Hidroponik

Friday, May 29, 2009

The Master of Tradisional Magic

The Master tanggal 29 Mei 09

The Master kali ini sungguh berbeda, dengan hadirnya seorang bapak berumur 61tahun, Suparno, yg mencoba peruntungannya dalam pertunjukan The Master.

Penampilannya yang sederhana dengan stelan jas hitam dan topi hitam, ia memainkan sulap-sulap klasik dengan diselingi mantra2 yg terdengar lucu dengan aksen jawa dan sunda. Ia berhasil menguasai panggung dan memukau para penonton. Tak hanya para penonton yg terbawa suasana saat itu tapi juga para komentator (Joe Sandi, Romy Rafael dan Deddy C.

Joe Sandi yg terbawa suasana dan kenangan masa kecilnya, rempat menarik napas dan berhenti bicara seraya mengahan air matanya,"Anda mengingatkan saya ketika dulu ayah saja membawa saya ke pasar untuk menikmati hiburan seperti ini, berjam-jam saya jongkok disana untuk menyaksikannya."

Romy R. pun memberikan komentar yg serupa pula, "Mungkin tak sama kenangan tentang masa kecil antar seseorang dengan orang lain. Dulu pernah ada pesulap yg melakukan pertunjukan seperti ini dan kemudian ia menjual buku rahasia sulap seharga 10.000. Saya pun menabung untuk membeli buku itu."

Timbul keriuhan ditempat itu ketika Deddy C. memberikan komentar, "Anda dalam umur 61 sebenarnya hadir disini melakukan seperti tadi, menurut saya tidak pantas dan merupakan kesia-siaan," terdengar para penonton bersuara huh., menolak pendapat komentator satu ini, "Anda memang tak pantas tampil disini tapi anda adalah seorang The Master Of Tradisional Magic." Sekali lagi penonton bersuara tapi kali ini suara yang mendukung apa yg diucapkan oleh Deddy C.

Haru mendatangi tempat itu, tepuk tangan yg riuh mengantarkan para komentator memakaikan jubah The Master dan kemudian para peserta The Master season 1 naik kepanggung dan menyalami pak Suparno. Haru melanda pak Suparno namun bahagia tetap terpancar dalam wajahnya.

Tuesday, May 19, 2009

Bintang Kadang Tak Bersinar dalam Gelap malam (part 1)

Saat itu ia masih ingat betul awal perkenalannya dengan dunia yang kini dimana ia berada. Dunia yang begitu banyak di impikan oleh orang lain. Ia tak tahu juga mengapa ia setuju terjun ke dunia itu.

Sifatnya yang selalu tersenyum dan ramah membuat ia cepat dikenal banyak orang apalagi wajahnya yang cukup tampan dan postur tubuhnya yang tegap dan berwibawa membuat banyak wanita kepincut olehnya. Dalam waktu setahun dengan hanya main dalam 1 film ia sudah sangat tenar bahkan aktingnya dipuji oleh banyak orang apalagi oleh kritukus film. Awalnya ia berusaha tenang dan menikmati fasilitas yang ia terima dengan biasa dan menjalaninya seperti sebelum seterkenal sekarang tapi kian lama ia pun terpengaruh.

Ia mulai hadir dipesta-pesta yang awalnya ia sangat memilih untuk menghadiri undangan yang datang padanya tapi ia justru malah seperti kecanduan suasana saat pesta-pesta itu, wanita mengelilinginya, mulai dari yang cantik luar biasa, manis dan kalem sampai wanita yang sedikit berani mengelilinginya. Perlahan ia mulai mengenal rokok, ia berpikir tak ada salahnya merokok asalkan tak menjadi perokok berat, hal itu terus berlanjut hingga akhirnya ia mengenal minuman keras.

Siang itu ia didatangi fansnya saat ia sedang berada disebuah mal. Saat itu ia sengaja berjalan-jalan sendiri karena merasa bosan. Ia masih bersikap ramah memberi senyuman, tanda tangan dan bersedia foto bersama fansnya itu, seorang gadis hitam manis yang berpenampilan sedikit tomboi, yang saat itu hanya menggunakan celana jeans, sebuah kaos bertuliskan “Indonesia Tanah Kelahiranku” sepatu olahraga berwarna putih dan sebuah tas selempang yang dihiasi beberapa pin dengan gambar-gambar unik.

Fansnya itu sangat senang dengan keramah tamahan idolanya itu lalu ia memberikan sebuah kartu nama, bertuliskan nama, no.telepon dan alamat gadis itu. Idolanya menganggukkan kepalanya dan menyetujui apa yang ditawarkan fansnya itu, lalu gadis hitam manis itu pergi sambil memberikan senyuman.

Beberapa hari kemudian ia mendatangi sebuah pesta yang diadakan salah satu selebritis yang ia kenal, dengan menggunakan sebuah kemeja dan celana panjang serta sepatu baru yang ia beli beberapa hari lalu, ia terlihat begitu tampan dan tertarik. Ia menikmati pesta itu dengan tawa dan obrolan ringan sambil menikmati minuman berakohol ditangannya.

Tiba-tiba ia terjatuh diantara kerumunan karena mabuk. Seseorang yang saat itu masih sadar segera menolongnya, membawanya keluar dari kerumunan orang dan mendudukinya disebuah sofa yang berada terpinggir dari kerumunan orang yang sedang asik bergoyang karena suara musik yang begitu bisik. Orang yang menolongnya merogoh kantongnya dan menemukan sebuah kartu nama. Tanpa pikir panjang lagi orang yang menolongnya itu mengantarkannya ke alamat itu.

Ia mendapati kesadarannya lagi, ia terbangun ditempat yang asing baginya, ia mencoba mengingat-ingat bagaimana ia samapai di tempat itu tapi ia tak mengingat satupun yang ia ingat hanya hingar bingar pesta semalam.

“Hai…sudah bangun?” Tanya seorang gadis yang menggunakan celana pendek dan sebuah kaos tanpa lengan menyapanya sambil membuka tirai yang menutupi sebuah jendela besar tak jau dari tempatnya berbaring kini, “Semalam seseorang mengantarkanmu kemari, ia kira aku salah seorang kerabatmu atau temanmu. Kau mau mandi, disana kamar mandinya, sudah kusiapkan semua, handuk, sikap gigi dan sebuah kaos untukmu.” Ucap gadis itu ramah.

Ben yang bernama lengkap Benlard Kounal berusaha bangkit dari pembaringannya menuju kekamar mandi karena ia merasa perutnya begitu mual dan ingin muntah. Dalam mandinya ia berusaha mengingat siapa gadis yang menolongnya itu tapi ia tak ingat.

Setelah Ben selesai mandi, gadis itu telah berada ditempat ia tidur tadi, gadis itu sedang menikmati sebuah buku bacaan dan mendengarkan sebuah musik melalui ipod, mungkin karena sangat menikmati 2 kegiatannya itu ia sampai tak sadar Ben telah berdiri tak jauh darinya, Ben menyentuh betis gadis itu dan gadis itu tiba-tiba saja langsung berbalik dan terduduk.

“Jangan membuatku kaget seperti itu.” Ucap gadis itu lalu kembali melanjutkan kegiatannya tadi dan menunggu Ben benar-benar selesai dalam mendadani dirinya.
Gadis itu menutup buku bacaannya dan mematikan musik yang ia dengarkan, “Kau ingat aku?” tanyanya pada Ben.

Ben melihat gadis itu dengan sedikit terkejut, “Maaf semalam aku benar-benar mabuk dan tak bisa mengigat banyak hal, dan aku lupa siapa kamu.” Ben tersipu malu.
“Namaku Hadya, beberapa hari lalu kita bertemu di mal dan aku meminta tanda tangan dan fotomu.” Hadya duduk di tempat tidur.

Ben tersenyum, samar-samar ia mengingat kejadian itu, “Mungkin semalam kartu namamu tak sengaja aku masukkan ke kantong celanaku makanya ketika aku mabuk aku justru diantar kesini.”

“Mungkin saja, oh iya orang yang mengantarmu semalam menyerahkan sebuah dompet dan kunci mobil, dia bilang mobilmu masih ada di tempat semalam.”

Ben mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

“Aku mandi dulu, kau makan saja dulu, aku kebetulan tadi membuat nasi goreng, yang kalau kau suka kau boleh memakannya atau bikin saja makanan sesuai seleramu.” Hadya bangkit dan mendorong Ben keluar dari ruangan itu.

Ben bersyukur karena seseorangnya mengeluarkannya dari pesta semalam dan beruntung juga karena kartu nama Hadya berada dikantongnya, ia merogoh kantong celananya lalu menemukan kartu nama Hadya yang agak lecek. Ia membacanya, “Oh namanya Hadya Saphir.” Ben menemukan sebuah tulisan lagi dibalik kartu namanya, tertulis disana Perguruan Silat Selat Bintang disertai alamat sekretariatnya.

Ben terdiam lalu memasukkan kartu nama itu kekantongnya dan berjalan keruang makan, karena tempat tinggal Hadya tak banyak sekat antar satu ruangan maka Ben mudah menemukan ruang makan, disana telah tersedia sebuah piring yang berisi nasi goreng dan telur mata sapi serta segelas teh hangat. Ben duduk disana memandangin nasi goreng itu lalu mulai menyuapkannya ke mulut.

Ben makan tanpa suara, pikirannya jauh berfikir sesuatu yang selama ini telah ia lupakan, kehidupannya yang jauh ada sebelum kehidupannya kini, kehidupannya yang dulu sangat ia bangga-banggakan, kehidupannya yang dulu memberi kehidupan untuknya, kehidupan yang memberi banyak makna, kehidupan yang seharusnya tak ia lupakan.

“Hai…makan kok bengong gitu sih?” Ucap Hadya yang berjalan mendekatinya dengan pakaian sederhana, sebuah celana pendek jeans selutut dan sebuah kaos agak longgar, Hadya membawa sebuah tas dan sebuah jaket.

“Dimana mobilmu biar nanti kuantar untuk mengambilnya kebetulan hari ini aku juga mau keluar.” Ucap Hadya sambil meminum the yang tinggal setengah gelas yang berada disebrang Ben duduk.

“Biar nanti aku menyuruh orang mengambilnya, kamu tak usah repot mengantarkanku. Ngomong-ngomong nasi gorengmu enak.” Puji Ben atas masakan Hadya.

“Ah bisa aja, itu cuma masakan sederhana kok.” Hadya tersenyum pada Ben.

“Kamu mau kemana?”

Hadya tersenyum sebelum menjawab, “Aku mau latihan silat, kebetulan setiap hari minggu aku latihan silat. Kamu masih latihan silat?”

Ben sulit menjawab hal itu, akhirnya Ben hanya diam.

“Oh mungkin kamu sibuk kali yah sampai gak latihan silat lagi, aku maklum kok.” Ucapan Hadya membuat Ben lebih kaget, pasti Hadya berpikir kalau ia meninggalkan silat karena kesibukkannya tapi tidak dengan kenyataannya Ben meninggalkan silat karena sesuatu yang tak bisa ia bicarakan kepada orang lain.

“Boleh aku ikut ketempatmu latihan silat?” Ucap Ben tiba-tiba membuat Hadya tersedak, “itu kalau kamu tidak keberatan.”

“Aku gak keberatan kok Ben, aku justru senang, mungkin kau bisa memotivasi aku dan yang lainnya untuk tetap menjalankan latihan silat itu.” Ucap hadya bersemangat.
Akhirnya Ben turut Hadya ke tempat latihan silat Hadya, sebuah bangunan besar dan megah, yang ketika masuk kedalamnya terasa hawa sejuk yang berasal dari AC yang terpasang di beberapa dinding ruangan besar itu, disana dilantainya sebagian telah beralaskan matras.

“Em ternyata aku datangnya kecepetan nih, belum ada orang deh.” Hadya duduk di sebuah kursi panjang tak jauh dari sebuah AC.

“Tempat latihan kamu sangat jauh berbeda dengan tempat latihanku dulu.” Ucap Ben sambil menyapukan pandangannya pada setiap sudut ruangan itu.

Hadya tersenyum walau Ben tak melihatnya. Hadya masuk kesebuah pintu yang berada tepat di samping ia duduk tadi. “Ben…” panggil Hady dari dalam ruangan.

Ben memenuhi panggilan Hadya dan masuk keruangan itu.

“Ini ruangan yang khusus untuk para pengurus dan tamu, lihat.” Hadya menunjukkan sebuah deretan foto yang terpajang di dinding. “Dulu itulah tempat latihan kami. Sangat minim fasilitas, disana hanya ada sebuah lapangan yang tak terlalu besar dengan kerusakan dibeberapa bagiannya.”

Foto-foto itu mengingatkan Ben pada tempat latihannya, sebuah lapangan terbuka di sebuah sekolah juga minim fasilitas.

“Disanalah semua ini berasal, disanalah dulu orang-orang sebelumku mendirikan bangunan dan tempat latihan lainnya. Ini mereka, orang-orang yang begitu hebat yang menjadi idolaku jauh sebelum aku tahu tentangmu.” Hadya menunjuk sebuah foto di meja terbesar disana, “Andai aku jadi salah satu bagian dari mereka.” Gumam Hadya tiba-tiba.

Ben menarik napas panjang, “Maaf kau harus tau keadaanku sebenarnya, diriku mulai terbawa arus deras yang sulit ku tahan.” Ucap Ben sambil melihat foto-foto yang terpajang disana, “Kau mau kapan-kapan ku ajak ke tempat latihanku, sudah lama aku tak kesana bahkan sudah lama aku tak menghubungi teman-teman seperguruanku dan guruku. Aku murid yang durhaka, aku melupakan guruku setelah mendapat kesuksesan.”

“Kita manusia pasti pernah membuat kesalahan. Tapi karena kita manusia jangan kita buat kesalahan yang sama”