menemani bu Andira, menurut saya lebih baik pak Sandika meminta adiknya bu
Andira saja yang menemaninya." Arya mencoba menolak dengan halus, walau
dihatinya begitu senang karena sudah lama ia tak meluangkan waktu untuk bersama
Andira.
"Tenang saja pak saya
percaya sama bapak, andai saja Raja masih hidup, pasti saya akan meminta dia
yang menemani istri saya."
Arya cukup kaget karena Sandika
menyebut namanya, Arya jadi penasaran sebenarnya apa perasaan Sandika
kepadanya, "Si...siapa itu Raja pak?"
"Raja itu mungkin bisa
disebut sisi lainnya Andira, tapi ia juga punya kehidupannya sendiri. Tempat
ini juga seharusnya ia yang menjalankan, dulu saya sangat tidak suka kepadanya,
saya sempat cemburu, tapi setelah saya tahu Raja sebenarnya, saya menyesal tak
bersahabat dengannya. ah saya kok jadi curhat, sudahlah pak temani Andira malam
ini. Kita berangkat bersama mari." Sandika tetap memaksa.
"Ya, baiklah kalau pak
Sandika tetap memaksa, tapi ada yang harus saya selesaikan dahulu, nanti saya
sendiri saja yang kerumah bapak."
"Baik kalau begitu, saya
tunggu dirumah." Sandika lalu langsung menuju ke parkiran mobil.
"Ah betapa bahagianya
malam ini, aku akan melaluinya bersama sang elangku, tak tahu kah kau betapa
aku merindukanmu." Ucap Arya dalam hati.
Andira memanyunkan bibirnya
ketika Sandika meminta izin menginap untuk menghadiri acara, "Pokoknya gak
boleh."
"Ih kamu ngegemesin deh
kalo lagi manyun kaya gitu, aku cium ya." Sandika mencoba merayu Andira.
"Sandika jelek, aku
ngambek, gak usah pulang aja sekalian." Andira segera masuk ke kamar.
"Andira sayang, jangan
ngambek dong, aku kan baru kali ini minta izin menginap, sudah lama aku tidak
menghadiri acaranya. Ayolah sayang jangan ngambek, nanti Pak Arya yang jaga
kamu dirumah kok." Sandika terus merayu Andira.
Andira membuka pintu,
"Baik aku izinkan tapi pokoknya besok harus jalan-jalan."
"Iya deh sayang, besok
kita jalan-jalan, sekarang jangan manyun gitu dong." Sandika memeluk
Andira dan mencium keningnya.
"Yang, gak usah pergi deh,
aku lagi pengen sama kamu nih." Andira terus merajuk kepada Sandika.
"Sayangku Andira, cintaku,
manisku, kekasih hatiku, jangan merajuk kaya gini dong akukan jadi
bingung." Sandika terus memeluk Andira.
"Ah kamu, kapan sih kamu
dirumah, minggu ini aja kamu udah ke luar kota 3 kali."
"Tapi kan buat kamu juga,
tuh mobil emang darimana kalo aku gak kerja keras, nah ini rumah kan juga dari
hasil kerja keras aku, cuma buat kamu sayangku, istriku tercinta."
Andira menatap mata Sandika
dalam, "Ya sudah sana pergi ngapain peluk aku lama-lama."
"Masih kangen juga sama
kamu." Goda Sandika.
"Ah Sandika nakal."
Sandika mencium pipi dan kening
Andira.
Setelah Sandika dan Andira
makan malam, Arya baru datang.
"Wah mari masuk mas Arya,
kalo dirumah panggil nama saja ya. Sudah makan malam? Kita baru selesai makan
malam nih." Sandika bersikap sangat ramah, sedangkan Andira hanya
tersenyum melihat tingkah suaminya, jarang-jarang Sandika bersikap ramah
seperti itu pada orang lain.
"Yang, kok aku merasa
cepat akrab ya sama Arya ini, makanya aku nyuruh dia jaga kamu, biar gak di
gondol maling." Goda Sandika.
Andira yang tadinya tersenyum
dan langsung manyun, dengan cepat dia melempar lap ditangannya ke arah Sandika,
Sandika dan Arya hanya tertawa saja.
"Mas Sandika, mbak Andira
gak mungkin di gondol maling, jagoan juga dia daripada malingnya." Ucap
Arya turut menggoda Andira.
Andira bertambah garang
mendengar Arya menggodanya.
"Ih kalian ini ya, kompak
banget ngeledikinnya. Awasnya nanti aku balas."
"Wah bisa-bisa aku telat
nih, sudah ya aku berangkat, Arya tolong jaga istri tercinta ini ya."
Sandika berjabat tangan dengan Arya.
"Ya tentu saja."
Jawab Arya singkat.
"Sayang jangan cemberut
lagi dong, aku udah mau pergi nih masa masih di cemberutin aja." Sandika
memeluk Andira dari belakang. Andira membalikkan badannya.
"Pokoknya besok jam 8 udah
harus dirumah, jam 10 kita jalan. Gak boleh telat." Peringat Andira.
"Mas Arya boleh balik
badan sebentar, lagi pengen cium istriku nih." Pinta Sandika.
Andira kaget, tak menyangka dia
kalo Sandika akan berkata seperti itu pada Arya. Pasti Arya sedikit gregetan
ketika Sandika berkata seperti itu.
Sandika mencium Andira dengan
mesra, tak hanya pipi dan keningnya tapi juga bibirnya, mungkin sekitar 5
menitan mereka saling memeluk dan mencium dan mungkin tak akan berhenti bila
Arya tiba-tiba batuk.
"Baik sekarang aku pergi,
ok mas Arya jaga istriku ya."
Sepeninggalan Sandika, Andira
duduk disamping Arya, memperhatikan wajah Arya yang sedikit memerah, entah
karena malu atau cemburu.
Tiba-tiba Arya berkata,
"Kenapa ngeliatnya kaya gitu? Em ngomongAngomong enak ya di cium
Masmu?"
Andira tertawa terbahak-bahak,
"Jadi kamu cemburu? Jelas enaklah, dicium suamiku sendiri."
"Ah cemburu aku."
"Hah...apa hak mu untuk
cemburu?"
"Nih aku bawain jagung
rebus, kamu lagi diet kan?" Arya mengeluarkan kantong plastik yang berisi
jagung rebus.
"Ih aku kan lagi gak diet
tau. Masa dari dulu cuma beliin aku jagung rebus doang. Arya pelit. Belikan aku
rumah kamu mampu, bangun gedung kamu bisa masa beliin aku makanan cuma jagung
doang."
"Ya yang murah meriah aja
deh, kan uangnya udah abis udah buat beli rumah ma bangun gedung."
"Dasar Arya,,,"
D.
Ikatan hati
"Jadi kapan anakmu lahir?
Aku jadi ingat anakku." Arya menghembuskan asap rokok ke atas.
"berhenti merokok
didepanku, dalam beberapa hari ini anakku akan segera lahir." Andira
melihat sebentar ke arah Arya, "jika rindu anakmu, temui dia, temui
istrimu."
"kau tahu sendiri
bagaimana keadaannya saat ini, biarlah dia bahagia dengan laki-laki pilihannya,
setidaknya aku tidak akan menyakiti hatinya lagi." Arya mematikan
rokoknya.
Andira mengelus perutnya, Arya
memperhatikannya, "boleh aku memegang perutmu?"
Andira tersenyum dan
mengangguk, "kelak ia akan menjadi pendekar hebat sepertimu."
Seperti biasa sehabis kerja
sandika langsung menuju tempat Andira bekerja.
"sore mas." sapa Arya
ketika sandika baru keluar dari mobil.
"sore juga mas, Andira
sudah beres-beres?"
"tadi sih saya lihat
sedang ada tamu, sepertinya teman-teman smanya dulu." jelas Arya.
"em..pantas ia tak
meneleponku. Ya sudah saya masuk dulu ya mas."
"ya silahkan mas."
Sandika sedikit penasaran
dengan tamu Andira, tak biasanya Andira menerima tamu di gedung latihan,
apalagi teman selain sesama pesilat. Sandika mengetuk pintu ruangan andira dan
memanggil namanya.
"Andira..."
"ah suamiku datang, tunggu
sebentar ya" andira membukakan pintu.
"SANDIKA?" Ucap Fira
ketika melihat Sandika.
"kamu kenal Sandika?"
tanya Andira bingung, karena Fira sendiri baru kembali dari kalimantan,
mengikuti suaminya bertugas.
"aku pernah bertemu dengannya
beberapa tahun lalu, dia teman suamiku." jelas Fira.
"wow dunia ini sempit
ya." ucap Andira sambil tertawa kecil.
sandika langsung bersalaman
dengan Fira dan teman-teman Andira yang lain.
"tumben kamu menerima
kedatangan temanmu disini?" bisik Sandika.
Andira hanya tersenyum.
Sebentar mereka mengobrol
seputar masa lalu dan keadaan mereka sekarang. Hari semakin gelap, Sandika
berinisiatif mengundang mereka makan malam diluar. Tapi tiba-tiba ketika mereka
berjalan kearah parkiran mobil, Andira mengalami kontraksi. sandika dan
teman-temannya Andira panik dengan keadaan itu. Sandika langsung membawa Andira
ke mobil dan segara menuju rumah sakit.
Andira terus menahan sakit,
sebentar ia berteriak menandakan ia sangat merasa sakit. Sandika berusaha
secepatnya memacu kendaraannya. Tapi tiba-tiba Alika temannya Andira berteriak
kaget karena Andira mengeluarkan darah.
Arya yang sedang solat
tiba-tiba saja merasa tidak enak hati. Dia merasakan sesuatu yang tidak biasa.
Segera ia keluar kamarnya dan melihat ke ruangan Andira, tapi ia tidak
menemukan siapa-siapa, ia melihat ke parkiran ternyata mobilnya Sandika pun
sudah tidak ada.
Andira berteriak dan kehilangan
setengah kesadarannya, ia mulai bergumam, memanggil nama Arya. Awalnya Sandika
tidak menanggapi gumaman Andira. Tetapi ketika sampai dirumah sakit. Andira
benar-benar kehilangan kesadarannya, bayi dikandungannya terancam karena air
ketuban Andira sudah pecah dan Andira mengalami pendarahan. Sandika menunggu
dengan cemas bersama teman-teman Andira.
"sandika, tenanglah
sedikit, andira pasti akan selamat begitu juga dengan anakmu." Fira
mencoba menenangkan Sandira.
Sandika melihat Fira dengan
tatapan yang tajam, "untuk apa kamu kemari? Mau menghancurkan rumah
tanggaku? Kita sudah berpisah, jadi tolong jangan ganggu kehidupanku dan
Andira."
Fira kaget dengan ucapan
Sandika, ia tak percaya Sandika akan dengan tegas berbicara seperti itu,
"maksud kamu apa? Aku kesini cuma bertemu andira."
"tak perlu banyak alasan,
kau pasti memberitahunya tentang kita."
Fira tersenyum picik,
"picik kau, asal kau tahu, andira sudah tau sejak beberapa bulan lalu. Dan
aku sedih melihatmu, bukan kau yang dipanggil dalam ketidaksadarannya, siapa
namanya? arya? Laki-laki mana itu?" Fira segera meninggalkan sandika dan
teman-temannya yang lain.
Dokter keluar dari ruang
operasi, "pak sandika." panggilnya.
Sandika segera mendekati
dokter, " bagaimana istri dan anakku dok? Apa mereka selamat?"
dokter setengah baya itu
tersenyum, "anak anda seorang laki-laki dan ia sehat, tetapi istri anda
masih belum sadarkan diri, mungkin masih dibawah pengaruh obat bius."
Sandika shok mendengar kabar
istrinya, ia kehilangan ketahanan tubuhnya, hampir saja ia terjatuh.
Mendengar kabar bahwa Andira
telah melahirkan dan keadaan keduanya sehat, teman-temannya segera izin pulang
kepada sandika.
Beberapa kali Arya mencoba
menelepon ke hp dan rumah Andira tapi tak ada jawaban. Arya merasa begitu
cemas, tapi ia tak tahu apa yang terjadi.
Sandika semakin khawatir dengan
keadaan Andira sudah hampir dua jam setelah operasi Andira belum juga sadar.
Ditambah Andira terus memanggil nama Arya.
"pak Sandika maaf
sebelumnya siapakah Arya? Apa anda kenal dengannya?"tanya dokter yang
merawat Andira kepada sandika.
"Arya itu salah seorang
teman kami." ucap sandika singkat.
"panggil Arya kemari
mungkin itu dapat membuat nyonya Andira sadarkan diri."
E.
Teman seperjalanan
"Andira, sadarlah sayang,
jangan kau menyiksaku dengan melihatmu seperti ini, sadarlah dan lihat aku
disini mendampingimu." Arya membisikkan kalimat itu dengan mesra ditelinga
Andira.
Sandika hanya bisa melihat
Andira dan Arya saling berpegangan tangan dari balik jendela pintu, menatapnya
dengan rasa cemas, rasa bersalah, rasa cemburu dan bingung. Sandika tak bisa
berbuat apa-apa.
Arya menutup matanya,
menggenggam tangan Andira, membawa pikirannya jauh ke masa lalu.
"Raja? Benarkah ini
dirimu? A...aku tak menyangka bisa bertemu kau kembali." Andira memeluk
Raja dengan erat, mencium bahu dan rambut Raja, membaui Raja, ia sangat rindu
dengan Raja, lama mereka tak berjumpa.
"Andira, sungguh aku tak
tahu apa yang aku perbuat, aku begitu ingin bertemu denganmu. Aku rindu."
Bisik Raja di telinga Andira.
Lama mereka saling melepas rindu
dengan berpelukan sampai keduanya sadar dan merasa canggung.
"Andira, tetaplah menjadi
sang elang bagiku, menunjukkan apa yang tak dapat kulihat, memberitahuku apa
yang tidak aku tahu, membisikkan apa yang tidak aku dengar. Tetaplah menjadi
sang elang." Raja berlutut di hadapan Andira.
Andira tersenyum, menitikkan
airmatanya, entah apa yang ia rasakan, marah karena Raja meninggalkannya, apa
ia bahagia karena kini raja kembali padanya, "Raja, pendekarku, pahlawan
hatiku, tanpa kau minta aku adalah sang elang bagimu, menjadi mata ketigamu,
menjadi buku wawasanmu, menjadi alat dengarmu, menunjukkan apa yang tak kau
lihat, memberitahu mu apa yang tak kau ketahui dan membisikkan ketelingamu apa
yang tak kau dengar. Aku Andira, sang elang dan akan tetap menjadi sang elang
bagimu, dimanapun, kapanpun, terpisah sejauh apapun, dalam kondisi
bagaimanapun, aku adalah sang elang bagimu."
Raja mencium kedua telapak
tangan Andira dan kemudian mencium kening Andira, "akan terjadi sesuatu
padaku, aku minta padamu bantu aku untuk membangun tempat yang kita inginkan,
aku sudah siapkan uangnya, aku akan mentransfer ke rekeningmu jika kau
menyetujuinya."
"Tidak, biarkan uang itu
tetap berada padamu, apa yang akan kita lakukan saat ini?"
"Sebelum pernikahanmu kita
harus sudah membeli tanah itu, akan ku berikan atas namamu agar tak ada orang
yang mengganggu gugat tempat itu apalagi keturunanku. Kau mau
mengikutiku?"
Andira berpikir sebentar lalu
mengangguk ragu-ragu.
Setelah pembicaraan itu mereka
hanya terdiam, raja menggenggam tangan Andira dengan erat, Andira merasakan
ketegangan dan ketakutan dalam hati raja, entah karena apa.
"Sekelompok orang
mencariku, berniat membunuhku." ucap raja pelan tapi bagi Andira itu
adalah sebuah halilintar yang menyambarnya.
"Maksudmu apa? Siapa
mereka? Bagaimana dengan isterimu?"
"Aku akan menceraikan
istriku secepatnya." ucap Raja singkat.
"Isterimu?" tanya
Andira sekali lagi.
"Lebih baik kita mencari
tanah secepatnya, kalau perlu dalam seminggu ini kita sudah mulai
transaksi."
"Ih...kau kira membeli
tanah semudah membeli kacang goreng?" Umpat Andira.
Raja tertawa melihat Andira
mengumpat seperti itu, Andira kaget, tiba-tiba Raja memeluknya, "Semua
akan mudah bila bersamamu."
"Lepaskan sebentar lagi
aku akan menikah."
"Aku juga sudah menikah,
mempunyai anak juga. Andira kau adalah teman seperjalanku yang ada setiap saat
bukan seperti cinta yang kadang datang dan pergi sesukanya."
"Raja..." Andira
terbangun dari ketidak sadarannya.
F.
Pertengkaran
"Apa kurangnya aku? Aku
telah memberikan kamu semua."
"Tapi kau tak mau
melepaskan kehidupan lamamu kan? Kau tak bisa melepaskan Raja bahkan sekarang
kamu malah menyebut nama Arya ketika kamu tak sadarkan diri. Apa kamu punya
hubungan khusus dengan Arya?"
"Ya aku punya hubungan khusus
dengannya, tapi hanya hubungan mengurus pedepokan."
"Bohong! Kau pasti
selingkuh dengannya."
"Selingkuh kau bilang?
Lantas sebutan apa untuk hubungan kau dengan wanita itu? Aku sudah tau semua,
dia sudah menceritakannya padaku, apa kau mau mengelak?"
Arya yang masuk keruang rawat
Andira terkejut dengan pertengkaran mereka, "Maaf aku menggangu."
Arya hendak keluar lagi dari ruangan tapi segera dicegah oleh Sandika.
"Saya ingin kamu
mengatakan sesuatu." Sandika menatap Arya dengan tajam, "Katakan padaku
sebenarnya apa hubunganmu dengan Andira isteriku sehingga Andira menyebut
namamu dalam tidak sadarnya? Katakan sejujurnya."
Sebentar Arya melihat Andira,
menunggu respon darinya, tapi Andira memalingkan wajahnya dan mulai menitikkan
air mata, "Jangan pernah kau ragukan kesaksian isterimu, yang rela
menerima kau apa adanya, aku hanyalah seorang penjaga padepokan, laki-laki yang
menerima amanat langsung dari pak Raja untuk membantu Andira menjaga dan
mengelola tmpat itu."
"Raja katamu? Pantas saja
isteriku memanggil-manggil namamu ternyata ada nama Raja dibalik itu."
Sandika berteriak-teriak, ia sudah tak sadar bahwa itu dirumah sakit.
"Sandika dengarkan saya,
saya tau bagaimana hubungan Andira dengan Raja, mereka hanya sebatas sahabat
yang sama-sama membangun tempat ini, dan sekarang bila nama saya disebut-sebut
oleh Andira saya tidak tahu menahu soal itu." Jelas Arya menegaskan.
Sandika justru tambah marah
dengan ucapan Arya.
"Baik terserah apa maumu
dan apa yang kau pikirkan, tapi pikirkan anak kita." Pinta Andira di sela
tangisnya.
Sandika pergi begitu saja
meninggalkan Andira dan Arya.
"Andira, ada apa
sebenarnya? Kenapa Sandika marah seperti itu." tanya Arya sambil mendekati
Andira yang menangis.
"Arya, pulanglah temui
anakmu, ia sedang sakit, Jeny sudah tidak memperdulikannya, ambil dan rawatlah
dia." Ucap Andira.
"Dari mana kau tau?"
"Sebelum aku melahirkan
Jeny meneleponku, dan ingin menyerahkan hak asuhnya padaku, karena suaminya
ingin ia memfokuskan diri mengasuh keluarganya sendiri." Andira menghapus
air matanya, "Ambil dy atas namaku dan aku akan mengurus surat adopsinya
atas namamu. Segera aku urus setelah keluar dari rumah sakit."
Arya tak bisa berkata-kata
lagi, ia panik dan segera meninggalkan Andira.
G.
Arya dan Sang Putra
“Maaf saya diminta oleh ibu
Andira untuk membawa Dekha.”
“Silahkan bawa saja anak itu,
tapi jangan lupa bawa dia kedokter.”
Arya terlihat meradang dan
sedikit marah karena ucapan wanita yang menyambut, dialah Jeny, mantan
istrinya. Dengan begitu mudahnya dia tidak memperdulikan Dekha, putranya
sendiri.
“Mengapa melotot seperti itu?
Silahkan ambil Dekha, barang-barangnya sudah saya siapkan semua.” Ucap jenny
sambil jalan mendahului Arya.
Arya menarik napas panjang
ketika melihat keadaan anaknya yang tertidur, tubuhnya kurus tak seperti
terakhir dia melihatnya. Arya langsung menggendong Dekha dan mengambil tas yang
diberikan Jeny, “Besok siang aka nada
seorang pengacara yang membawa surat penyerahan hak asuh kepada ibu Andira, apakah
anda sudah memikirkannya dengan baik?”
“Ya saya tunggu.”
“Baik, saya bawa Dekha pergi,
permisi.” Arya segera pergi, tapi sebelumnya sempat berpapasan dengan suami
jenny saat ini. Begitu inginnya Arya memukul laki-laki itu karena telah
mensiasiakan anaknya.
“Maafkan ayah sayang karena
telah meninggalkanmu, ayah bersalah padamu.” Arya memeluk Dekha dengan segenap
hatinya. “Halo Andira, apa yang akan aku lakukan sekarang?”
“Arya bawa ke dokterku, lakukan
yang terbaik dan siapkan tempat tidur untuknya dikamarmu.”
Arya dan Andira, kini sebagai
seorang yang berperan sebagai orang tua tunggal, tanpa siapa-siapa untuk
berbagi tentang hati mereka.
H.
PENGASINGAN ANDIRA
“Sandika, dengarkan mama,
sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan Andira? mama lihat selama ini
hubungan kalian baik-baik saja” Tanya Mamanya Sandika ketika Sandika termenung
di depan televise.
Sandika menggelengkan
kepalanya, “Biarkan aku dan Andira yang menyelesaikan ini, mama tidak perlu
ikut campur.”
“mama tidak ikut campur, mama
hanya ingin memberitahu mu apa yang mama pikirkan. Saat setelah melahirkan
adalah masa rentan bagi seorang wanita, ia bisa saja tidak mau menyusui anaknya
dan akhirnya membuat anak kalian tidak tumbuh dengan semestinya, Sandika
pikirkanlah baik-baik.”Sandika mulai berpikir kembali tentang hubungannya dan
Andira bahkan ia belum memberi nama kepada anaknya yang baru lahir.
Sudah seminggu tak ada kabar dari Sandika
sedikit pun, sudah berkali-kali Andira menghubunginya tetapi sama sekali tak
mendapat respon dari Sandika. Ketika Andira keluar dari rumah sakit hanya Arya
dan anaknya Dekha yang menemani, Andira tak ingin keluarganya mengetahui apa
yang terjadi antara ia dan Sandika maka tak sedikitpun ia member kabar
kelahiran putrinya ke pada keluarga dan kerabatnya, hanya Arya yang
mengetahuinya.
Arya membantu Andira memenuhi
kebutuhan hidupnya dan putrinya, mengawasi Andira setiap saat sambil menjadi
putra semata wayangnya yang juga bernasip malang karena di tinggal ibunya.
Sebulan telah berlalu Sandika
juga tak member kabar bahkan ketika keluarga Sandika dihubungi tak ada yang
bisa memberi jawaban pasti dimana
Sandika. Andira hampir menyerah dengan masalah Sandika tapi Arya terus
menyemangatinya dan memberinya motivasi untuk terus bertahan demi putrinya.
“Bertahanlah Andira, demi
putrimu, beri ia namamu jika ayahnya tak mau memberikan nama kepadanya, hubungi
keluargamu, katakana kepada mereka apa yang terjadi, biarlah mereka membantumu
untuk mencari jalan keluar yang terbaik untukmu, Sandika dan putrimu.” Ucap
Arya tegas.
“dulu aku kira akan bisa hidup tanpa
Sandika, tapi aku baru merasakan bagaimana beratnya berpisah dengannya. Kasian
putriku, bahkan sebulan kehadirannya tak memberinya kesempatan untuk melihat
ayahnya.” Ucap Andira menahan tangis.
“Aku yakin Sandika akan kembali
kepadamu dan putrimu akan mendapatkan nama ayahnya, jangan kuatir sayang, semua
akan baik-baik saja.”
Andira tetap kukuh untuk tidak
memberitahukan masalahnya kepada orang tuanya, ia hanya mengatakan bahwa ia
sudah melahirkan dan baru bisa memberi kabar sekarang.
“Arya, untuk sementara aku
kembalikan tugasku kepadamu, aku akan pergi untuk sementara, menenangkan tangis
mendalam putriku dan menenangkan hatiku yang rindu kepada suamiku.”
D M
N
Sandika hanya melamun saja
seharian di terasa sebuah vila yang ia sewa, tak melakukan apapun, tatapannya
kosong dan kelam. Di hatinya hanya ada sebuah kekecewaan terhadap Andira.
“Sayang tak tahukah kau
bagaimana perasaanku saat ini mengetahui kau menyimpan nama Raja begitu dalam.
Begitu sakit hingga setiap saat air mataku keluar tanpa aku sadari. Tak kah kau
mengerti itu? Aku mencintaimu begitu dalam tapi kau malah menyimpan nama orang
lain dalam hatimu.” Sandika terus bergumam mengenai kekecewaan hatinya.
Berkali-kali bell villa
berbunyi, tapi tak sedikitpun menyadarkan Sandika dari lamunannya.
“Sandika kembalilah kepada
Andira sebelum Andira menguatkan hatinya, kembalilah dan berikan namamu untuk
putrimu.” Ucap Arya yang tiba-tiba sudah ada didekat Sandika.
“Untuk apa kau kesini? Jangan
menceramaiku tentang rumah tanggaku, kau hanya orang lain bukan siapa-siapa aku
dan Andira. Keluar kau dari sini!” Bentak Sandika.
“Aku tahu aku bukanlah bagian
dari rumah tanggamu, aku hanya tau yang kau lakukan itu salah, aku hanya tau
sebesar apapun rasa kecewamu tak ada niatan dari Andira untuk memunculkannya
dihatimu, yang aku tahu kini Andira telah rapuh jiwanya, telah lemah hatinya
dan telah buntu pikirannya, putrimu sendiri bahkan belum kau namai. Sadarlah
Sandika, bangun dari kekecewaan hatimu, Andira membutuhkanmu lebih dari
siapapun. Aku tak bisa lagi membantumu jika Andira benar-benar pergi dan menghilang,
sudah 2 hari ini Andira tak ada dirumahnya, tak dapat aku hubungi dan kulacak
keberadaannya. Sandika…”
“Hatiku sangat kecewa Arya,
coba kau rasakan bagaimana jika kau menjadi diriku, apa kau tau bagaimana
rasanya? Lebih sakit dari seribu orang memukulmu. Kau bahkan bisa hilang
kesadaran dan perasaan apapun dalam dirimu. Coba rasakan Arya!”
“Sandika, aku bisa merasakan
apa yang rasakan, aku juga seorang laki-laki tapi aku lebih bisa merasakan
kasian kepada Andira dan putrimu. Kembalilah dan segera cari Andira.”
Sandika membuang jauh
pandangannya, memikirkan apa yang dikatakan Arya kepadanya.
“Kebali pada Andira dan
putrimu.” Ucap Arya meyakinkan Sandika.
D M N
“Putriku sayang, hari ini kau
sudah berumur 40 hari, karena tak ada ayahmu,maka akan aku berikan nama padamu,
Nadira. Semoga namamu membawa nasib baik untukmu, mama hanya bisa memberikan
nama depan untukmu karena nama belakang adalah hak ayahmu. Putri kecilku, hiduplah dengan tegar dan kuat,
jadilah special, yakinkanlah semua orang bahwa kau benar2 seorang yang tangguh
dan lemah lembut, Nadira.”
Andira telah benar-benar
menjauhkan dirinya dari lingkungan dan aktivitasnya selama ini, ia mengambil
semua uang ditabungannya dan pergi ke kota lain.
“Jadi sudah resmi nama anakmu
Nadira?”
“Iya bu, nama belakangnya
adalah hak ayahnya untuk memberikannya.”
“Andira, tidakkah lebih baik
kau kembali pada suami mu?”
“Bu, aku ingin kembali
kepadanya, tapi aku takut akan kemarahannya.” Andira memandang Nadira yang
terlelap di pelukannya.
“Ini nasehat untukmu,
kembalilah kapanku kau siap, siapkan dirimu, karena disana rumahmu.”
Andira tinggal disebuah rumah
kecil yang ia sewa selama setahun, walau ia tidak tahu akan tinggal berapa lama
disana, ia meminta seorang ibu penduduk setempat untuk menemani dan membantunya
merawat Nadira.
D M N
Arya sedang asik bermain dengan
dekha putranya ketika Sandika datang kepadepokan.
“Ayah om Sandika datang.”
“Sandika…”
“Hai…” Sandika tersenyum kepada
Dekha, “Aku ingin bicara denganmu.”
“Dekha, Pergi ke kamar
sekarang, ayah ingin bicara dengan om Sandika.”
“Baik ayah.” Dekha segera pergi
membawa mainannya.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
Tanya Arya.
“Aku belum menemukan Andira
sampai saat ini, aku khawatir padanya dan putriku.”
Arya tersenyum, “Mari kita
bicara di kantor.” Arya berjalan duluan, sesekali ia berhenti dan menyapa
beberapa orang yang sedang asik berdiskusi dan yang sedang latihan silat.
Sesampainya dikantor Arya membuatkan minuman untuk Sandika.
“Aku tak bisa menympan rahasia
ini lebih lama lagi.” Ucap Arya sambil menyalakan rokok, “Akan aku ceritakan
semuanya.”
“Apa yang akan kau ceritakan?”
“Raja dan Andira bukan seperti
yang kau pikirkan, walau mereka saling peduli namun dihati mereka telah ada
orang lain yang menjadi kekasih dan kehidupan mereka.”
“Maksudmu?”
“AKU ADALAH RAJA!” Ucap Arya
tegas sambil menatap mata Sandika.
“Ka…Kau Raja?”
Arya menghisap rokoknya
beberapa saat lalu menghembuskan asapnya, “Aku Raja yang selama ini kau cari.”
Ucapnya dengan sinis.
“Jadi kau Raja, yang telah
membuat Andira mengkhianatiku?” Sandika dengan marah menarik baju Arya.
“Seharusnya aku yang marah
kepadamu, karena kau yang telah merebut Andira dariku, Aku memang baru
menyadarinya bahwa aku mencintainya tapi aku lebih sadar kalau Andira lebih
memilih kau yang sebenarnya mungkin menyakitkan hatinya!” Ucap Arya sambil
membentak Sandika.
“Apa maksudmu aku menyakiti
hatinya?”
“Ia tak pernah mengeluh
kepadamu atas sikapmu, atas perkataanmu atau keputusanmu, walau hatinya tak
setuju tapi ia menganggukkan kepalanya dan mendukungmu, apa itu tidak menyakiti
hatinya?”
“Benarkah apa yang kau
katakana?”
Arya melepas pegangan Sandika,
“Dengarkan Aku Sandika, aku Raja yang tetap akan ada dihatinya, tapi kaulah
penguasa hati dan dirinya. Hanya kau yang dapat menemukanya, hanya kau yang tau
dimana dia, carilah, dan berdamai dengan hatimu dan hatinya. Kau akan
mendapatkannya kembali.”
“Tapi bagaimana bisa kau ini
Raja, setauku raja tak berwajah seperti ini.”
“Ada masalah yang membuatku harus
merubah wajahku, meninggalkan istriku dan akhirnya menyakitkan anakku, kau
lihatkan keadaanku saat ini, aku mengikuti egoku dan akhirnya menghancurkan
keluargaku, untung Andira masih bersedia membantuku membangun tempat ini,
tempat yang akan aku jadikan tempat tinggalku sampai akhir nanti. Sungguh aku
ingin menangis jika mengingat Andira yang menangis sambil memeluk putrimu.”
“Maafkan aku yang selama ini
menganggap buruk dirimu.”
“Minta maaflah pada Andira.
Carilah di kota yang selama ini ingin ia kunjungi. “ Arya diam sejenak, “CAMKAN
INI DALAM HATIMU, AKULAH RAJA, LAKI-LAKI YANG IA CARI DAN CINTAI SELAMA INI,
AKULAH RAJA…HAHAHA!”
“Ayah bangun ya, ayah bangun.”
Dekha menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya.
Arya bangun dengan napas yang
tersenggal-senggal dan jantung yang berdegub kencang.
“Ayah kenapa?”
Arya tersenyum pada Dekha, “Tidak
apa anakku, ayah hanya bermimpi buruk.
Sudah kau tidurlah.” Arya mencium kening putranya.
DMN
Kesehatan Sandika memburuk,
karena sudah berbulan-bulan ia mencari Andira dan putrinya, tapi tak sedikitpun
ia menemukan jejaknya. Sudah hampir putus asa dirinya, semakin lama semakin
tenggelam kewarasannya dalam perasaan bersalah.
“ARK… PERGI KALIAN SEMUA, PERGI
DARI RUMAHKU, TAK ADA TEMPATUNTUK KALIAN, RUMAH INI HANYALAH UNTUKKU, ANDIRA
DAN PUTRIKU. PERGI KALIAN SEMUA!” Sandika berteriak-teriak mengusir orang-orang
disekelilingnya.
“Sandika sayang dengarkan mama,
istigfar nak, ingat Allah, waraskan pikiranmu dan hatimu. Ingat nak, ingat
Allah nak.” Mamanya Sandika berusaha menenangkan Sandika.
“Pergi semuanya, jika kalian
disini maka Andira tak akan datang
kepadaku, pergi kalian.” Sandika menangis, begitu sedih dirinya kehilangan
Andira.
“Halo Sayang, gimana kabarmu?”
“Untuk apa kau datang kemari?”
“Ya tentu saja untuk menemui kekasih
hatiku.”
“Hah? Kekasih hatimu? Siapa?”
Sandika memeluk Andira,
“Sayang, jangan marah dong, aku kan jarang menemui dan menghubungi karena aku
sibuk kerja untuk masa depan kita.”
“Masa depan kita? Masa depan
yang mana maksudmu? Kalau kau terus seperti ini kita tak akan pernah punya masa
depan San.” Mata Andira mulai berkaca-kaca.
“Ohh sayang, maafkan aku, aku
berjanji padamu, dalam keadaan apapun aku akan bersamamu, tak akan kecewakanmu
apalagi meninggalkanmu.”
“Jangan berjanji kalau tak bisa
menepatinya, kau bisa mati karena menyesal nanti jika tak bisa memenuhi
janjimu.”
“Aku berjanji sayang, dalam
keadaan apapun aku akan bersamamu, tak akan kecewakanmu apalagi
meninggalkanmu.” Sandika mencium kening Andira.” Sayangku, jangan pernah
teteskan air mata dipipimu yang manis ini, janji kepadaku kau tak akan pernah
menangis, ya, kau janji?”
“Ya aku berjanji.” Andira
memeluk Sandika erat.
“Ya Allah aku telah mengingkari
janjiku dulu pada kekasihku, menyesal diriku.” Gumam Sandika dalam tangisnya.
DMN
SANG ELANG
“Selamat datang kepada semua
peserta ujian. Silahkan persiapkan diri kalian dan tunggu di ruang tunggu
dengan tertib.” Suara serak yang keluar dari toak mencuri perhatian semua
orang.
“Afdal apa semuanya sudah
siap?”
“Sudah Bang Arya, kita bisa segera
memulainya setelah menerima laporan dari Bima, Puja, Ajak dan Cendil.”
“Baik segera hubungi mereka
apakah acara sudah bisa dimulai.”
“Baik bang.” Afdal segera
menghubungi teman-temannya yang mendapat tugas dilapangan.
“Saya tinggal dulu ya.” Arya
pergi meninggalkan Afdal diruang monitor sendirian.
Segera setelah samapi diruangannya tiba-tiba
saja Arya ingin membuka emailnya dulu,mungkin seseorang ada yang mengirimkannya
sesuatu.
“Loh kok ini email dari
Andira?”
from : Andira sang burung elang
to : Rajamu sang pendekar
selamat ulang tahun pendekar,
ah andai saja kau masih Raja Sang pendekar, ingin aku menangis didadamu dan
meminta kau memelukku.
“Ini tanggal 10 dua bulan
lalu.”
from : Andira sang burung elang
to : Rajamu sang pendekar
Raja, andai kau lihat
pertumbuhan putriku, ia cantik sekali, begitu lincah dan begitu penyayang, tak
pernah sedikitpun ia membuatku marah. Namanya Nadira, andai Sandika bisa
memberikan namanya. Bagaimana kabar Dekha?
Ingin aku kembali kesana, demi
putriku, bagaimana kabar Sandika? Bagaimana kabar program padepokan saba?
Ah aku terlalu banyak bertanya
ya,,, ^_^
“Ini dua minggu lalu? Apakah
Andira akan kembali?” Arya segera menutup emailnya dan mematikan komputernya.
“Ayah, dipanggil kakak Afdal.”
Suara Dekha memanggil dari depan pintu.
“Iya sayang ayah akan segera
kesana.”
Arya segera meninggalkan
ruangannya.
“Bang, aku melihat sesuatu.”
Ucap Afdal ketika Arya sampai diruang monitor.
“Apa yang kau lihat?”
“Kak Andira, sekilas tadi aku
melihatnya berada di aula.”
“Hah? Benarkah itu? Cepat cari
dia. Mungkin saja itu dia.”
Afdal segera mencari dengan
detail melalui cctv. “Oh ya bang, acara sudah bisa dimulai.”
“Baik aku akan ke aula, kabari
aku jika melihat Andira lagi.”
DMN
“ah apakah benar itu Andira?
Mengapa ia tak menemuiku” gumam arya ketika acara selesai.
“bang ada surat, tadi dititip
sama abang-abang di depan.” Afdal menyerahkan selembar kertas.
“Surat?” segera Arya
membacanya.
Arya, aku sangat merindukan
Sandika, tapi rasanya hatiku masih tak terima pada tuduhannya, kau hanya
laki-laki yang kuanggap saudara laki-lakiku, karena itu rasanya aku tak bisa
melepaskan begitu saja.
Arya aku tak sanggup menahan
rinduku pada Sandika, sampaikan padanya aku akan kembali, ya aku akan segera
kembali, aku ingin anakku punya ayah.
“Ya Andira, kembalilah, kau
lebih baik bersamanya daripada sendiri tanpa siapapun.”
No comments:
Post a Comment