Hidroponik

Perjalanan Tanpa Akhir- Pulau Yang Hilang

1
“Icalllll....., Andin dah nunggu tuh.” Panggil Mamanya dari lantai bawah.
“Iya, Ma...” Jawab Ical sambil merapihkan pakaiannya. Hari ini Ical terburu-buru, setelah berpakaian ia langsung menyambar sepatunya dan memakainya sambil berlari keluar rumah.
Di depan rumah Ical, Andin, temannya sudah menunggu dari tadi, sembari asik menyisir rambutnya yang panjang sambil bercermin di kaca mobil, sudah berkali-kali ia merapihkan rambutnya.
“Lama sekali sih Cal?” Andin berkacak pinggang.
“Yuk, tar telat lagi.” Ical buru-buru masuk mobil sisi kiri.
Andin masuk ke mobil dan menatap Ical dengan aneh, “Lo gak salah?”
“Apaan sih? Ayo jalan.” Ical memakai sabuk pangaman.
“Sepatu lo gak sama?” Andin hampir tertawa.
“Emang, sepatu gw gak sama kaya sepatu lo.” Ical mulai terlihat kesal.
Andin menundukan kepala Ical secara paksa, “Tuh liat, sepatu lo beda!! BE - DA!!”
Ical mengangkat kepalanya lalu tertawa, ”Tunggu yah gw ganti sepatu dulu.” Ical keluar lagi dari mobil dan berlari kedalam rumah untuk mengganti sepatunya.

* * *

Di sebuah rumah dengan kebun mewah.
“Bayu!! Masuk aja. Fahmi masih tidur.” Sapa mbok Rum, pembantunya Fahmi.
Bayu tersenyum manis di depan mbok Rum, tapi perlahan senyumnya berubah menjadi senyum jail. Ia langsung masuk ke dalam kamar Fahmi sambil bersenandung. Tanpa mengetuk pintu ia segera saja masuk dan berdiri didepan kaca, berputar dan merapihkan kemejanya dan rambutnya, “Keren juga...” lalu ia mendekati Fahmi, berkacak pinggang dan memicingkan matanya, Bayu mengambil ancang-ancang “Bukk…”,
“Aouw…”
Kaki Bayu sukses hantam pantat Fahmi.
Fahmi langsung berdiri, marah, ”Sakit tau!!” Ia mengelus-elus pantatnya.
“Udah jam setengah sembilan tuh.” Bayu kembali berkaca merapihkan rambutnya.
Fahmi berjalan ke kamar mandi sambil mengelus pantatnya, “Gila...” Umpatnya pada Bayu. Bayu tak pedulikan umpatan Fahmi, dia justu tertawa dan kemudian menuju ruang tengah, Bayu sudah sangat akrab dengan rumah itu termasuk dengan penghuninya. Bayu menyalakan televisi dan matanya langsung tertuju pada acara di salah satu stasiun Tv swasta.
“Mau minum mas Bayu?” Tanya mbok Rum sembari lewat di ruang tengah.
“Nanti saya ambil sendiri saja mbok.” Ucap Bayu sambil terus menatap televisi itu.

* * *

Disekolah.
“Woi Had…” Rudi melambaikan tangan lalu mengejar langkah Jihad.
Jihad menghentikan langkahnya dan melihat ke langit sebentar.
“Gak nyangka yah udah tiga tahun aja, kira-kira kita lulus gak yah?” Rudi menghela napas guna menghilangkan rasa cemas di hatinya sendiri.
Jihad menggeleng, “Mudah-mudahan aja kita lulus. Uh…jantung gw kaya mau keluar nih, dag dig dug terus.” Jihad menatap Rudi dengan serius lalu mengalihkan pandangannnya kepada beberapa orang yang lewat didepan mereka, bukannya Jihad tak mengenal mereka hanya saja entah mengapa ia begitu enggan menyapa. Ia mmemasang tampang cool yang selalu membuat wanita kesandung jika melihatnya.
Rudi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, sekilas Jihad melirik Rudi dan mengerutkan dahinya, ia tak tahu apa yang dipikirkan kawannya itu.
“Mana yang lain?” Tanya Jihad sambil celingukan.
“Kayanya belum dateng.” Jawab Rudi sambil ikutan tengok kanan kiri depan belakang.
“Kita ke kelas?” Jihad bertanya.
Rudi mengangguki ajakan Jihad.
Akhirnya mereka berjalan ke ruang kelas mereka, menyapa teman-teman sekelas yang sudah datang terlebih dulu.
Rudi duduk di kursinya lalu menghela napas, “Lulus?? Apa artinya kalo gw lulus tapi kehilangan mereka semua.” Ucapnya pada dirinya sendiri sambil melihat keadaan kelasnya, sudah kesekian kali pertanyaan itu datang dalam pikirannya.

Di parkiran sekolah yang saat itu rasanya begitu sesak karena padatnya motor dan mobil yang turut meramaikan tempat itu.
Han tiba-tiba saja merentangkan tangannya menghadang sebuah mobil berwarna merah. Itu adalah mobil Andin yang didapatnya pada awal kelas 2. Andin mengerem sampai bannya mengeluarkan dencitan. Andin kesal lalu melongokan kepalanya ke luar jendela, “Eh…Mau mati lo?!”
Ical turun dari mobil dan menarik Han, “Stres lo… mikirin kelulusan sampe mau bunuh diri segala. Untung aja gak ketabrak beneran.” Ical geleng-geleng sambil memperhatikan wajah sahabatnya itu. “Ada yang beda?”
“Rambut gw keren kan?” Han merapihkan rambutnya sambil menaik turunkan sebelah alis matanya.
Ical tertawa melihat tingkah Han, “Buang sial?”
“Yap.” Jawab Han pasti.
Han melihat Andin telah mendekati mereka, “Lama amet sih, Andin dicari pak Yusman tuh.” Ucap Han sambil pura-pura ngunyah permen karet, maksudnya biar keren gitu.
“Pak Yusman?” Ical menunjukan ekspresi bingung.
Andin yang semakin mendekati Han dan Ical, memasang tampang kesal, ”Lo kalo mau mati jangan pake mobil gw sebagai alat bunuh diri dong!” Andin menunjuk-nunjuk muka Han.
“Eh dicari pak Yusman tuh.” Sekali lagi Han berucap dan membuat Andin diam.
“Ngapain?” Mata andin langsung melotot.
“Mau ngasih kado perpisahan kali. Hehehe…” Ledek Han.
“Ih apaan sih lo? Kalo ngomong jangan sembarangan. Dah mau lulus masih hobi buat gosip aja.” Andin bersiap menendang Han.
“Andin, bapak cariin dari tadi.” Pak Yusman tiba-tiba muncul di belakang Andin.
“Ada apa yah pak? Saya baru datang” Ucap Andin malu-malu.
“Bapak mau kasih kamu ini.” Pak Yusman menyerahkan sebuah amplop.
“Apa ini pak?” Andin melirik ke Ical dan Han lalu memperhatikan amplop itu dengan seksama.
“Surat.” Ucap Ical dan Han pelan.
“Nanti kamu baca aja, bapak pergi dulu yah. Bapak yakin kalian lulus, tenang aja.” Pak Yusman pergi setelah Ical, Andin dan Han salim kepadanya.
“Cie…cie…dapet surat nih, jangan-jangan surat cinta.” Goda Han dan Ical sambil berlari menjauhi Andin.
Suasana sekolah tampak ramai, anak-anak kelas tiga yang sedang menanti pengumuman kelulusan sedang menyiapkan diri untuk mengetahui hasil belajar mereka selama 3 tahun.
Sedatangnya Bayu ia langsung menuju ruang OSIS, menyapa beberapa anak kelas 3 dan kelas 2 yang menjadi panitia kelulusan dan panitia buku tahunan.
“Kok baru dateng sih kak Bayu?” Tanya seorang cewek dengan manja.
Bayu tak menjawab, ia malah membuang pandangannya ke arah lain.
“Eh ditanya kok malah buang muka.” Ucap cowok yang bertampang paling sangar.
Bayu melirik wajah cowok itu sebentar, “Kapan dipasang hasil kelulusannya?”
“Tinggal dipindahin doang kok kak Bayu, nanti Kak Bayu yang ngomong di radio skul yah.” Ucap cewek tadi masih dengan sikap manjanya.
Bayu kini tidak membuang mukanya kearah lain ketika gadis kelas 2 itu berbicara, “Sini.” Panggil Bayu pada cewek itu.
“Ada apa kak?” Cewek itu malah tambah bersikap manja.
“Kasih perhatian lo dan sikap manja lo itu sama cowok lain aja, gw udah punya pacar.” Ucap Bayu tegas lalu Bayu bangkit dan berjalan kearah lapangan.
Cewek itu menahan tangisnya, ia tak menyangka bahwa omongan yang tadi Bayu sampaikan begitu menyakiti hatinya padahal ia sudah biasa kena marah sama Bayu, tapi kali ini tampaknya Bayu bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
“Lo juga sih yang salah, dia itu dah punya pacar dan lo tau siapa pacarnya itu? Namanya Andina Malaya, saingan terberat waktu Bayu jadi calon ketua OSIS, dan Andin itu salah satu pemegang pengurus inti di ekskul silat, kalo lo macem-macem dia bisa dengan mudah ngerahin anak buahnya untuk ngebantai lo. Gw juga denger dari anak kelas 3 kalo dia itu anaknya pengusaha kapal pesiar terbesar di Indonesia, lo gak da apa-apanya kalo dibandingin sama dia. Udah jangan nangis lagi.” Ucap cewek lain yang ternyata temannya cewek yang selalu berusaha merebut hati Bayu.
Cewek itu terus melihat Bayu yang berjalan ditengah lapangan, bahkan ia juga melihat seorang cewek menghampirinya dan mencium pipi kanan Bayu dengan mesra lalu menggandenganya.
“Apa dia Andin?” Tanyanya pada dirinya sendiri, “Pantas Bayu tak melirikku sama sekali.”
Setengah jam kemudian Bayu menarik napas dan bersiap untuk menyampaikan pengumuman, “Pengumuman, pengumuman.” Suara Bayu yang sedikit nge-bass membuat semua anak mendengarkan suaranya dengan seksama. Suasana menjadi hening, semua mata saling pandang dan semua kuping konsentrasi mendengarkan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Bayu dan menggema melalui speaker.
“Woi… hasil kelulusannya udah ada tuh, buruan kelapangan!!!” Teriak Bayu semangat, sontak saja semua anak berteriak dan berlari berebutan ke lapangan. Disana sudah terjejer papan-papan yang tertempel daftar kelulusan. Teriakan bahagia dan tangis haru membaur. Mereka semua saling memberi selamat satu sama lain.
Bayu naik keatas podium dengan gagah berani (kaya mau perang aja), “Alhamdulillah kita semua telah dinyatakan lulus pada hari ini. Allahu akbar…” Bayu bertakbir dengan semangat, anak-anak pun turut terbakar semangatnya.
“Biarpun Bayu udah nyakitin gw tapi dia masih keren banget yah.” Ucap cewek yang tadi menangis gara-gara omongannya Bayu.
Fahmi n Gank mendekati Ical dan Andin yang berdiri di barisan paling belakang, memperhatikan hysteria cewe-cewe yang udah kepikat hatinya sama Bayu. Fahmi menaikan sikutnya ke atas pundak Ical. Ical menatap Fahmi.
“Hehehe….sorry.” Ucap Fahmi sambil cengengesan dan nurunin tangannya dari pundak Ical karena Fahmi tahu bahwa Ical menganggap hal seperti itu adalah suatu tanda penindasan.
“Tumben tuh SiGa ngomong tanpa perwakilan, biasanya nyuruh jubir.” Ical terus memperhtikan reaksi cewe-cewe ketika Bayu sedang berbicara di podium. Si Singa Gagah (siga) adalah julukan buat Bayu sebagai siswa terganteng, terapih dan terwibawa sekaligus tergalak, kaya si raja hutan.
“Kesambet setan pejuang kali. Eh sorakin yuk…” Fahmi memberi aba-aba pada ganknya.
“Uuuuhhhh…turun…!!turun…!! turun…!!”
Swing…Pletak…buk…
”ARHK…” Fahmi jatuh karena terkena lemparan sepatu Bayu, semua berhenti bersorak. Dengan tampang sangar, Bayu turun dari podium, ia mulai berlari, semua cewe histeris, meneriakkan nama Bayu dan kata “keren”.
Bayu berhenti didepan Fahmi yang masih tersungkur dengan tampang sedikit marah, “Rasain lo!!!” Bayu mengambil sepatunya dan memakainya lagi lalu membantu Fahmi berdiri.
“Din, keren yah?” Bisik Ical.
“Keren?” Andin menatap Ical dengan aneh.
“Iya keren, sepatunya.” Ical dan Andin langsung ngakak.
Melihat mereka berdua tertawa Fahmi dan Bayu turut tertawa begitu juga yang lainnya walau tak tau apa yang ditertawakan.
Kepala sekolah menaiki podium dan tanpa aba-aba semua langsung bubar, gak sopan banget.

Setelah mendangarkan para wali kelas berbasa-basi sedikit dikelas akhirnya semua murid kelas 3 yang sebentar lagi jadi alumni membubarkan diri dari ruangan masing-masing.
Diparkiran.
“SORAK TIME…!!!” Ucap Fahmi dan Ganknya. Mereka saling memberi selamat sambil bersorak-sorak norak ala orang gila.
“STOP…” Teriak Fahmi membuat semua orang berhenti. Fahmi dengan sok gagah berjalan ke arah cewe-cewe yang kebetulan berhenti jalan karena teriakan Fahmi tadi, “Kenapa pada ngeliatin? Naksir yah?”
Sontak saja cewe-cewe itu ngelemparin Fahmi dengan kertas brosur yang tadi dibagikan. Ical, Andin, Bayu, Rudi, Koko, Jihad dan Han saling pandang.
“JITAK TIME…” Teriak mereka dan langsung menyerbu Fahmi dan menjitakinya. Mereka tertawa bersama, menikmati saat-saat terakhir di masa SMA mereka.
Semua yang sudah kelelahan, duduk dibawah pohon dekat parkiran, berkelut dengan pikirannya masing-masing. Mereka saling pandang , ”We are a winner!!!!” Seru mereka semangat.
Semua angkatan mereka sudah tak heran melihat kelakuan mereka yang kalo dibilang mendekati rusuh karena kalau gak ada mereka selama 3 tahun yang lalu maka gak akan ada kegiatan-kegiatan seru.

* * *

“Kalian setuju dengan hal ini?” Tanya Koko sambil berbisik.
Semua mengangguk.
“Kapan kita laksanakan?” Tanya Fahmi serius.
“2 hari lagi, kalian jalankan tugas kalian masing-masing, oke.” Han menunggu semuanya mengangguk.
3 hari kemudian.
Andin menelepon Ical, “Kemana aja lo? Gak nelpon, gak SMS. Anak-anak ngajak ketemuan, lo jemput gw ya.”
“Ehm….bukan anak-anak tapi Bayu kali.” Ical tertawa sendiri dengan lelucuannya, “Gw kerumah lo deh. Tunggu yah.”
Tak lama Ical telah sampai di rumah Andin, “Andin...Andin...”
“Halo...” Sapa Andin ketika membuka pintu.
“Kok belom siap-siap?” Ical memperhatikan Andin dari kaki hingga kepala.
Andin menarik Ical ke dalam kamr, “Bingung mau pake baju apa?”
Ical memandang Andin dengan aneh, “Tumben?”
“Ayo bantuin, kasih pilihan dong.” Andin merengek.
“Pake kaos ma jeans aja, nanti kita sekalian maen ke rumah kak ji.”
“Kerumah kak Ji? Mau ngapain?”
“Nanti lo juga tau.”
Andin tak bertanya lagi apa yang harus ia pakai, ia sudah cukup cantik dengan hanya memakai pakaian casual saja.
1 jam kemudian Ical dan Andin sudah berada disekolah. Waktu itu sekolah cukup ramai tidak hanya mantan anak kelas tiga saja yang datang tapi juga anak kelas dua dan satu karena sedang diadakan lomba antar kelas.
Ical membetulkan tali sepatunya dan Andin celingukan mencari Bayu dan yang lainnya. “Mana sih mereka?” Ucap Andin pada dirinya sendiri.
“Semua sudah beres?”
“Beres bos…” Teriak mereka.
“Cal anak-anak mana sih ?” Tanya Andin yang masih celingukan.
“Mana gw tau.” Ical menghentikan beberapa siswi yang lewat di hadapan mereka, “Eh liat Bayu gak ?”
“Tadi sih ada di lantai atas tapi sekarang gak tau deh.” Sisiwi-siswi itu ngeloyor pergi sambil berbisik-bisik tentang Bayu dan Andin.
Tiba-tiba beberapa anak berlarian menuruni tangga.
“Woi hati-hati dong kalo jalan.” Teriak Ical yang ditubruk sama anak yang badannya lebih besar.
“Kenapa sih mereka?” Andin memperhatikan mereka berlarian, “Keatas yuk.” Andin menarik tangan Ical.
Ical menghentikan seseorang,“Eh ada apa ?”
“Gw juga gak tau, tiba-tiba aja ada yang teriak-teriak, kesurupan kali.” Anak itu langsung ngibrit.
“Kesurupan?” Ical dan Andin saling pandang, tersenyum lalu mereka langsung mencari siapa yang kesurupan, akhirnya mereka menemukan salah seorang temannya sedang mencekik seorang cowok.
“Na lepasin.” Andin mencoba melepaskan cekikan Ina.
Cekikan Ina berhasil dilepaskan namun Ina malah berusaha mencekik Andin. Andin segera memeluk tubuh Ina dari belakang tapi Ina terus meronta.
“Cal jangan bengong aja, lo bantuin dong.”
Ical baru tersadar ketika mendengar suara teriakan Andin segera saja ia meminta seseorang membawakan air. Ical membantu Andin memegangi Ina.
Ina terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari pelukan Andin dan genggaman Ical. Ina berteriak, berusaha menggigit. Anak yang tadi diminta Ical mengambilkan air datang membawa sebotol air, berlari ke arah Ical dengan wajah ketakutan dan “Byur…” Air itu tumpah mengenai ketiganya karena anak itu keserimpet kakinya sendiri. Ina berhenti meronta, memandang anak tadi yang jatuh tersungkur lalu memandang Andin dan Ical secara bergantian. Andin dan Ical saling tatap, Ina melepaskan diri dan pergi meninggalkan Ical dan Andin saling pandang.
Tiba-tiba mereka mendengar suara tawa Fahmi dan Han dari arah luar. “Kena deh…!!!” Ucap mereka berdua.
Andin dan Ical baru sadar kalo mereka berdua sedang dikerjai. Bayu dan Rudi keluar dari tempat persembunyiannya sambil tertawa dan membawa kamera. Bayu dan Rudi yang menjadi sasaran cubitan Ical dan Andin.
“Ampun…ampun…” Ucap Rudi dan Bayu memelas sambil mohon-mohon, ”Ini semua idenya Fahmi,bener !!”
Ical dan Andin saling pandang lalu memandang Fahmi dengan tajam. Eksperi wajah Fahmi berubah menjadi ketakutan, “Kabur…” Fahmi berlari keluar kelas, Ical serta Andin mengejarnya. Bayu, Rudi dan Han yang melihat kejadian itu tertawa ngakak.
Koko memanggil Ical dan Andin, “Mau liat rekamannya gak?”
Mereka semua terbahak-bahak melihat ekspresi Andin dan Ical pada saat menangani Ina tadi padahal seumur-umur mereka belum pernah melakukan itu walaupun dah sering terjadi kasus kesurupan di depan mata mereka. Tiba-tiba Han datang dan langsung membuka bajunya.
“Kenapa lo Han? Kaya kucing kecebur got gitu.” Tanya Jihad sambil tertawa melihat tampangnya Han.
“Gw disiram sama Ina tau.” Han tampak kesal.
Andin dan Ical saling pandang, “Kena deh…!!” Mereka tertawa lagi.
“Fahmi…Gw minta ganti rugi.” Ina datang dengan baju yang masih basah.
“Ganti rugi apa? Lo kan udah gw bayar.” Ucap Fahmi cuek.
“Pokoknya ganti rugi ato lo gw siram juga.” Si Ina mukanya jadi tampak bengis.
“Ogah….” Jawab Fahmi sepele.
Ina mendekati Fahmi dan menarik kerah bajunya, ”Lo mau ganti rugi ato mau gw ceburin ke got??”
Fahmi jadi ketakutan, tangannya merogoh kantong celananya, ”Adanya cuma segini. ” Fahmi menyodorkan uang dua puluh ribu.
“Lumayan.” Ina melepaskan kerah baju Fahmi lalu mengambil uangnya dan pergi sambil memberi kiss bye.
Tampak Fahmi jadi aneh, sontak saja semuanya tertawa dan berkata, ”Kena deh…!!!”

Setelah membereskan semua peralatan Koko mereka semua asik melihat pertandingan antar kelas yang emang sengaja diadakan sebagai pertandingan terakhir buat kelas 3. Sorak dan tawa membahana sepanjang pertandingan dilangsungkan.
“Din, isinya surat pak Yusman apa sih?” Tanya Ical penasaran.
“Belom gw baca, eh gw bawa nih suratnya.” Andin membongkar isi tasnya.
“Gw yang baca yah.” Ical tampak bersemangat. ”Assalammualaikum . . . bapak turut gembira atas kelulusanmu dan teman-temanmu. Semoga saja kalian akan selalu mendapatkan hasil dari apa yang telah kalian usahan. Bapak juga ingin minta maaf kalau bapak suka membuatmu merasa tidak nyaman. ” Ical menarik napas panjang dan menunggu reaksi yang lainnya.
“Kalo dia udah minta maaf lo harus maafin tuh Din. ” Ceplos Han sok cool.
“Iya bawel,” Andin memperlihatkan tampang jutek ke arah Han, “Terusin Cal bacanya.” Andin memperhatikan Ical.
“Sebenarnya Bapak tak bernah bermaksud mengganggu kamu. Hanya saja andai seorang yang sangat bapak sayangi sehat dan seceria kamu pasti dia juga akan punya teman dan kehidupan seindah tawamu…..”
Anak-anak langsung tertawa sebelum Ical menyelesaikan kalimatnya.
“Gila pak Yusman gak taunya puitis bok.” Fahmi masih tertawa dengan keras.
Tawa mereka membahana lagi, mengejek Andin yang mukanya merona.
“Yaitu Nadya, putriku sendiri yang sudah 4 tahun ini sakit karena tertabrak.” Ical menyempatkan lihat perubahan waut wajah teman-temannya.
Kali ini semuanya terdiam, menghela napas.
“Sayang ia tak akan jadi anak seceria kamu dan mempunyai sahabat-sahabat yang baik seperti sahabat-sahabatmu. Sekali lagi maafkan saya tau kelakuan saya yang tak berkenan dihati kamu atau mungkin juga dihati teman-temanmu.” Ical melipat kembali suratnya dan menyerahkannya ke Andin.
“Gw gak nyangka kalo Pak Yusman punya anak. Sangka gw dia belom nikah.” Ucap Koko menyadarkan lamunan mereka.
“Apa gw terlalu jahat karena bersikap acuh sama Pak Yusman sampai dia minta maaf seperti ini?” Andin menundukan kepalanya.
Bayu merangkul Andin, ”Lo gak salah Din, lo kan gak tau sebab pak Yusman suka godain lo.”
“Eh itu Pak Yusman!” Seru Jihad sambil menunjuk kearah kantor guru.
Mereka segera mengejar Pak Yusman.
“Kalian? Ada apa?”
“Pak kami mau minta maaf sama bapak, kami pernah punya pikiran buruk tentang bapak.” Ucap Bayu sambil mengatur nafasnya.
“Kalian gak salah, kalau kalian salah pasti udah bapak maafin kok.” Pak Yusman tersenyum.
“Pak kami ingin melihat fotonya Nadya, boleh?” ucap Ical ragu.
Pak Yusman mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkan fotonya Nadya.
“Ih bapak cantikan juga Nadya daripada Andin masak Nadya disamain sama Andin yang jelek n galak kaya nenek sihir.” Ledek Fahmi.
“Bisa saja kamu.” Pak Yusman tertawa. ”Bapak harus mengerjakan sesuatu, sampai ketemu di acara perpisahan yah.” Pak yusman mengacak-ngacak rambut Andin dan Ical.
Mereka memandang Pak Yusman hingga hilang dibalik tembok. Terbesit sebuah perasaan aneh dalam diri mereka. Perasaan bersalah karena selama ini mereka telah berburuk sangka pada pak Yusman.

* * *

“Kalian? Tumben pada kesini??” Tanya Kak Ji yang kebetulan sedang ngobrol di depan rumah.
“Iseng doang.” Ucap Ical sambil tersenyum.
Mereka berdua salim kepada Kak Ji. “Kita kangen ma Kak Ji.” Goda Andin sambil cengengesan.
“Ayo masuk kita ngobrol di dalem aja.” Kak Ji masuk ke dalam rumahnya dan diikuti oleh Andin dan Ical.
“Ini Kak, oleh-oleh.” Ical menyodorkan sekotak kue.
“Repot-repot amet, lagi gak ada bini gw nih, lo kalo pengen minum ambil sendiri ya.” Ucap Kak Ji sambil membuka kotak kuenya.
“Oke.” Andin bangkit dan menuangkan 2 gelas air, “A` mau minum apa?”
“Tolong ambil teh gw aja yang gelas gede.” Pinta Kak Ji. “Ada apa nih?”
“Kenaikan tingkatnya jadi kak?” Tanya Ical serius.
“Jadi. 2 minggu lagi.”
“Disekolah?”
“Iya, proposal juga katanya udah selesai diajukan, tinggal dananya aja yang belum dikasih.”
Ical mengangguk tanda mengerti, “Gimana kalo diluar aja acaranya?”
Kak Ji memandang Ical dengan bingung.
“Ya itu juga kalo kak Ji izinin, villa papa boleh dipake, ada kolam berenang sama lapangannya juga.”
Kak Ji mengangguk namun masih diam.
“Tinggal izin dari sekolah aja, dananya gak usah minta lagi. Sama papa udah diurus buat konsumsi disana, transportnya juga.”
“Ya udah lo bilang sama ketua dan sekretarisnya supaya ngajuin proposal baru, nanti gw yang bilang sama Bu Ara sama Pak Idris.”
Andin yang baru mengetahui Ical telah menyusun rencana untuk kenaikan tingkat kali ini bertanya, “Kok tiba-tiba gitu Cal rencananya?”
“Hadiah kelulusan dari papa,” Ical tersenyum ke Andin. “Oh iya Kak, boleh nyajak temenku gak? Soalnya mau ngadain acara reuni sebagai tanda kelulusan.”
“Yah itu kan tempat lo, jadi terserah lo aja, urusan gw kan kenaikan tingkatnya.
Ical mengangguk, “Mau berapa hari disana?”
“Karena udah di villa, sekalian aja 3 hari.”
“Oke nanti aku bilang sama papa.”
“Ayo dimakan kuenya.” Kak Ji mengambil duluan pepotong kue.
Mereka bertiga bicara banyak hal, sekedar saling berbagi saja.

* * *

Di hari perpisahan.
“Kalian cantik sekali.” Puji mamanya Ical.
“Tante jangan bikin kita geer dong.” Ucap Andin sambil tertawa.
“Sudah jam delapan kalian harus cepat-cepat, jangan lupa kadonya dibawa.” Mamanya Ical meninggalkan mereka berdua.
“Semoga guru-guru seneng dapet kado-kado ini.” Andin membawa kadonya turun.
Di tempat acara Fahmi n gank udah nungguin Ical dan Andin.
“Lama amet sih tuh anak.” Fahmi sudah tidak sabar ingin melihat penampilan mereka berdua berbalut kebaya.
“Sabar dong mas, namanya juga cewe, pasti dandannya lama.” Ucap Han sambil ketawa membayangkan Ical dan Andin yang jatuh gara-gara keserimpet kain kebaya.
“Eh tuh mobilnya.” Seru Rudi semangat. Langsung saja mereka menghampiri mobil Ical yang baru parkir.
“Lama banget sih?” Keluh Bayu ketika membukakan pintu untuk Andin.
“Sorry deh, eh kadonya ada di jok belakang tuh.”
“Cihui……sekarang temen cewe kita jadi cantik banget, butuh bodyguard non?” Goda Jihad.
“Bisa aja lo, buruan deh kita masuk tar keburu acara dimulai lagi.” Ical menarik Rudi masuk. Andin digandeng Bayu sedangkan yang lainnya sibuk ngelirik cewe-cewe yang jalan sendirian, kecuali Han yang ngomel gara-gara kedapetan jatah bawa barang bersama supirnya Ical.
Acara dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah, semua mendengarkan dengan sekasama yang keliatan dari keseriusan wajah mereka atau mereka ngantuk karena begadang semalaman?? Kemudian sambutan dilanjutkan oleh beberapa guru dan terakhir sambutan diberikan oleh Bayu, suasana berubah total suara teriakan dan tawa mengiringi setiap ucapan Bayu, semua cewe terpesona.
Sampailah diacara puncak yaitu meresmikan kelulusan mereka. Satu-persatu siswa dan sisiwi maju dan diberikan piagam, tak jarang siswi yang menangis karena terharu. Tampak lebih akrab hubungan guru dan muridnya, rasanya para guru sulit melepas kelulusan mereka karena bagaimana pun juga merekalah yang selama ini mengisi hidup para guru. Acara dilanjutkan dengan penghargaan kepada setiap anggota ekskul yang secara tidak langsung membantu pembelajaran. Bayu mendapatkan penghargaan sebagai anggota OSiS terhandal, Fahmi mendapatkan penghargaan dari anggota pramuka sebagai tonggak utama. Jihad sebagai siswa berprestasi di dunia olah raga. Dan beberapa orang lainnya pun mendapatkan penghargaan dari ekskul masing-masing. Pada saat akhir Andin maju bersama Ical dan Bayu membawa kado dan diikuti oleh beberapa orang lainnya yang turut membawa kado.
“Maaf saya mengganggu acara, saya hanya mau mengucapkan terima kasih kepada para guru yang telah mengajarkan banyak hal pada kami. Kami juga ingin mengucapkan maaf jika kami selalu melawan dan tidak mematuhi perintah dari para guru.” Andin menarik napas panjang, mungkin kado-kado ini tak seberapa bila dibandingkan dengan kesabaran para guru untuk membimbing kita.
“Tepuk tangan sebagai ucapan terima kasih buat guru-guru kita!” Bayu berteriak lalu bertepuk tangan, yang lainnya turut memberikan tepuk tangan, “kami persilahkan untuk seluruh guru naik keatas panggung dan berkenan menerima kado ini dari kami.”

Setelah acara resmi Ical dan Fahmi menunggu yang lainnya mengambil minum. Duduk dimeja yang berada diberanda.
Ical melihat kearah Fahmi, “Gak nyangka yah udah tiga tahun aja. Gw seneng kita lulus tapi…” Ical mengalihkan pandangannya ke langit siang itu, “Gw juga sedih.” Ucap pelan.
“Kenapa sedih? Takut kita terpisah?”
Ical mengangguk, “Kita akan memulai hidup baru, kedengarannya menyenangkan tapi belom tentu seperti apa yang kita pikirkan” Ical memandang Fahmi lagi, “Andin, Han, Rudi, Jihad, Koko dan Bayu. Ah...Terlalu singkat rasanya.”
“Tapi dalam kehidupan yang begitu singkat akan terasa sangat menyenangkan bila hati kita saling terikat, iyakan?” Fahmi mencoba meyakinkan Ical bahwa mereka tak akan berpisah.
Ical tersenyum kepada Fahmi.
“Kok gw jadi puitis gini yah?” Fahmi ketawa sambil garuk-garuk kepala.
Rudi datang membawakan minuman dan cemilan bersama Andin dan Bayu.
“Yang lainnya mana?” Tanya Ical sambil mencicipi kue yang Rudi bawa.
“Masih asik ngantri.” Ucap Andin sambil menyodorkan kue ke Ical lalu duduk disamping Ical.
“Mi, lo masih mau nerusin ekskul?” Tanya Andin.
“Ya mau gimana lagi kehidupan itu udah menyatu sama diri gw, sulit rasanya melepas itu, iyakan Bay?”
“Ya, lo bener banget. Kalo kalian sendiri?” Bayu bertanya pada Ical, Andin dan Rudi yang kebetulan satu ekskul.
“Sampai titik darah penghabisan.” Ucap Rudi semangat.
“Setuju!!“ Seru Andin, “Lo berdua juga ikutan pencak silat kan?”
“Iya.”
“Gabung sama kita yuk, kita lagi punya proyek besar loh!!” Andin melirik Ical.
“Proyek apaan?” Bayu agak penasaran.
“Pencak silat kan budaya sendiri, bahkan bisa dibilang lebih berkembang diluar negeri. Gw cuma bisa mengharap dan mencoba mengembangkannya.” Jawab Ical agak berbelit.
Semua terdiam mendengarkan omongan Ical. Entah mengerti atau bingung dengan perkataannya. Lalu yag lain datang.
“Ngomongin apaan sih? Serius banget.” Tanya Koko yang baru datang bersama yang lain kemudian duduk di kursi yang kosong.
“Bokap gw besedia bantu beli tanah, sedangkan untuk pembangunan gedungnya gw harus cari dana sendiri.” Lanjut Ical.
“Gw pun gak punya wang banyak untuk bantuin ngebangun gedung itu.” Ucap Andin lalu menghela napas.
“Gedung apaan sih?” Tanya Jihad.
“Gedung latihan.” Jawab Ical singkat.
“Gedung buat kita latihan?” Ucap Han sambil terus ngunyah.
Ical hanya mengangguk.
Kring……..hp Jihad berbunyi. Jihad menjauh dari yang lainnya.
“Telpon dari siapa sih?” Tanya Andin penasaran.
“Paling gebetan baru.” Ucap Rudi.
“Sumpeh lo!!! Tuh anak tiap minggu ganti gebetan, jadi ngiri gw.” Han menghela napas.
“Lo juga pasti dapet pacar kok, tenang aja.” Andin geleng-geleng kepala mendengar keluhan Han.
“Oh ya Ko, lo tau tentang system computer kan??”
“Lumayan, emangnya kenapa??”
“Kalo bikin system computer sama kamera, maksud gw semacam kamera pengawas.” Lanjut Ical.
“Tau sedikit.”
“Oh gitu, lo mau gak seandainya proyek gw jadi, lo yang bikin system pengawasannya.”
“Sip lah. Ini yang namanya aji mumpung. Belom kuliah udah dapet tawaran kerja.” Koko terlihat senang.
Jihad kembali dengan muka bahagia.
“Kenapa lo cengar-cengir??” Han memandang Jihad dengan aneh.
“Gw diterima diasrama.” Sorak Jihad.
Yang lain pun turut senang mendengar kabar itu, mereka langsung memberi selamat kepada Jihad.
Seseorang berjas datang menghampiri mereka.
“Bang Billy!!!” Seru Ical dan Andin.
“Selamat yah kalian lulus, sebagai hadiahnya nanti kalian datang aja ke resto, makan gratis deh.” Bang Billy duduk ditempat Jihad.
“Beneran Bang?” Fahmi jadi sumringah, “Makan Gratis!!!” Teriaknya lagi.
“Bang kok bisa disini?” Tanya Andin penasaran.
“Kan katringnya nih makanan sama gw, enakkan??”
“Pantesan kayanya rasanya gak enak banget, hehehe… becanda kale.” Ujar Han yang masih nyuap makanan kemulutnya.
“Uh…gak lucu tau!!” Ujar Rudi.
“Boleh bapak gabung dengan kalian?” Tanya Pak Yusman yang tiba-tiba sudah berada tak jauh dari mereka.
“Silahkan...” Han bangkit dan memberikan tempat duduknya kepada pak Yusman.
“Terima kasih Han.” Pak Yusman memandang semuanya satu persatu, “Kalian terliha berbeda sekali hari ini, Ical dan Andin yang tambah cantik.” Pak Yusman tersenyum ketika melihat Andin dan Ical yang tersipu malu, “Kalian juga gak kalah gantenganya kok dari Bapak.”
Sontak semua tertawa dengan ucapan pak Yusman tadi.
“Oh iya pak, emangnya Nadya sakit apa sih?” Ical membuka omongan.
“Nadya waktu kecelakaan itu kepalanya terbentur dengan keras, otaknya terguncang dan kini ia seperti anak abnormal saja.” Ucap pak Yusman.
Semua mengangguk tanda mengerti.
“Boleh kita kenalan dengan Nadya?” Tanya Andin pelan.
Pak Yusman tersenyum lalu mengangguk.

* * *

Hari pertama kenaikan sabuk.
“Ayo absen dulu!” Teriak Ical.
Semua berbaris sambil membawa barang bawaan mereka masing-masing. Ical meneriaki nama mereka satu-persatu.
“Ada yang belum dia absen?”
“Gak ada kak.” Teriak Yaka sebagai ketua ekskul tahun itu.
“Ayo masuk semuanya, 2 baris didepan jangan diisi yah.”
“Ya...”Teriak anak-anak semangat.
Rudi yang berdiri disamping Afir menggelengkan kepalanya, “Semangat betul mereka.”
“Mereka gak sadar kali kalo mau di bantai. Hahaha...”Afir tertawa terbahak-bahak, semua menengok kepadanya.
“Senior aneh.” Gumam Nika, yunior Ical yang melihat Afir tertawa.
“Emang seniornya pada aneh-aneh, apa lagi abang gw.” Fad geleng-geleng.
“Hei ayo buruan naik.” Bentak Suhai mantan ketua di angkatannya Ical.
Buru-buru semuanya naik ke bus dan mencari tempat duduk, kemudian diikuti oleh pembina dan pelatih-pelatih serta senior-senior.
“Afir...” panggil Kak Ji.
“Ada apa A`?”
“Pimpin doa.”
“Baik.” Afir berdiri ditengah-tengah bus, “Sebelum kita menempuh perjalanan ada baiknya kita berdoa, semoga diberi keselamatan dan kelancaran di perjalanan, berdoa mulai.” Afir menundukkan kepalanya dan mengangkat tangannya, ia mulai membaca doa.

* * *

“Akhirnya kita liburan juga.” Ucap Fahmi dengan semangat.
“Karena yang lain belum sampai jadi kita santai-santai aja dulu.” Koko bangkit dari duduknya dan merapihkan pakaiannya yang hanya kaos dan celana pendek, “Gw mau ke pantai, siapa yang mau ikut?” Koko melenggang ke kamar untuk mengambil kameranya.
Fahmi langsung berdiri dan berlari keluar, “Ayo mau ikut gak?”
Bayu berjalan dengan gontai menyusul Fahmi.
“Ih lo lemes banget sih, masih pagi juga, semangat dikit dong.” Fahmi berloncat-loncatan kegirangan.
“Bu kita mau ke pantai dulu, mumpung Ical ma yang lainnya belum dateng, Ibu istirahat aja dulu, jam 12 mereka baru sampai.” Ucap Koko sopan kepada Bu Hasan yang bertugas masak bersama beberapa orang lainnya.
“Iya mas kami tinggal masaknya saja bahannya sudah siap semua. Nanti kalau non Ical sudah sampai ibu kasih tau kalau mas Koko di pantai.” Bu Hasan tersenyum pada Koko, walau sudah tua tapi masih terlihat guratan-guratan kecantikannya apalagi bu Hasan selalu tersenyum.
Fahmi, Bayu serta Wintara anaknya Bu Hasan yang kerja sebagai supir di rumah Ical telah menunggu Koko di depan gerbang villa.
Mereka menyusuri pantai yang bersih tanpa sampah. Pantai itu bila kita agak ketengah disana terdapat terumbu karang tapi dipinggirnya bersih tanpa karang. Koko mengabadikan beberapa pemandangan dengan kameranya, Fahmi pun tak mau ketinggalan untuk diabadikan dalam kamera terbaru Koko. Bayu yang tadinya diam saja karena melihat ulah Fahmi yang lucu jadi turut bersenang-senang, sedangkan Winta tak mau kalah keren sama Fahmi, mereka berebut gaya untuk berfoto.

* * *

Di bis.
Fad mendekati tempat Ical dan Andin duduk, “Kak Andin emangnya anaknya pak Yusman abnormal yah?”
Andin memangdang bingung Fad, Andin bingung dari mana Fad tau tentang hal itu. Andin menganggukkan kepalanya, pasti dari Han, pikirnya. Anggukan Andin juga merupakan jawaban dari pertanyaan Fad.
“Kasihan pak Yusman.” Muka Fad jadi tampak sedih.
Ical memperhatikan perubahan wajah Fad, “Jangan-jangan lo simpatik lagi sama pak Yusman ato lo naksir sama pak Yusman? hahaha...” Ical tertawa sambil terus menggoda Fad.
“Ih kak Ical apaan sih?” Fad tersipu malu, “Emangnya kak Ical gak kasihan sama pak Yusman? Aku denger juga gara-gara gak sanggup ngurus anaknya, istri pak Yusman pergi ninggalin pak Yusman dan anaknya.” Fad agak berbisik kali ini.
“Masa?”Andin dan Ical tak percaya dengan penuturan Fad.
“Tapi gak tau juga deh tuh gosip bener pa gak.” Fad meninggalkan Ical dan Andin lalu kembali ke tempat duduknya.
Di bangku barisan belakang tiba-tiba terdengar suara tawa yang terbahak-bahak. Andin dan Ical yang penasaran menengok ke barisan belakang.
“Ada apa sih?” Tanya Andin sambil berusaha melihat sumber tawaan itu.
Rudi sempatkan dulu mengatur dirinya lalu mendekati Andin, “Han tidurnya ngiler.” Rudi tertawa lagi diikuti Ical dan Andin yang turut tertawa.
“Pantes tuh anak kalau tidur mukanya ditutup pake selimut trus, gak taunya tidurnya ngiler toh.” Komentar Ical disela tawanya.
“Jihad, si Han foto dong, nanti kita pajang di villa.” Usul Andin.
Fad bukannya membela abangnya eh malah sangat mendukung perbuatan kakak seniornya itu.
Di villa terjadi kesibukan masak memasak di dapur yang cukup luas. Bu Hasan menumis kacang panjang dan irisan tempe, makanan sederhana memang tapi mengandung gizi yang baik untuk tubuh. Sedangkan dimeja yang cukup besar yang berada di ruang makan telah tersedia banyak potongan telur dadar dan semangkuk besar sambal goreng.
Fahmi yang lelah bergaya didepan kamera mengajak Winta, Bayu dan Koko untuk kembali ke villa.

* * *

Ical memberi tahukan jalan menuju villanya, supir bis tanpa komentar mengikuti petunjuk Ical. Anak-anak yang lelah dalam perjalanan tadinya tertidur kini telah bangun dan bersiap untuk turun dari bis.
“Ayo barang-barang kalian jangan sampai tertingal.” Afir mengingatkan semua yuniornya.
Kak Ji tampak membisiki Andin sesuatu sebelum mereka turun dari bis.
Sebelum mereka masuk ke villa mereka harus menurunkan barang-barang bawaan mereka serta membersihkan bis yang mengangkut mereka. Andin mengawasi kerja mereka bersama semua senior, hanya Ical yang mendampingi para pelatih dan pembina masuk kedalam villa. Villa itu cukup besar, punya banyak kamar sehingga para pelatih dan pembina mendapat kamar terpisah dari anak-anak yang lainnya.
“Udah bersih semua?” Andin bertanya setengah berteriak.
“Udah.” Teriak para yunior.
Andin berjalan didepan bersama Rudi dan Han memimpin yang lainnya untuk masuk ke villa. Anak-anak terperangah dengan villa itu, ruang tamunya begitu luas dan ada beberapa sofa di sudut ruangan yang langsung berhadapan dengan sebuah jendela besar yang diluarnya ada sebuah kolam berenang.
“Oke...kalian bisa tenang sedikit.” Andin memandang mereka sampai mereka tenang kembali. “Yang cewek dikamar kanan dan cowok dikamar kiri, silahkan naik keatas.”
Semua anak-anak berhamburan naik ke tangga. Ical membantu bu Hasan menyiapkan makan siang, makanan untuk pelatih dan pembina dipisahkan dari makanan anak-anak. Para pelatih dan pembina oleh Ical dipersilahkan terlebih dahulu untuk makan siang sedangkan anak-anak yang lainnya diberi waktu untuk membersihkan diri atau berganti baju.

* * *

“Baru dateng?” Tanya Fahmi yang melihat Ical ketika memasuki gerbang villa.
Ical menganggukkan kepalanya tapi kemudian menggelengkan kepalanya, “Gak juga,tadi udah sempat makan dulu. Kenalan dulu sama guru-guru.” Ical menarik Fahmi ke ruang dalam.
“Nanti aja lah, gw laper nih.” Fahmi melepaskan pegangan tangan Ical.
Ical melihat Fahmi tanpa sebab, lalu tampak berfikir dan pergi begitu saja.
Fahmi memanggil Ical namun Ical tak menanggapinya. Akhinya Fahmi langsung berjalan menuju ruang makan, mengambil piring dan langsung menyendokkan banyak-banyak nasi ke piringnya,mengambil beberapa potongan telur dadar dan sesendok sambal tak lupa ia mengambil banyak sayur.
“Em…bis nguli yah mas? Makannya jatah se-RT.” Goda Andin.
“Hehehe…dimaklumi mbak, baru pose buat majalah terkenal.” Fahmi menyendokkan sesuap nasi ke mulutnya.
Andin geleng-geleng melihat tingkah Fahmi.
“Andin dipanggil tuh?” teriak Koko yang baru aja ketemu sama para dewan.
“Sama siapa?”
“Udah samperin aja sana, orangnya di depan.” Koko naik kelantai atas, dia bingung karena pintu kamarnya terbuka. Koko masuk ke kamarnya dan bingung karena melihat anak-anak ekskul silat berada disana. “Ngapain pada disini?”
Semua memandang Koko dengan perasaan bingung.
“Loh bukannya kamar kita disini?” ucap Nika.
“Salah, kamar kalian tuh disana.” Koko menunjuk kearah sebrang kamarnya.
“Oh maaf kak. Ayo pindah.” Fad segera memasukkan barang-barangnya dan menyurh yang lain mengikutinya.
“Maaf yah kak.”
Jihad tersenyum, “Asal jangan salah lagi aja.”
Ical menyusul senior yang lainnya yang sedang rapat di balai dekat lapangan belakang villa. Ical datang sambil membawa seteko air sirup dan beberapa gelas kosong serta seorang laki-laki yang berjalan disampingnya membawa beberapa toples kue kering.
“Siapa tuh?” Tanya Rudi sambil berbisik kepada Jihad.
Jihad menggelengkan kepalanya.
“Apa kabar mas Winta?” Tanya Han sambil mengalihkan sebuah toples dari tangan Winta ke tangannya.
Winta tersenyum, “Baik. Dimakan kuenya. Mas tinggal yah Cal?”
Ical mengangguk, “Makasih yah mas.”
“Siapa Cal?” Tanya Jihad yang sepertinya mewakili rasa penasaran Rudi.
“Anaknya pak Hasan.” Jawab Ical singkat. Lalu Ical menyimak omongan Afir yang menjadi penanggung jawab acara kali ini.
Andin tersenyum begitu tau yang mencarinya adalah Bayu, “Dari mana?”
“Kepantai. Udah makan?”
“Baru aja, kamu?”
Bayu menggelengkan kepalanya.
“Fahmi lagi makan, aku ambilin makannya mau?”
“Nanti aja. Nanti acara apa?”
“Nanti sore baru acara pertama. Fisik, makan, sholat, fisik lagi sampai jam 12an.”
Bayu menganggukan kepalanya.
“Masuk yuk disini panas.” Andin menarik tangan Bayu dengan mesra. Andin menggandeng Bayu dengan mesra hingga ruang makan, mereka papasan dengan kak Ji.
“Ehm...kayanya asik yah mesra-mesraan di villa, jadi pengen,” goda kak Ji.
“Ih kak Ji apaan sih, kenalin ini Bayu.”
Bayu mengulurkan tangannya dan langsung disambut dengan tangan kak Ji, “Jagain Andin yah.” Pesannya kemudian kak Ji meninggalkan mereka berdua.

* * *

15 menit setelah pemberitahuan untuk berganti seragam mereka semua telah bersiap di lapangan. Afir dan beberapa senior telah juga berada dilapangan.
“Rapihkan barisan kalian” Teriak Rudi.
Setelah barisan telah rapih para senior berbaris di samping kanan depan, kemudian datanglah para pembina dan para pelatih.
Arif memberi aba-aba untuk memberi penghormatan khas perguruan.
Kak Ji maju satu langkah dari tempatnya semula, “Saya selaku perwakilan dari dewan pelatih mengharapkan kepada kalian untuk melakukan yang terbaik pada kenaikan tingkat saat ini. Saya juga berterima kasih kepada Ical dan senior yang lainnya yang telah menyiapkan tempat ini sebagai tempat kenaikan tingkat. Terima kasih yang utamanya saya ucapkan kepada para dewan pembina serta dewan pelatih yang berkenan mengikuti kegiatan ini. Saya tak panjang lebar berbicara, langsung saja saya persilahkan kepada dewan pembina untuk membuka kenaikan tingkat kali ini.” Kak Ji mundur kembali ke tempatnya.
Pak Idris yang selaku ketua dewan pembina sekaligus sebagai dewan pelindung yang sehari-hari menjabat sebagai kepala sekolah dimana ekskul itu berada, maju dari tempatnya semula, “Terima kasih saya juga ucapkan kepada para pembina, para pelatih serta para senior yang lainnya juga kepada kalian yang selama ini selalu giat mengikuti latihan silat ini. Saya doakan semoga lancar kegiatan ini serta kalian mendapat hasil yang memuaskan, kalian tak usah tegang, kalian nikmati saja setiap detiknya dan ambil manfaatnya, insya Allah kalian akan mendapatkan hal yang memuaskan. Langsung saja saya buka cara kenaikan tingkat kali ini.”
Tepukan tangan membahan.
“Untuk kegiatannya saya serahkan kepada para pelatih dan senior yang lainnya terima kasih.” Pak Idris kembali ke tempatnya.
Kak Ji maju kembali,” Terima kasih saya ucapkan kepada Pak Idris yang telah membuka kenaikan sabuk kali ini. Kami juga mohon restu dan doa kepada dewan pembina agar kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar.” Kak Ji diam sebentar. “Silahkan Afir pimpin doa.”
Setelah berdoa para pembina kembali kedalam Villa sedangkan pelatih dan senior memberi arahan kepada anggota yang mengikuti kenaikan tingkat tersebut.
Bayu, Koko, Fahmi dibantu Winta merekam setiap moment saat itu. Ical, Andin serta anggota yang seangkatan dengan mereka tak diperkenankan mengikuti kenaikan tingkat kali ini karena sudah 6 bulan yang lalu mereka cuti dari latihan guna mempersiapkan kelulusan sekolah mereka.
Ical dan Andin hanya mendampingin senior yang lainnya memimpin lari di sepanjang pantai, membawa P3K sambil menaiki sepedah.
“Asik juga yah kenaikan tingkat disini.” Ucap Ical.
“Yang lebih asik lagi kita gak ikutan disiksa.” Celetuk Andin.
Anak-anak dengan masih tenaga penuh berlari disepanjang pantai sore itu, sambil menikmati pemandangan matahari yang hendak tenggelam.

* * *

Semangat betul para senior menyiksa anggota yang ikut kenaikan sabuk, sebenarnya menyiksa itu istilah yang muncul karena kekesalan semata, sebenarnya senior bukan menyiksa tapi ingin melihat sampai mana kemampuan mereka.
“Ayo tambah lagi push upnya.” Teriak Yuse. Senior seangkatan Afir, yang dari awal naik bis sudah diam saja, sengaja.
“Yah…kak udah capek nih…” Teriak Fad.
Yuse melihat Fad dengan sedikit sinis.
“Hehehe…iya kak ampun.” Fad akhirnya ikut push up lagi.
“Ical…” Panggil Kak Ji.
“Ada apa kak?” Ical mendekati Kak Ji dan duduk disampingnya.
Kak ji tak langsung mengutarakan maksudnya memanggil Ical.
“A`…” Ucap Ical pelan yang kemudian menyadarkan kak Ji dari lamunannya.
“Semua udah dibikinin minum?”
Ical menggerutkan keningnya, “Udah, ada kue-kue sama air jahe juga.”
Kak Ji mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ada apa sih a`?” Tanya Ical penasaran.
Kak Ji menghela napas, “Gw capek Cal.”
Ical memandang wajah kak Ji dari samping. Tak berani berkata maupun bertanya.
“Sudah hamper 10 tahun gw ngurus perguruan ini.” Kak Ji menghela napas lagi kemudian meminum teh yang masih hangat didepannya, “Gw ingin ada orang yang bisa menggantikan gw.”
Ical ikut menghela napasnya, “Kalo gak ada kak Ji siapa lagi yang mau mimpin kami?”
“Kalian harus bisa mimpin diri kalian sendiri.” Ucap kak Ji berasa tanpa beban saja.
“Tapi apa mungkin diantara kami, para senior muda, memimpin dan menjalankan perguruan ini sendiri? Ical rasa itu gak mungkin a`” Ical menahan rasa penasarannya.
Kak Ji tersenyum, “Akan kubuat itu mungkin.” Kak Ji bangkit dari duduknya.
Ical memegang tangan kak Ji, “A` berani bertanggung jawab atas kemungkinan itu? Atas keadaan perguruan ini nantinya?” Ical menekan suaranya karena perasaan bingung, marah, sedih atau apalah namanya.
Kak Ji tersenyum kepada Ical, melepaskan pegangan Ical lalu membusai kepala Ical, “Jangan cemas, ikuti saja jalannya.”
Ical memandang kak Ji, pikirannya begitu tak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan kak Ji. Hatinya jadi begitu resah dan bingung, banyak pertanyaan menyelinap dalam batinnya.
Siapa? Siapa yang akan menggantikannya? Menggantikan tiang yang dari dulu menopang atap yang melindungi kami? Siapa yang pantas? Sebenarnya ada apa? Apa kami membuat kesalahan? Kesalahan apa? Apa kami melanggar peraturan atau menentang kata-katanya?
Kak Ji melihat Ical yang pandangannya kosong kearah lapangan, “Jangan dihiraukan omongan gw tadi, ini hanya antara kita saja yah. Ayo kita kelapangan.” Kak Ji memaksa Ical untuk bangkit dari duduknya dan menuju lapangan.
“Wah gawat…kak Ji turun ke lapangan.” Bisik-bisik yang entah dari siapa, terdengar begitu riuh.
Kak Ji dan Ical merjalan ditengah lapangan.
“Kenapa lo pada ngeliatin gw? Tuh yang megang si Yuse bukan gw, jadi gak usah pade takut.hahaha…” Kak Ji menggoda anak-anak didiknya.
Ical tersenyum dan berusaha melupakan hal tadi, masih sempet aja dia goda anak-anak, batin Ical berbicara sendiri.

***

Malam semakin larut, tampaknya anak-anak didikan Kak Ji dan pelatih yang lainnya mulai kehabisan tenaga dan semangat, akhirnya mereka menghentikan uji fisik malam itu dan meneruskannya dengan meditasi malam.
Mereka diberi kesempatan istirahat setengah jam saja tanpa diperbolehkan kembali ke kamar mereka. Sambil menikmati air jahe buatan Ical dan Andin mereka mengobrol di tengah lapangan.
Yuse dan Arif dibantu Rudi dan yang lainnya memasang empat buah obor di empat penjuru mata angin. Obor-obor itu disanggah dengan sebilah bambu yang sebagian batangnya ditanam didalam tanah. Lampu lapangan segera dimatikan. Suasana mulai sepi, tampaknya anak-anak mengerti bahwa meditasi malam akan segera dimulai.
Pertama-tama mereka duduk berputar, tingkat sabuk paling rendah duduk dibagian paling dalam dan diikuti tingkat selanjutnya dibagian luar. Sedangkan para pelatih duduk diantara mereka semua secara acak. Terasa suasana berubah, angin semakin sedikit yang melewati mereka, cahaya bulan dan obor semakin terang menerangi lapangan. Hal itu bukanlah ritual seperti orang-orang zaman dahulu, gunanya hanyalah menenangkan hati dan merilakskan badan mereka yang lelah.
Mula-mula mereka mengirimkan doa kepada para nabi dan pengikutnya baru kemudian memohon doa kepads Sang Pelindung dan Sang Penyelamat untuk melindungi mereka selama melaksanakan acara tersebut. Bacaan dzikir mulai mereka lafalkan dalam hati mereka dengan posisi badan tegak dan duduk bersila dan mata tertutup.
Angin malam berhempus pelan-pelan seolah tak ingin mengusik mereka, perlahan juga angin tak lagi dingin tapi bergitu hangat dan nyaman ditubuh mereka. Dibagian belakang lingkaran orang-orang itu Yuse, Afir, Han, Rudi dan yang lainnya mulai berdiri, membalikkan tubuh mereka dari arah semula lalu saling memberi kode.
Suara pohon yang saling bergesek semakin kencang, angin pun turut memainkan perannya, mengangkat daun-daun dan debu serta pasir ke udara. Yuse memberi kode kepada yang lainnya untuk bersiap-siap dengan apa yang terjadi. Sesaat Ical melihat kebelakang dan melihat ke para yuniornya yang masih dalam keadaan semula, sebuah senyuman terpasang diwajahnya tapi bukan senyuman yang menggambarkan kesenangan atau ketenangan entah apa artinya.
Rudi dan Han melakukan tugasnya, menjetikkan jari 3x dan bersiul panjang. Kak Ji yang tau tanda itu bangun dari duduknya begitu juga dengan pelatih yang lainnya. Mereka mendekati Afir dan membisikkan sesuatu. Andin yang bertugas sebagai pengawas lega hatinya karena tak ada yang mendengar maupun terganggu dengan apa yang dilakukan Yuse dan yang lainnya.
Sebuah panah melesat dari dalam villa lantai 2 kearah sebuah pohon tak jauh dari lapangan, anak panah tersebut menancap dengan kuatnya.
Semua pelatih dan para asistennya keluar lapangan dan melakukan sesuatu di semak-semak tersebut.
“Bangun dan buka mata kalian.” Perintah Kak Ji dari salah satu pohon yang cukup rimbun dan tinggi.
Semua yunior mulai membuka matanya dan bangkit dari duduknya. Awalnya tak ada yang sadar dengan apa yang terjadi tapi tiba-tiba Fad maju kedepan mereka semua. “Mana yang lainnya?”
Semuanya bingung dengan pertanyaan Fad.
“Siapa maksud lo?” Tanya Nika.
“Siapa lagi kalo bukan pelatih n para senior.” Fad memandang semuanya satu persatu.
Semuanya menengok kekanan kekiri bahakan ada yang melihat sekeliling mereka, lalu mulailah suasana ribut. “Jangan-jangan mereka semua didalam lagi.” Kata seorang angkatan Fad yang bernama Rinfa.
Fad dan Nika mendekati Rinfa. “Gimana nih?” Tanya Fad yang sedikit cemas, bingung apa yang terjadi.
“Eh tiga orang cowok ke villa dong, cari para senior dan para pelatih.” Perintah Rinfa salah satu anggota cowo yang tertua diantara yang lainnya di lapanga itu.
Gula, Erga dan Ali menuju villa, tapi mereka melihat keanehan, villa itu kosong, tak ada barang apapun disana.
“Kok kosong sih?” Tanya Erga kepada kedua temannya.
Gula dan Ali mengangkat bahu mereka tanda tak tahu.
Erga,Gula dan Ali segera kembali kelapangan dan menemui Fad. “Kak didalem kosong gak ada apa-apa?”
Fad memandang bingung mereka.
“Gak ada kursi, meja atau barang-barang yang lainnya.” Jelas Gula.
Seorang cewek mulai terisak, “Kemana sih mereka? Kok kita ditinggalin begini?”
Fad, Nika dan Rinfa serta teman seangkatan mereka segera berunding apa yang akan mereka lakukan.
Rinfa didampingi seangkatannya berkata, “Kita sama-sama bingung apa yang terjadi, yang laki-laki berdiri dilingkaran paling luar sedang yang cewe didalam lingkaran.”
Tanpa berbicara semua melakukan apa yang diperintahkan oleh Rinfa.
Tiba-tiba lampu villa mati, suasanya semakin mencekam apalagi beberapa cewe berteriak karena takut.
“Tenang semuanya.” Teriak Rinfa, Fad dan Nika.
Ditengah kebingungan mereka tiba-tiba saja beberapa orang cewe terkulai dan pingsan, semua cewe segara panic begitu juga yang lainnya.
Tiba-tiba saja sebuah pohon terbakar hebat. Semua bertambah panic.
Sekelebat bayangan selang-seling muncul dipandangan mereka. Rinfa bersiap, memasang kuda-kuda dan tak bicara lagi, ia hanya mengamati keadaan sekitarnya. Hal itu juga dilakukan Fad dan Nika. Para yuniornya yang kemudian sadar apa yang dilakukan Fad, Nika dan Rinfa segera mengikuti.
Seseorang berpakaian hitam menutupi semua bagaian tubuhnya berdiri mengelilingi mereka. Memasang sikap menyerang.
Rinfa mulai panic,”Lindungi yang cewe.” Teriaknya.
Orang-orang misterius itu segera menyerang orang-orang yang panic itu. Perlahan satu-persatu dari mereka tumbang tanpa tau sebabnya. Angkatan Rinfa terus terdesak tanpa bantuan dari para yunior lainnya. Hanya ada beberapa orang laki-laki dan perempuan yang merasa perlu membantu senior mereka segara maju dan mulai menyerang orang-orang misterius dengan ilmu bertarung yang masih dasar.
Beberapa perempuan lagi yang melihat teman-temannya yang berusaha membantu senior mereka, segera membantu. Keadaan berubah. Kini bukanlah para laki-laki yang melindungi perempuan tapi para perempuan yang berusaha melindungi mereka.
Keadaan semakin riuh saja padahal langit segera berubah menimbulkan tanda bahwa pagi segera menjelang.
Satu-persatu orang-orang misterius itu pergi menjauh dan menghilang kearah semak-semak.
“Hei…hei…apa yang terjadi?” teriak Kak Ji tiba-tiba dari tengah-tengah kerumunana itu.
“Kak Ji?” Terkejut semua anak dengan keberadaan kak Ji begitu juga dengan senior yang lainnya.
Ical, Andin dan beberapa orang lainnya keluar dari dalam villa sambil membawa rebusan singkong dan beberapa teko air teh hangat, “Emangnya udah selesai yah a, meditasinya?” Tanya Ical.
“Gak tau mereka tiba-tiba ribut banget trus pada bubar gini.” Ucap Yuse.
Ical dan yang lainnya berjalan ketengah dilapangan itu dan menaruh bawaan mereka, “Sebenernya ada apa sih?”
“Rinfa sebenernya ada apa?” Tanya Rudi.
Rinfa maju dan berdiri didepan semua pelatih, Rinfa ingin menjelaskan tapi tak tahu apa yang harus dijelaskan pada mereka.
Fad dengan lantang berbicara, “Ini Cuma khayalan kita apa kerjaan kalian?”
“Maksud lo?” Tanya Andin.
“Tadi tiba-tiba aja kalian gak ada trus villa kosong gak ada apa-apa ditambah ada orang-orang yang menyerang kami.”
“Gak ada gimana maksud lo? Gw baru ma yang lainnya baru sepuluh menit yang lalu masuk ke villa dan ngambil minum sama singkong yang dibuat sama bu Hasan, kalo gak percaya tanya bu Hasan ato mas Winta yang juga bantu ngerebus singkong.” Bantah Ical.
“Pasti kalian bohong.” Celetuk Nika.
“Ya kalian pasti bohong aku, Gula dan Ali menjadi saksinya kalo villa kosong gak ada apa-apanya.” Erga memberikan argumennya.
Tiba-tiba saja pak Idris dan Pembina yang lainnya keluar dari Villa. “kalian sebaiknya subuh dulu, baru saja adzan berkumandang.”
Tak ada lagi yang berkomentar semuanya akhirnya masuk kedalam villa, semua keadaan seperti semula.

***

Sampai jam makan siang di hari kedua, mereka semua diberi waktu istirahat dan tidur, tapi ada beberapa diantara mereka yang tak tidur karena memikirkan kejadian subuh tadi.
Villa tampak sepi pagi itu, Ical dan senior yang lainnya secara diam-diam membereskan peralatan mereka semalam. Bahkan sebuah pohon yang anak-anak kira terbakar telah kembali seperti semula, sebenarnya semua itu hanya rekayasa saja, idenya Koko.
Koko masuk kekamarnya secara diam-diam sambil membawa beberapa kamera dibantu Jihad, Han dan Rudi. Koko memasangkan kabel-kabel ke kamera itu dan menghubungkannya ke2 buah laptop. Mulailah pekerjaan Koko. Rudi dan Han meninggalkan Koko setelah semua hal yang terekam dikemera itu dipindahkan ke laptop. Lalu mereka beristirahat dikamar mereka.
Rinfa yang masih memikirkan kejadian subuh tadi akhirnya terlelap begitu juga yang lainnya. Tinggallah para Pembina jalan-jalan kepantai, menikmati pemandangan dan udara sejuk pagi itu, mereka didampingi oleh pak Hasan dan bu Hasan, mereka berjalan-jalan dipantai, lalu mengunjungi beberapa tempat yang menjual souvenir dan ke pasar tradisional.
Jam 1 siang makanan sudah siap semuanya, semua orang dibangunkan untuk makan. Gak cuma yunior yang masih terkantuk-kantuk tapi juga para pelatih dan para senior. Para senior sungguh menikmati hidangan siang itu,walaupun sederhana tapi karena mereka makan beramai-ramai suasanyanya sungguh berbeda. Berbeda dengan para senior yang menikmati makan siang itu dengan tawa, para yunior hanya melihat sinis sambil berfikir sendiri tentang apa yang terjadi semalam. Setelah makan siang tak ada acara, jadi semua anak dipersilahkan untuk berjalan-jalan menikmati suasana pantai.
“Gimana Ko udah di edit?” Tanya Ical yang tiba-tiba masuk kamar Koko bersama Andin.
“Tinggal sedikit lagi. Eh ini mau dikopi berapa banyak?” Koko menghentikan sebentar pekerjaannya.
“Ya liat dulu hasilnya, kalo bagus nanti dicopi sejumlah anak dan seniornya. Emangnya lo beli CD-nya berapa?”
“Gw sih bawa 100, kali aja perlu banyak.”
Ical mengangukkan kepalanya, “Ya udah lanjutin dah kerjaan lo, mau gw bawain makanan gak?”
“Gak deh makasih.”
“Oke kita tinggal yah.” Andin melambaikan tangannya pada Koko lalu menutup pintu.
Di pinggir pantai, Rinfa, Nika dan Fad berbincang-bincang.
“Masa sih yang kita alamin semalem itu cuma mimpi atau khayalan kita?” Tanya Fad penasaran.
”Gw yakin banget ntu kerjaannya senior, yah mungkin aja buat nguji kita aja. Selama ini kan kita belum pernah diuji kaya gini.” Jelas Rinfa.
“Mungkin aja sih, tapi kalo inget semalem, seru juga yah, gak nyangka kita bisa seberani itu kalo dalam keadaan kepepet.” Nika tertawa sendiri.
“Seru sih seru tapi badan gw remuk, pegel semua.” Rinfa membaringkan tubuhnya di pasir, “Yah kita nihmatin aja sekarang, ntarkan kita disiksa lagi.”

***

Setelah sholat magrib dan baca yasin sama-sama mereka menikmati hidangan malam yang cukup wah, ada ayam dan ikan bakar. Mereka semua makan dengan lahapnya.
“Yus…” Panggil Kak Ji.
“Ada apa a`?”
“Kerjaian anak-anak gih, suruh mereka ganti baju n nunggu dilapangan.”
“Mau langsung latihan?”
“Yah enggak lah, mereka suruh aja diluar, hehehe.”
“Ohw…gw ngerti, siap bos.” Yuse tersenyum jail.
Yuse mematikan televise yang sedang ditonton oleh anak-anak, “Ganti baju latihan, gw kasih waktu 10 menit.” Ucap Yuse dengan tegas.
Ical dan Andin saling lirik.
“Mau latihan sekarang?” Tanya Andin panic karena ia masih menikamati ayam bakar kesukaannya.
“Dah lo makan aja, lo nikmatin aja ayam bakarnya, gw juga mau ngopi dulu.” Ical dan Andin mulai mngerti apa yang akan terjadi.
Seketika itu anak-anak buru-buru lari kekamar mereka, membungkar tas mencari baju latihan mereka, secepat mungkin mereka berganti pakaian. Dan buru-buru mereka baris dilapangan, Yuse, Rudi, Fahmi, Bayu dan Han sudah dilapangan dengan pakaian seragam sambil menikmati kopi dan teh hangat. Mereka asik ngobrol aja tanpa memperdulikan anak-anak yang sudah berpusat perhatian pada mereka semua, sekitar setengah jam anak-anak hanya menunggu akhirnya Rinfa inisiatif nanya ke Yuse apa yang akan dilakukan.
“Tunggu Ical sama Andin dulu.” Yuse kembali melanjutkan obrolan bersama yang lain.
Nika dan Fad bersama Gula, Erga dan Ali mendekati posisi Rinfa yang berada di pinggir agak belakang.
“Kok kak Jihad sama kak Koko gak kelihatan sih?” Tanya Nika membuka obrolan mereka.
“Terakhir kali gw lihat sih, mereka ke kamar.” Tambah Gula.
“Kapan?” Tanya Fad.
“Tadi siang pas jam bebas.”
“Masa sih mereka gak keluar kamar dari tadi, pas makan malam juga mereka gak ada kan?” Ucap Rinfa.
“Kira-kira mereka ngapain yah dikamar berduaan, cowok sama cowok lagi.” Fad mulai ngawur ngomongnya, “Ih…”
“Oh iya kalian sempet masuk kamar kak Koko kan?” Tanya Rinfa.
Fad dan Nika mengangguk.
“Kalian melihat sesuatu yang aneh disana?” Lanjut Rinfa.
“Ah kayanya enggak deh, gak ada apa-apa, sama aja kaya dikamar yang lain cuma ada 1 meja, kursi, lemari sama tempat tidur.” Ucap Nika.
“Kenapa lo curiga yah sama mereka berdua, ada hubungannya dengan kejadian semalam.?” Tebak Ali.
“Mungkin aja kan, abisnya gw penasaran banget sih.” Ucap Rinfa.
Ical dan Andin sudah berganti baju, bersama mas Winta berpakaian hitam-hitam.
Anak-anak kaget dengan penampilan Ical dan Andin yang berseragam hitam-hitam bukannya seperti seragam mereka selama ini. Anak-anak perempuan tambah kagum dengan Winta terutama Nika dan Fad. Wintara yang lebih sering dipanggil Winta, kelihatan lebih gagah dan tampan dengan pakaian silat.
Gak cuma anak-anak aja yang bingung dengan penampilan Winta, Ical dan Andin tapi Yuse, Rudi, Han, Fahmi danBayu juga bingung kenapa mereka berpakaian seperti itu. Yuse menghampiri Afir yang muncul dari dalam bersama para pelatih dan beberapa orang Pembina.
“Kok Ical pake baju kaya gitu sih?”
“Gak tau juga.” Afir mengangkat bahunya, “Tadi sih gw denger kita kedatangan tamu.”
“Siapa?”
“Perguruannya babe pada ngumpul disini.”
“Hah…kok gw gak dikasih tau?”
“Dadakan, sebentar lagi mereka sampai.”
Kak Ji bersama pelatih dan Pembina berdiri disamping Winta, sementara Ical dan Andin kembali ke Villa bersama Rudi, Bayu, Han dan Fahmi.
“Cal kok lo pake seragam ini sih?” Tanya Fahmi.
“Iya perguruannya alm kakek mau datang.”
“Trus kita ngapain malah masuk, sedangkan yang lainnya diluar?” Tanya Han penasaran.
“Bantuin bawa alat-alat.” Jawab Ical.
“Alat apaan?” Tanya Rudi turut penasaran.
Ical dan Andin tidak menjawab, mereka hanya berjalan kesebuah kamar yang selama ini belum pernah mereka masuki.
“Han temenin gw ke Koko sama Jihad ambil kamera.”
Ical membuka kamar, bus…hawa kamar itu keluar kamar dan baunya menerpa hidung mereka semua.
“Ini ruang apa?”
Ical gak langsung masuk tapi membaca sesuatu lalu mengucapkan salam sebelum masuk. Yang lain karena tidak mengerti maka hanya mengucakan salam saja.
Ical berjalan ketengah ruangan berdiri disebuah karpet lalu menarik sesuatu yang membuat lampu ruangan itu menyala.
“Kita tunggu Andin sam Han dulu.” Ical duduk lalu yang lainpun mengikutinya.
Andin dan Han datang sambil mengucapkan salam juga. Lalu mereka berdua duduk, Andin mengambil duduk di samping Ical dan Han disamping Rudi.
“Ini ruangan apa Cal?” Tanya Fahmi.
Andin tersenyum daan sedikit meneteskan air mata sambil melihat keseluruh ruangan itu, “Disinlah aku diangkat cucu sama kakaeknya Ical. Saat itu aku masih umur 7 tahun begitu juga dengan Ical. Awalnya gw gak ngerti kenapa sampai harus aku diangkat cucu oleh kakeknya Ical tapi sekarang aku sedah mengerti.” Andin tersenyum pada Ical.
“Akan gw jelasin sedikit. Villa ini sebenarnya bukan tempat sembarangan, disinilah pertama kali kakek mendirikan perguruannya bersama beberapa orang temannya, awalnya disini hanya sebuah gubuk tak berkamar, lalu semenjak ayah bisnis perhotelan maka dengan izin kakek ia membangun sebuah villa di tempat gubuk itu berdiri, dengan syarat bila villa ini digunakan untuk mengadakan acara atau liburan maka haruslah mengumpulkan para anggota perguruan guna menyambung tali silaturahim dan tali ilmu yang terputus. Dan disinilah disimpan semua pusaka perguruan.” Ical memandang semuanya.
“Gak nyangka gw.” Gumam Bayu.
“Udah dengerkan kenapa kita kesini, sekarang kita ambil beberapa alat.”
Ical berjalan kesebuah lemari kaca besar, ia mengambil alat-alat gendang pencak.
“Kita mau main gendang nih?” Ucap Fahmi.
“Iya.”
“Emangnya ada yang bisa?” Tanya Han ke Rudi.
“Bukan kita yang main tapi perguruannya kakek.”
Mereka membawa semua yang dibutuhkan, dibawah Koko dan Jihad sudah bersiap dengan kamera di tangan mengabadikan moment. Mereka terkejut saat keluar lapangan ada banyak orang berpakaian silat warna hitam. Ical dan yang lainnya berjalan dibelakang mereka dan menaruh alat-alat itu di pojok depan lapangan. Saat itu Winta sedang memperkenalkan siapa-siapa yang datang.
Ical berdiri disamping Winta bersama Andin sedang yang lainnya memilih untuk berdiri disamping anggota yang lain dipinggir lapangan.
Mas Winta menjelaskan sama seperti yang Ical jelaskan tadi.
Kak Ji maju kedepan dan mengucapkan sambutannya untuk perguruan yang didirikan oleh kakeknya Ical dan beberapa temannya. Lalu meminta semua anak latihnya untuk duduk dipinggir lapangan.
Para Pembina dan pelatih duduk ditempat yang telah disediakan, duduk bersama antara perguruan yang dipimpin oleh pak Idris dan perguruan yang sekarang ini dipimpin oleh babeh.
Beberapa anggota perguruan kakeknya Ical memberikan ucapan bela sungkawa kepada Ical dan Andin atas meninggalnya kakek, walau telah lewat 1 tahun lebih, namun karena tempat tinggal mereka yang jauh maka mereka tak bisa datang saat pemakamannya.
Beberapa anggota duduk ditempat alat-alat yang tadi Ical ambil dari ruang pusaka. Mereka mengelus-elus benda-benda itu bahkan ada yang memeluknya, wajah mereka berbinar ketika melihat benda-benda itu, yah itulah benda-benda yang dari kecil mereka gunakan untuk mengiringi latihan silat mereka, benda-benda yang sudah sehati dengan mereka.
Winta maju ketengah lapangan, “Sebelumnya mari kita tundukkan kepala, berdoa dan berkabung sebentar untuk meninggalnya guru, ayah, kakek yang telah turut mendirikan perguruan Cakar Harimau Putih, berdoa mulai.” Semua menundukkan kepala walau tak semuanya mengenal siapa yang dimaksud itu. Kemudian Winta mengangkat kepalanya, “Selesai. Saya persilahkan kepada beberapa rekan dari perguana Cakar Harimau putih untuk menunjukkan kebolehannya.” Gendang mulai dipukul memberi tanda alunan music akan dimulai dan dimulailah pertunjukan kebolehan bagi beberapa anggota dari perguruan Cakar Harimau Putih.
Semua terdiam menikmati sajaian seni silat didepan mereka, Yuse dan senior lainnya turut menikmati lagu yang mengiringi, rasanya badan ingin bergerak sesuai dengan iringan music itu.
Setelah musik berhenti dan unjuk kebolehan berhenti maka bergemalah suara tepuk tangan dan sorakkan.
Winta dibisiki sesuatu oleh babeh dan ayahnya, lalu ia pun memberitahu apa yang dibicarakan kepada kak Ji.
Kak Ji memberi senyuman kepada babeh dan pak Hasan tanda setuju.
Babeh dan pak Hasan maju ketengah lapangan lalu meminta Wintara, Ical dan Andin berdiri dihadapan mereka semua.
Babeh mulai berbicara, “Sebelumnya kami dari Cakar Harimau Putih mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Perguruan Selat Bintang karena telah menerima kami disini dan mengganggu acara kenaikan tingkat, dan telah mengajarkan dan membina 2 murid termuda kami, Ical dan Andin.”
Kami sebenarnya sudah merencanakan pertemuan ini sejak beberapa tahun lalu bahkan sebelum almarhum kakeknya Ical meninggal, namun masih belum tepat baginya mengizinkan kita semua bertemu.” Babeh menarik napas.
Pak Hasan melanjutkan omongan babeh, “Sebenarnya malam ini bukan hanya kalian yang kenaikan tingkat, tapi kami juga yang berkumpul disini ikut kenaikan tingkat, khususnya bagi Ical, Andin dan Wintara yang baru kali ini berkumpul lagi dengan kami setelah pertemuan terakhir mereka.”
Pak Hasan memberi tanda kepada pemain musik untuk mulai memainkan musik mereka, musik mereka melantun begitu indah dan mengalun pelan, memberi kesempatan kepada babeh untuk berucap.
“Saat ini, ditempat ini kami nyatakan bahwa Icalia Putri Madewa, Andina Malaya dan Wintara naik ketingkat berikutnya, dan kewajiban bagi ketiganya yaitu menampilkan salah satu yang telah mereka latih di tingkat sebelumnya, silahkan.”
Ical, Andin dan Winta terharu dengan pengangkatan mereka, lalu mereka berunding apa yang akan ditampilkan. Akhirnya mereka menyetujui apa yang apan ditampilkan.
Seseorang datang membawakan 3 buah pedang. Winta memberi senyuman kepada Ical dan Andin lalu musik mulai melantun lagi.
Winta berdiri ditengah antara Andin dan Ical, pedang ditangan mereka, mereka lempar keatas dan mereka mengambinya 1 persatu dengan salto, kini mereka berdiri saling membelakangi, mereka berdiri menghadap 3 arah yang berbeda, memasang kuda-kuda masing masing lalu Winta memberi aba-aba. Ical yang lebih sering menggunakan toya menggunakan pedang itu seperti toya bukan untuk menyabet tapi lebih kepada untuk menangkis, sedangkan Andin yang sering berlatih menggunakan golok yang hanya bisa digunakan delam jarak dekat menggunakan pedangnya seperti itu maka ia lebih banyak bergerak baik meloncat maupun berguling kearah tertentu. Winta dengan jenis pedang yang berbeda dari keduanya, pedangnya mempunyai 3 sisi mata pisau, bayangkan saja bila pedang itu berputar maka tampaklah seperti mata bor yang sedang berputar, yah Winta sering menggunakan gerakan itu.
Sebenarnya ketiga gerakan yang dilakukan oleh ketiganya sungguh bukan suatu rangkaian tapi merupakan gabungan dari 3 rangkaian gerak silat, yang pertama dilakukan oleh Wintara adalah pedang beliung, sedang yang digunakan oleh Andin adalah jurus pedang 1 depa dan jurus yang digunakan oleh Ical adalah jurus pedang bermata atau pedang tumpul.
Setelah selesai semuanya langsung bertepuk tangan dan bersorak untuk ketiganya.
“Mas Winta,,,love you…you are cool…” Teriak Nika dan Fad.
“Wow…Andin…Ical you like wonder women from Indonesia…” Teriak Rudi, Han, Fahmi dan Bayu.
Winta mengatur napasnya yang agak terengah-engah, lalu berbicara. “Terima kasih kepada guru karena telah menaikkan tingkat kami, ini bukan hanya suatu kebahagiaan untuk kami tapi juga ini adalah sebuah tanggung jawab untuk kami untuk terus belajar.”
Babeh berbicara dari tempat duduknya, “terima kasih telah memberi kami waktu untuk pengangkatan ke tiga murid kami ini, sekarang kami persilahkan kepada Ji untuk meneruskan acara sebelumnya, sekali lagi terima kasih kepada semuanya.”
Kak Ji ketengah lapangan, “Wah saya sangat puas dengan suguhan yang ditampilkan oleh Winta, Ical dan Andin. Mengingatkan saya dulu waktu masih muda, sekarang saya sudah tua jadi gak bisa lagi.”
Semua tertawa.
“Sekarang ini sebenarnya memang untuk penilaian jurus rangkaian dan sepertinya harus dimulai dari sekarang, silakan Yuse diatur adik-adiknya.” Kak Ji kembali ke tempat para pelatih dan pembina.
Penilaian dimulai, mereka diminta memperlihatkan jurus rangkaian silat yang telah mereka pelajari, mula-mula bersama-sama dengan aba-aba yang sama, lalu berlanjut ketahap berikutnya yaitu penilaian saat mereka melakukan gerakan dengan mata tertutup baru dilanjutkan dengan penilaian satu-persatu.
Jam 2 an acara telah selesai, semua anak diminta beristirahat sedangkan perguruan Cakar Harimau Putih berkumpul ditengah lapangan dan memperkenalkan anggota-anggota baru yang sebenarnya merupakan anak, adik ataupun sahabat dari anggota yang telah lama bergabung. Setelah perkenalan mereka sholat malam bersama-sama guna mendekatkan diri pada yang kuasa penguasa segala ilmu yang mereka miliki sekarang ini.
Untuk memulai pelajaran pertama Ical, Andin dan Wintara mempersiapkan diri lalu masuk kedalam ruang pusaka bersama anggota yang lainnya, sedangkan Rudi, Fahmi, Bayu dan Yuse diperkenankan hadir dalam pelajaran pertama Ical itu.
Ical dan Andin dibimbing oleh seseorang laki-laki sepantar Winta. Ia meminta dipanggil dengan panggilan mas Bar. Awalnya Ical diberi pengertian tentang tingkat selanjutnya. Yuse, Rudi, Fahmi dan Bayu turut mendengarkan pemaparan mas Bar.
Winta yang dibimbing oleh babeh diajarkan sebuah rangkaian gerakan beserta maknanya.
Jam 6 pagi baru selesailah pelajaran pertama itu.

***

“Woi bangun…ayo bangun…” Rudi dan Han membangunkan anak-anak laki yang sedang asik tidur, “Ayo buruan mandi dan beresin kamar.”
Sedang Ical dan Andin membangunkan yang perempuan kemudian itu mereka bantu-bantu bu Hasan menyiapkan sarapan pagi.
“Mau pulang jam berapa Cal?” Tanya Mas Winta.
“Enaknya sih abis makan siang aja atau sekalian aja sore. Sambil sarapan sambil nonton, habis itu pembagian sabuk n jalan-jalan dulu, kali aja ada yang mau beli oleh-oleh, gimana? Setuju gak mas?” ucap Ical sambil menata makanan di meja makan.
“Em…mas sih setuju aja. Kamu mau jalan-jalan kemana?” Tanya Winta, “Mas temenin deh.”
“Em aku mau kerumah temannya kakek, pak Hasan juga udah setuju, apalagi babe mau ikut juga.”
“Oke…”
Koko mempersipkan segala sesuatu untuk nonton bareng. Koko menutup beberapa jendela dengankain hitam dan membentangkan kain putih di dinding lalu mempersiapkan laptop dan sebuah proyektor.
Semua orang yang hadir masuk keruang yang besar itu, setelah semua ambil posisi duduk, Koko mulai menyetel filmya.
Muncullah dilayar garis hitam lalu muncullah tulisan dokumntasi kenaikan tingkat perguruan selat bintang. Muncullah gambar para pembina dan pelatih serta senior yang hadir saat itu, ada yang sedang mengobrol, menikmati potongan singkong rebus sampe ada yang lagi ketahuan ngambil mangga di pohon deket dapur, semua menikmati video saat itu, sampai muncullah sebuah narasi.
Sekumpulan anak duduk bersama disebuah lapangan. Berdoa.
Rinfa kaget dengan gambar yang muncul kemudian. Ia lihat peristiwa saat terjadi penyerangan, saat itu memang hanya ada mereka saja lalu terjadilah penyerangan itu, semuanya tampak kesel karena penyerangan itu adalah ulah senior-senior mereka sendiri.
Tapi mereka kagum dengan apa yng dilakukan para senior semua bekasnya tak tertinggal sedikitpun bahakan tak ada cerita yang keluar dari mulut mereka. Sampai akhir video, muncullah potongan kejadian-kejadian lucu, maka disitulah terbongkar bagaimana penyerangan itu disiapkan.
Pantasnya Koko menjadi sutradara saja, puji semua yang menonton disitu.
Setelah menonton video yang durasinya tak lama mereka berkumpul diruang duduk lalu kak Ji membagikan sabuk tanda kenaikan tingkat telah selesai dan mengumumkan bahawa mereka akan di bawa ke sentra hiburan dekat pantai untuk bersenang-senang hingga pukul 3 sore nanti.
Ical dan Andin mengajak Rudi, Han, Koko, Jihad, Fahmi dan Bayu untuk mengunjungi salah seorang teman kakek. Disana mereka menikmati sekali suasana kampung yang udaranya masih bersih, disana mereka mengambil buah-buahan langsung dari pohon dan menikmati makanan ala pedesaan.
2
Liburan kali ini akan terasa lama karena mereka semua sibuk mengurusi kuliah mereka. Bahkan Han dan Jihad sudah jarang mengikuti latihan rutin. Yah hari-hari mereka jadi begitu sepi. Tapi tidak dengan Andin yang setiap malam mendapat telpon rutin dari Bayu. Mungkin karma, karena dulu Andin yang selalu ngejodohin Bayu dengan cewe-cewe eh sekarang malah mereka jadi sepasang kekasih.
“Ical, ada Rudi tuh…” Mas Winta tau-tau udah ada dibelakang Ical yang lagi asik baca buku.
“Siapa?”
“Rudi…”
“Oh…”Ical kembali membaca bukunya.
“Lah malah baca lagi.” Winta geleng-geleng kepala.”Ayo temuin dulu.”
“Iya mas Winta.” Ical menutup bukunya dan langsung berjalan ke tempat Rudi berada.
“Hei…”Sapa Rudi.
Ical memperhatikan wajah Rudi.
“Ada apa? Kok ngeliatin gw kaya gitu?”
Ical tersenyum, “Gak ada apa-apa, tumben, eh ke taman aja yuk, tapi tunggu dulu deh gw buat minum dulu.”
Setelah Ical mengambilkan minum, mereka berdua ngobrol di taman belakang.
“Ada apa sih? Kok tumben kesini sendirian?” Tanya Ical.
“Em…iseng aja, liburan bosen kalo dirumah terus.” Jawab Rudi asal.
“Em…gitu?” Ucap Ical sambil sedikit cengengesan.
“Sebenernya…gimana yah ngomongnya. Bingung nih?” Rudi terlihat malu-malu sambil garuk-garuk kepala.
“Gak usah malu-malu gitu sih…” Ical menggoda Rudi.
“Oh iya lo mau kuliah dimana?” Tanya Rudi basa-basi.
“Em…ada deh…ayo dong bilang ada apa?” Ical memaksa Rudi untuk bicara.
Sekali lagi Rudi terlihat malu-malu, “Cal gw suka sama lo.” Ucap Rudi tanpa basa-basi.
Ical terkejut dengan perkataan Rudi, “Gak salah?”
“Gw udah lama suka sama lo tapi kayanya lo udah punya gebetan sendiri.”
“Gebetan? Siapa?” Ical malah bingung dan bertanya pada Rudi.

* * *

Di rumah Fahmi yang cukup mewah dengan halaman yang luas dari samping sampai belakang rumah.
“Fahmi….makan dulu.” Teriak Ibunya.
“Fahmi nanti aja makannya.” Fahmi masih asik bongkar-bongkar kardus digudang. Dia asik ngeliat album-album foto dan buku-buku bekas. ”Buku apaan niih? Baca ah.” Fahmi mulai membuka halaman pertama.
Kehidupanku adalah keputusan sulit, aku mengambil jalan berbeda dari orang lain, apakah itu salah??
Pengorbanan yang tak terbayar oleh apapun, demi kebahagian seseorang aku harus pergi meninggalkan gemerlap pujian dan status, demi Dewo.
Inilah kisah singkatku, semoga selalu berada dihatiku dan punya akhir yang bahagia.
Fahmi cukup terhenyak dengan tulisan itu, ia membuka halaman selanjutnya.
Maret 1983.
Entah salah atau benar keputusan ku ini, pergi dari semuanya. Bapak, Ibu dan Dewo, aku meninggalkan mereka, entah apa yang terjadi padaku, kuharap mereka juga tau apa yang ada dihatiku.
Aku tak sempat berpikir lagi setelah peristiwa itu, aku tak mau Dewo selalu berada di bawahku. Aku juga ingin ia merasakan pujian dari orang lain dan tak selalu disbanding-bandingkan dengan orang lain. Ah begitu menyesakkan melihat tatapan Dewo saat itu, kenapa mereka tega melakukan itu padanya.
Aku memutuskan pergi ke Kalimantan. Aku bekerja diperkebunan. Melelahkan memang tapi inilah jalan yang kupilih, semoga saja Dewo bisa merasa lebih bahagia disana. Kang Harjo yang membantu kehidupanku, ia sangat baik begitu juga dengan istrinya. Bahkan berkat mereka aku mengerti banyak tentang tanaman. Melihat anak mereka yang begitu bahagia aku teringat masa kecilku dengan Dewo saat bermain disawah hingga tubuh kami penuh lumpur, aku masih ingat ketika di sungai Dewo mengancamku akan menenggelamkan dirinya jika tak diajarkan silat. Aku rindu padanya.
Entah sudah berapa bulan aku disini, aku begitu merindukan tanah kelahiranku, aku ingin pulang.
Aku mulai mengumpulkan uang untuk kembali ke pulau jawa, aku ingin tinggal di Jakarta mencari jalanku sendiri. Aku tak kuat untuk kembali ke rumah dan mungkin aku akan mencuri kembali mebahagian yang dirasakan Dewo.
Desember 1983.
Aku pergi ke Jakarta, hanya dengan uang tabunganku yang tak seberapa, Aku belum punya tempat tinggal dan terpaksa harus luntang lantung dulu tapi aku memilih tidur di sebuah musolah. Ternyata penjaganya memperhatikanku tiap malam, untung ia punya pikiran baik tentangku, aku dizinkannya tinggal bersamanya di kamar belakang musolah.
Darinya aku lebih mengerti agama, wawasan hidupku rasanya semakin luas. Aku berdoa agar Dewo dapat dijadikan panutan disana. Penjaga yang kupanggil kakek itu tak taunya juga punya ilmu kebatinan yang cukup kuat, semula aku tak megharap ia mengajarkan itu padaku tapi malah dia sendiri yang menawarkannya kepadaku. Setiap aku belajar silat aku selalu ingat Bapak dan Dewo, kadang aku menangis dalam kemarahan hatiku sendiri.
Aku menjadi sorotan ketika aku berhasil menggagalkan pencurian dirumah warga saat itu aku entah kenapa ingin jalan pada malam hari, melepaskan kerinduanku kepada keluargaku, biar angin malam membawanya pegi jauh dariku. Sedang sial pencuri itu bertemu denganku. Akhirnya aku sering diminta warga untuk membantu, membetulkan genting atau membersihkan pekarangan yah memang bayarannya tak seberapa tapi aku berhasil membayar kontrakan tak jauh dari masjid, aku mengajak kakek tinggal bersama tapi ia menolaknya.

Agustus 1984.
Keluarganya Kakek datang dari kampung. Aku bersedia membiarkan istri dan anak perempuannya tinggal di kontrakanku sedangkan aku tinggal lagi bersama kakek. Pak Rt menawariku menjadi satpam gajinya lumayan untuk uang sehari-hari. Tiap malam aku dengan bangga menyusuri setiap jalan menjaga keamanan, entah Dewa akan berkata apa kalau tau aku menjadi satpam padahal disana aku tak perlu kerja sedikitpun aku sudah berkecukupan. Kadang dalam ronda malamku, dalam kesendirianku aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Setelah 2 minggu keluarga kakek tinggal dikontakanku, kakek mengutarakan niatnya menjodohkanku dengan anaknya. Aku menolaknya dengan halus karena aku tak ingin anak kakek malah sengsara hidup denganku.
May 1985.
Aku dapat pekerjaan baru yaitu menjadi pegawai di toko bunga. Setelah setahun pendekatan dengan Maryam yang pada awalnya dipaksa oleh kakek akhirnya aku menikah dengannya secara sederhana. Pernikahan itu dilangsungkan di kampungnya kakek. Aku jadi teringat Dewa seharusnya ia disana waktu itu menjadi saksi pernikahanku. Dan seharusnya Bapak dan Ibu duduk disampingku dan memberi restu pada menantunya.
Aku kembali ke Jakarta bersama istriku sedangkan kakek memilih tinggal dikampung bersama istrinya. Semoga gusti Allah melindungi aku dan istriku dari kelaparan dan kehilangan iman.
Fahmi menutup buku itu, ”Kayanya punya ayah, bacanya terusin nanti aja ah.” Fahmi kembali kekamarnya, membersihkan diri lalu makan.
“Fahmi makan dulu.” Tawar ibunya ketika melihat Fahmi melewati ruang makan.
“Iya, Fahmi mau bersihin diri dulu.” Fahmi langsung menuju kamarnya.
“Tumben ditawari makan nolak.” Goda Anya adiknya Fahmi katika Fahmi turut duduk menikmati makanan.
Fahmi hanya meliriknya lalu mulai menyuap nasi kemulutnya.
“Bu tau gak dia sekarang udah punya pacar loh.” Ucap Anya lagi.
“Pacar? Kamu bener udah punya pacar,Mi?” Ibunya menunggu jawaban dari Fahmi.
“Jangan-jangan bukan Fahmi lagi yang punya pacar tapi Anya, dari mana dia tau kalau Fahmi punya pacar sedangkan dia sendiri baru pulang dari asrama.” Fahmi meneruskan makannya.
“Benar kata Fahmi jangan-jangan kamu lagi yang punya pacar.” Goda Ibunya.
“Ih Ibu jangan dengerin omongannya Kak Fahmi dong. Emang sih Anya lagi ngefans sama senior Anya di asrama, dia itu ganteng banget, manis, pokonya baek banget deh, gak kaya dia.” Anya melewe ke Fahmi.
“Wah gawat nih bu, bisa-bisa yang nikah dia dulu lagi.” Fahmi tertawa dan menyudahi makannya lalu kembali kekamar.
Ia mulai membaca buku yang tadi lagi.
Agustus 1985.
Sepertinya pernikahanku membawa berkah, aku sekarang diberi tanggung jawab mengurus toko baru. Sesekali aku melihat anak-anak muda melintas didepan toko. Tertawa-tawa, bercanda. Aku jadi ingat dengan Dewa. Entah bagaimana ia sekarang. Aku harap jika nanti aku punya anak laki-laki akan bisa menjadi seperti dia, anak yang penuh tawa dan imajinasi. Yah semoga saja aku cepat mendapat seorang anak.
Hari-hariku hanya diisi dengan melayani pelanggan yang membeli bunga-bungaku, bosku cukup puas dengan hasil kerjaku. Terimakasih Kang Harjo. Aku jadi ingin bertemu denganmu.
Desember 1986.
Aku mendapat kabar gembira, Maryam hamil, akhirnya. Semoga saja ia seorang laki-laki dan semoga ia membawa jalan kebaikan untuk kami.
“ Pasti gw yang dimaksud.” Fahmi tertawa sendiri, lalu tak sengaja ia menemukan sebuah foto didalam lembaran buku itu,” Siapa nih?? Ini pasti ayah, ganteng juga. Tapi yang ini siapa yah?? Kayanya gw pernah ngeliat deh.”
Dirumah Ical.
“Cal…..Ical ada telepon.” Teriak mamanya.
“Dari siapa ma?”
“Dari Fahmi.”
“Fahmi?” Ical mengambil telpon dari genggaman tangannya, ”ada apa Mi?”
“Cal Nama lo siapa?”
“Ical, ada apa sih?”
“Nama lengkap lo?”
“Icalia Putri Madewa. Kenapa emangnya?”
“Besok jam 7 pagi temuin gw disekolah.”
“Ada apa?”
“Pokoknya besok gw tunggu jam 7 disekolah.” Fahmi memutuskan telponnya.
Kenapa sih Fahmi?? Gak biasanya dia kaya begitu. Hati Ical bertanya-tanya.
Keesokannya.
Jam tujuh tepat Ical udah ada disekolah. Keadaan tidak terlalu ramai, hanya anak kelas 1 dan 2 yang baru datang dengan terburu-buru karena saat itu sedang ujian akhir semester. Dengan sabar Ical menunggu Fahmi. Ical memandang langit, langit pagi yang begitu ia kagumi selama 3 tahun sekolah disana, namun tampaknya matahari masih menutupi dirinya dengan selimut awan untuk menghindari dinginnya malam.
Suara klakson berbunyi tiga kali dari arah belakang Ical, Ical membalikkan badanya dan melihat Fahmi membuka helmnya. Ical menghampiri Fahmi.
“Ada apa sih sebenarnya?” Ical memandang mata Fahmi tanpa rasa cemas.
Fahmi hanya diam lalu menyulut sebatang rokok.
“Lo kenapa sih?” Ical menarik rokok dari mulut Fahmi lalu membuangnya keselokan.
“Kita jangan bicara disini.“ Fahmi memakai helmnya lagi dan memberi tanda kepada Ical untuk naik ke motornya lalu memberikan Ical helm yang lainnya.
Tanpa banya bicara Fahmi melajukan motornya dengan cepat. Entah apa yang dirasakan Fahmi Ical tak tahu tentang itu, ia hanya mengira-ngira saja apa yang terjadi pada Fahmi. Fahmi menghentikan motornya lalu membuka helmnya.
Ical pun turun dan memberikan helm yang tadi ia pakai kepada Fahmi, “Masih tutup.” Gumamnya sambil menark napas panjang lalu menatap Fahmi lagi, entah mengapa ia selalu berani menatap Fahmi dengan begitu dalam berbeda dengan apa yang ia lakukan kepada para sahabatnya yang lain.
Fahmi turun dari motor lalu duduk di trotoar. Menundukan kepalanya, matanya memandangi jalan beraspal dibawah kakinya, ia hanya menghela napas beberapa kali dan mengembangkan sedikit senyumannya. Sambil berdiri Ical memandangi Fahmi, ingin rasanya ia memeluk dan menghapuskan apa yang menggangu hati Fahmi. Ical duduk disamping Fahmi sambil terus menatap Fahmi.
“Ada apa? Ada masalah dirumah?” Ical menunggu jawaban Fahmi.
Fahmi hanya menggelang.
“Kalian? Ngapain disini pagi-pagi?” Tanya Bang Anton juru masak direstoran itu.
Fahmi berdiri dan mendekati Bang Anton, ”Kita mau ngomong serius, boleh minjem tempat gak?”
“Boleh.” Bang Anton membuka pintu Restoran dan tersunyum pad Fahmi dan Ical. Bang Anton mempersilahkan Fahmi dan Ical masuk, Fahmi menggandeng tangan Ical, Ical hanya diam dan bertanya pada dirinya sendiri tentang apa yang dilakukan oleh Fahmi. ”Kalian mau minum??”
“Boleh, jus saja.” Ucap Fahmi lalu menarik Ical ke kursi yang agak pojok.
“Ada apa sih?” Ical melepaskan tangannya dari genggaman Fahmi dan menurut ajakan Fahmi duduk disampingnya.
Fahmi menahan perasannya, perasaan takut dan sedikit harapan, “Cal, maaf.”
“Untuk apa?”
“Untuk setiap pertanyaanku nanti.”
Ical memandang Fahmi dengan wajah bingung.
“Kamu punya Om?”
Ical menggeleng dan memandang mata Fahmi lekat-lekat lalu menundukkan kepalanya, “Andai ia masih bersama keluarga papa, pasti aku akan merasakan kasih sayang seorang paman. Kata kakek, paman minggat, dan kakek gak tau kabarnya sampai kakek meniggal.”
Fahmi menundukkan kepalanya dan menahan kepalanya mendengar apa yang dikatakan Ical.
“Nama ayah kamu siapa?” Fahmi memaksa Ical untuk memandang wajahnya.
“Madewa Satyo.” Ical memandang wajah Fahmi dengan perasaan bingung karena ia tak tahu arah pembicaraannya dengan Fahmi, “Ada apa sih? Tadi nanya Om trus nanyain Papa.” Ical mulai agak kesal.
Fahmi memberikan foto yang dia temukan kemarin di buku saku ayahnya, ”Kenal?” Fahmi tersyum dan memandangi keseriusan Ical dalam mengenali foto itu.
Ical menggeleng, ”Ini foto siapa? Tua banget, kayanya ini…” Ical memperhatikan noda-noda yang ada difoto itu.
“Ada yang lo kenal?” Melemaskan rasa tegangnya dan mengeluarkan dompetnya.
“Inikan foto papa, lo dapet dari mana?”
Fahmi tertawa.
“ Lo kenapa sih ketawa sendiri? Ini lo dapet dari mana?” Ical mendesak Fahmi untuk menjawab dengan terus mengguncang tangan Fahmi.
Fahmi mengeluarkan sebuah foto lagi dari dompetnya. “Ini foto ayah sama Ibu gw.“
“Maksud lo?” Ical menyamakan kedua foto tersebut.
“Ayah gw, yah paman lo, kakak papa lo. Diandra.”
Ical hanya memandang Fahmi dengan wajah bingung.
“Ayah memang pergi merantau sendiri dan akhirnya memutuskan menetap di sini, pokoknya ceritanya panjang deh, gw juga gak tau dengan jelas. Gw temuin foto itu di buku ini.” Fahmi mengeluarkan buku saku ayahnya dari kantong jaketnya. Fahmi terlihat begitu bahagia sampai matanya berair.
“Serius lo?” Ical begitu terkejut namun ia juga senang, langsung saja ia memeluk Fahmi.
“Ehm…Ada apa nih pagi-pagi gini dah ketawa-ketawa pake pelukan lagi.” Bang Anton datang membawakan Jus.
“Ih Bang Anton mau tau aja deh.” Ucap Ical sambil terus mengembangkan senyuman.
“Rahasia ya? Oke deh...Abang ke belakang dulu yah.” Bang Anton meninggalkan mereka sambil menggelangkan kepala.
“Ini serius? Berarti lo itu sepupu gw?” Tanya Ical masih dengan perasaan gak percaya.
Fahmi mengangguk dan merangkul Ical, “Sekarang gak ada lagi yang menghalangi gw untuk ngelindungin lo.” Bisik Fahmi.
Ical memandang Fahmi sambil menahan air mata bahagianya, “Jaga aku seperti kau menjaga adikmu.”
Mereka berdua sungguh merasakan sebuah keajaiban yang dulu rasanya tak mungkin mereka rasakan. Kini mereka berdua bisa saling menjaga dan saling membimbing. Namun mereka berdua sepakat untuk merahasiakan hal itu dari siapapun untuk sementara waktu sampai mereka menemukan waktu yang tepat.
Hari itu mereka berdua menghabiskan waktu bersama, jalan-jalan, menceritakan kejadian-kejadian dimasa kecil mereka.
“Sayang lo gak akan bertemu kakek.” Ical menengadahkan kepalanya menahan air matanya turun.
“Aku sudah bertemu dengannya, andai aku tetap disisinya waktu itu.” Fahmi menghapus air mata Ical.
“Kapan??”
“Ini hanya rahasia aku dan kakek, ingat waktu kau menemani Andin yang sakit, waktu itu kita kelas 2? Aku ke rumahmu dan bertemu dengan kakekmu, mulanya aku hanya menunggumu, tapi kakek menanyai aku banyak hal, Ayah, ibu semua tentang keluargaku, hubungan aku sama kamu, bahkan ia tau semua tentang ilmuku. Andai aku menunggumu lebih lama kita tak akan menunggu lama untuk hal ini.” Fahmi tersenyum.
”Yang terpenting kita sudah tau semuanya.” Ical membalas senyuman Fahmi, “Aku sudah menuruti saranmu.”
“Apa?”
“Aku dan Rudi.”
“Kalian…” Wajah Fahmi menunjukkan keterkejutannya namun juga tampak begitu bahagia.
“Belum sih, tunggu izin dari Kak Ji dulu.” Ical memeluk Fahmi.

* * *

Pukul 9 Fahmi baru kembali.
“Kamu dari mana?” Tanya Ayahnya dengan nada sedikit marah.
“Ada janji sama teman.” Jawab Fahmi santai.
“Sini dulu Ayah ingin bicara.” Ayahnya Fahmi menegak tehnya yang tinggal setengah cangkir.
“Tentang apa Yah??” Fahmi duduk disamping ayahnya.
“Besok kamu ikut ayah ke kedutaan.”
Fahmi bingung, “Ngapain?”
“Sudah Ayah putuskan kamu harus pergi ke Australia untuk kuliah.” Ucap Ayahnya santai.
Fahmi terpaku menatap Ayahnya, diam dan tak bicara.
“Ayah sudah melakukan yang terbaik untuk kamu, kamu harus kuliah di Australia.”
Fahmi merasakan sesak didadanya tiba-tiba dan kepalanya dengan sendirinya menggeleng, “Fahmi gak mau kuliah disana. Fahmi mau kuliah disini.” Fahmi langsung pergi ke kamarnya.
Ia begitu kesal dengan dirinya, dengan ayahnya dengan semuanya, “Kenapa jadi begini?” Tanyanya berulang-ulang. Ia Menangis, sudah lama ia tak menyalurkan emosinya melalui tangisan. Ia bingung, tak tahu apa yang akan ia lakukan.
Dari kecil ia selalu bertanya-tanya tentang ayahnya. Siapa orang tua ayahnya? Apakah yang terjadi sama mereka? Apakah ayah punya saudara?
Selama bertahun-tahun ia selalu membayangkan punya seorang om atau tante atau seorang sepupu. Membayangkan pergi liburan bersama mereka atau melakukan hal-hal lainnya pada saat lebaran.
Tapi pada saat ia mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki om, tante bahkan sepupu kini ia harus meninggalkan mereka tanpa ada kenangan sedikitpun tentang mereka.
“Ya Allah apa yang harus aku lakukan??” Fahmi duduk didepan pintu kamarnya, hanya terdiam memandang foto ia dan ayahnya ketika pertama kali ia di kenalkan kepada silat. Ia baru saja berjanji pada Ical untuk selalu menemaninya tapi ia juga tak kuasa menentang Ayahnya.

***

“Halo…” Sapa Ical dari telepon pada hari berikutnya.
“Hai…” Jawab Fahmi seadanya.
“Kok pagi-pagi dah gak semangat gitu sih?”
“Gak apa-apa kok. Hari ini rencana lo mau ngapain?”
“Ikut gw yuk.”
“Kemana?”
“Gw tunggu dirumah, 1 jam lagi bisa sampai sini?”
“Bisa.”
“Oke gw tunggu yah.”
“Duh kok pagi-pagi dah senyum-senyum sendiri, dah telpon-telponan lagi, sama siapa tuh?” Goda mas Winta.
“Ih mas Winta, pagi-pagi dah godain aku. Lebih baik temenin aku pergi mau gak?”
“Boleh, kemana?”
“Nanti aku kasih tau, sekarang mandi dulu, bau nih…” Ical menutup hidungnya dan menjauhi Winta.
“Masak sih aku bau?” Winta mencium kaos yang dikenakannya, hidungnya mencium bau yang tidak sedap, “pantes aja aku bau, akukan habis kasih pupuk kandang ke tanaman, hehehe…” Winta terkekeh sendiri.

***

“Pagi Mas Winta.” Sapa Fahmi yang baru datang kepada Winta yang sedang mengelap mobil.
“Iya, janjian sama Ical.”
“Oh…sangka mas dia mau pergi sama Andin.”
Fahmi cuma tersenyum.
“Eh kamu tau gak Rudi itu orangnya gimana? Sikapnya?” Tanya Winta sambil terus mengelap mobil.
“Dia sih baik, sopan, tegas. Yah pokoknya gitulah. Emangnya ada apa mas?”
“Gak ada apa-apa kok.”
“Eh Fahmi udah disini.”Ical langsung menghampiri Fahmi dan menyalaminya.
“Mau langsung pergi?” Tanya Ical.
“Boleh.”
“Oke…kamu masukin aja motornya ke garasi, kuncinya kasih pak Hasan aja.” Ucap Ical ke Fahmi, “Mas Winta kita pergi ke…”Ical membisikkan sesuatu ke Winta dan Winta mengangguk tanda mengerti.
Ical, Fahmi dan Winta hanya terdiam selama perjalanan. Fahmi sebenarnya penasaran kemana mereka akan pergi tapi entah kenapa pertanyaan itu tak mau keluar dari tenggorokannya.
“Mas…” Ical menunggu Winta menjawab panggilannya.
“Ya…”Jawab Winta singkat.
“Janji jangan beritahu siapapun, jangan beritahu papa, Mama, paun bahkan orang tua mas Winta sendiri.”
“Tentang apa?”
“Nanti aku beritahu.”
“Cal kok kita kesini?” Tanya Fahmi tiba-tiba.
“Kakek harus bertemu sama kamu, kakek harus tau kalau kita sudah bertemu.” Jawab Ical setengah berbisik.
Ical, Fahmi dan Winta turun dari mobil, jalan diantara tempat peristirahatan terakhir bagi jasad-jasad yang telah terpisah dari rohnya.
Mereka berhenti disebuah makam, makam yang selama ini selalu di sering didatangi oleh Ical.
“Kek, ini aku sudah bertemu dengan cucumu yang lain, cucu yang tak pernah kau habiskan waktu bersamanya, kini dia datang mengucapkan salam untukmu.” Ucap Ical lirih sambil menahan air matanya.
Fahmi jongkok disamping makam, “Assalammualaikum kakek, aku menemuimu sekarang, aku cucu yang hanya sekali kau temui, aku Fahmiandra, anak dari Diandra.” Fahmi berucap seperti menggumam.
“Kita kirim doa dulu buat almarhum kakek?” Ajak Mas Winta.
Ical dan Fahmi mengangguk, mengiyakan ajakan Winta untuk mengirim doa.
Di mobil.
“Oke, ada yang kalian bicarakan denganku?” tanya Winta penasaran.
Ical tersenyum, “Mas Winta, kenalkan ini sepupuku, Fahmiandra.” Ical memperkenalkan Fahmi dengan bangga dan penuh senyuman diwajahnya.
“SEPUPU?” Tanya Winta kaget.
Ical mengangguk pasti.
Fahmi menghela napas untuk buka suara, “Ayahku dan papanya Ical bersaudara, hanya karena ada sesuatu hal mereka akhirnya berpisah dan belum ketemu lagi sampai saat ini.” Jelas Fahmi.
“Serius kalian sepupuan?” Winta masih belum percaya sepenuhnya.
“Dua rius mas…Kakek dulu pernah cerita tentang hal itu sama Ical tapi Ical belum ngerti waktu itu sampai kemarin Fahmi datang dan menunjukkan buktinya.” Ical memperhatikan wajah Winta, “Mas janji yah gak cerita sama siapa-siapa?”
“Janji yah mas.” Fahmi turut merajuk.
Winta tersenyum, “Oke, tapi kapan kalian kasih tau orang tua kalian?”
“Secepatnya.” Jawab Fahmi pasti.
“Oke.”
“Kita makan?” Tanya Ical semangat.
“MAKAN!!”

***

Ical yang siang itu tertidur tiba-tiba terbangun ketika pintunya diketuk dengan keras.
“Siapa?” Tanya Ical setangah kaget.
“Andina malaya yang sweet dan cute.” Andin terkekeh, “Buka pintunya dong.”
Ical membukakan pintu yang terkunci, “Ada apa sih?”
“Lo tau kabar terkini gak?”
“Kabar apaan?” Ical membaringkan tubuhnya kembali.
“Fahmi mau kuliah di Australia.” Ucap Andin dengan jelas.
Ical kaget dengan berita yang disampaikan oleh Andin. Fahmi akan ke Australia, meninggalkannya yang baru beberapa hari tahu kalau mereka masih ada hubungan darah.
Ical langsung kekamar mandi, mencuci mukanya dan mengganti pakaiannya.
“Lo kenapa sih Cal?”
Ical tak menjawab apa-apa, setelah berganti pakaian ia mengambil dompet dan Hp-nya.
“Mas..Mas Winta…antar aku temui Fahmi.” Teriak Ical sambil berjalan keteras.
Mamanya Ical mengejar Ical yang terburu-buru begitu juga dengan Andin, “Kamu kenapa sih Cal? Kok tumben teriak-teriak gitu? Gak sopan.”
“Duh Mama gak ada waktu untuk ngejelasinnya, mas Winta mana?”
Sebelum mamanya menjawab Winta sudah muncul di teras.
“Ada apa Cal?”
“Anterin aku ke tempat Fahmi.”
“Aku ikut.” Ucap Andin.
Winta langsung berjalan ke mobil dan menyalakan mesinnya.
“Ical sebenarnya ada apa?”
“Nanti aja ma aku jelasinnya.” Ical pergi setelah bersalaman dengan mamanya.
“Cal ada apa sih?” Tanya Andin turut bingung.
“Aduh udah deh kalo lo mau ikut gak usah banyak tanya.” Jawab Ical sedikit kesel.
Winta langsung menjalankkan mobilnya begitu Ical dan Andin naik ke mobil.
“Halo…”
“Ada apa Cal?”
“Kamu dimana?”
“Lagi di toko buku temenin Bayu.”
“Di toko buku mana?”
“Tempat biasa.”
“Tunggu, aku kesana.” Ical menutup telponnya, “Mas kita ke mal yang biasa.” Pinta Ical.
Ical tak bicara lagi setelah itu, ia menahan tangisnya, ia tak mau Winta tahu kegelisahan hatinya apalagi Andin.
Satu setengah jam kemudian.
“Eh itu Ical sama Andin.” Tunujk Bayu kearah pintu masuk toko buku.
Fahmi menelan ludahnya, hatinya gelisah dengan keadaan ini. Ia menebak bahwa Ical telah tahu tentang kuliahnya di Australia. Fahmi menatap mata Ical yang sedang berjalan kearahnya, mata itu begitu sulit diterangkan artinya, kemarahan, kesedihan bersatu.
“Hai sayang…”Sapa Andin kepada Bayu dengan sedikit mesra.
Berbeda dengan Andin dan Bayu.
“Plak…”Ical menampar pipi kanan Fahmi dengan tangan kirinya.
Ical masih menahan air matanya yang rasanya sudah hampir keluar dari matanya. Andin terkejut dengan sambutan Ical ke Fahmi, Andin tak bisa berkata apapun karena ia tak pernah melihat Ical menampar seseorang seperti itu apalagi tanpa mendengarkan pembelaan dari orang itu.
“I…Ical…”Napas Fahmi sedikit memburu,entah kaget atau marah.
Ical menjauhi Fahmi dengan menahan tangis sekuat tenaga.
Fahmi menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan cepat, “Aku temui Ical dulu.” Fahmi menyusul Ical yang berjalan keluar toko.
“Bayu sebenernya ada apa sih antara Ical dan Fahmi? Apa ada hubungan khusus atau ada kesalahan yang dibuat sama Fahmi sampai Ical nampar dia? Seumur hidupku aku belum pernah melihat Ical menampar seseorang, apalagi orang yang dekat dengannya.” Andin terlihat gelisah.
Bayu tersenyum pada Andin, “Gak ada apa-apa kok, aku kira ini Cuma salah paham aja.” Bayu memeluk Andin sebentar, “Kamu kejar mereka tapi jangan ikut campur dulu urusan mereka, aku bayar buku dulu, nanti aku menyusul.”
Andin langsung mengejar Fahmi dan Ical yang sudah diluar toko buku.
“Ical tunggu…”Fahmi menarik tangan Ical dengan sedikit kasar karena Ical tak mau berhenti juga dari larinya.
Ical menatap Fahmi dengan matanya yang merah dan linangan airmata dipipinya.
“Ada apa?” Tanya Fahmi pelan.
Ical menyempatkan menghapus air matanya dulu, “Kamu tanya ada apa? Justru aku yang harus bertanya sama kamu.”
“Aku gak ngerti yang kamu maksud.”
“Kamu mau ke Australia kan? Kamu mau ninggalin aku kan?” Ical menghapus airmatanya lagi, “Jawab Mi, jawab pertanyaanku.”
“Memangnya kamu mengharapkan jawaban apa dariku?” Fahmi tak berani menatap Ical.
“Percuma kita tahu siapa kita kalau akhirnya seperti ini, setidaknya jika aku tak tahu, aku bisa membiarkanmu pergi kemana pun yang kau suka.” Ical berjalan meninggalkan Fahmi.
Fahmi mengajar Ical, “Aku gak mau ini semua ada didepanku, aku mau aku hilang dan gak ngalamin kejadian ini. Aku gak mau ninggalin kamu Cal.” Fahmi memeluk Ical dari belakang.
“Lepas.” Ronta Ical.
Bayu menghampiri Andin yang tak jauh dari Fahmi dan Ical begitu juga dengan Winta.
“Aku gak bisa menolak hal itu, ayah sudah menentukannya.” Bisik Fahmi.
“Biar aku yang bongkar semuanya dan kasih tau ke ayah kamu.”
“Jangan…belum saatnya.”
“Belum saatnya katamu? Apa kau mau kejadian antar orang tua kita terjadi lagi?” tanya Ical marah.
Winta mendekati mereka, “Tak baik kalian bertengkar disini, lihat sekeliling kalian, orang-orang sedang melihat pertengkaran kalian.”
“Aku gak peduli dengan mereka.” Ical menjauh dari Fahmi.
“Ical…” Fahmi berusaha mengejar tapi Winta menghalangi.
“Biar Aku yang bicara pada Ical, tunggu kami disuatu tempat yang enak untuk bicara.” Saran Winta lalu mengejar Ical.
Ketika Winta sudah bertemu dengan Ical, “Hei…adik mas yang satu ini kok jadi cengeng gini sih?” Winta membuka ucapan.
Winta menunggu Ical bicara tapi Ical tak bicara.
“Adikku sayang, Ical anggap mas ini kakakmu kan? Ical bisa bicara apa yang Ical rasain ke mas sekarang.” Ucapan Winta membuat Ical menghentikan tangisnya dan memandang Winta.
“Ada apa sebenarnya?” Tanya Winta lanjut.
“Fahmi.” Hanya kata itu yang menjawab pertanyaan Winta.
“Fahmi berbuat salah sama kamu?” Tanya Winta lagi, Ical hanya diam, karena ia bingung mesti menjawab apa.
“Ada apa? Mas tanya sekali lagi.
“Fahmi mau kuliah di Australia.” Jawab Ical yang sudah sedikit tenang, “Mas taukan baru beberapa hari aku tahu kalau dia sepupuku, sepupu yang selama ini aku gak punya. Tapi sekarang dia udah mau pergi lagi dan itu artinya aku kehilangan dia.” Jelas Ical.
Winta tersenyum, “Adikku sayang, mas Winta ngerti apa yang Ical rasa sekarang ini, rasa ini juga sama seperti apa yang mas rasain, mas begitu sedih, marah atau entahlah namanya, karena mas melihat kamu nangis. Mas juga gak punya adik, sekarang mas punya kamu, mas gak mau kamu kaya gini, menyelesaikan masalah tanpa pikir panjang dulu. Kamu tahu apa yang Fahmi rasain? Mungkin aja dia sembunyiin hal itu karena dia gak mau nangis kaya gini.”
“Ical bingung harus gimana?”
Winta tersenyum, “Kita bicara baik-baik sama Fahmi, kamu mau?”
Ical mengangguk.

***

Ketika sampai dirumah.
“Ical kamu sebenarnya kenapa sih?” Tanya papa ketika Ical baru memasuki rumah, “Tadi papa dengar mangil Winta dengan teriak-teriak, gak sopan Ical.”
Ical melihat wajah papanya, “Maaf.”
“Bukan sama papa tapi sama Winta minta maafnya.”
“Gak usah om.” Ucap Winta yang berdiri dibelakang Ical.
Ical berjalan begitu saja.
“Ical papa belum selesai bicara.” Ucap papanya dengan tegas.
“Pa, apa papa gak pernah kesepian gak punya saudara?”
Pertanyaan Ical mengejutkan Madewa, papanya Ical.
“Kamu ngomong apa tadi?”
“Apa papa gak pernah merasa kesepian gak punya saudara?” Ucap Ical lagi lalu ia segera pergi menuju kekamarnya.
“Maaf om, Ical sedang punya sedikit masalah, tapi besok juga Ical sudah baik lagi kok, saya jamin.” Ucap Winta sebelum Madewa marah kepada Ical.
Madewa menghembuskan napas, “Om minta tolong sama kamu, jaga Ical, karena dari kecil Ical suka kesepian.”
Winta mengangguk.









3
Andin termenung di kamarnya, “Jihad dah dapet kuliah, Fahmi malah kuliah di luar negeri, Ical juga udah dapet tempat kuliah, gw mau ngambil jurusan apa yah?”
Tiba-tiba wajahnya menjadi cerah, ia langsung bangun dan mencari sesuatu diatara gulungan-gulungan kertas di sebuah keranjang, “Kok gak ada yah?”
“Andin…Andin…” suara serang laki-laki memanggil namanya.
“Papa!!” Serunya dan langsung turun kelantai bawah, memeluk Papanya yang baru pulang, ”Papa kok pulangnya lama banget sih, Andin kan kangen.”
“Papa juga kangen sama kamu, Papa belom ngasih selamat nih sama kamu atas kelulusanmu.” Papanya memeluk Andin sekali lagi.
“Kamu ikut Ujian masuk universitas?” Papanya menjatuhkan dirinya disofa.
“Ikut, bulan depan. Sebaiknya Andin ngambil apa yah Pa?” Andin bertanya sambil membuatkan minuman untuk Papanya.
“Em. . .Papa sih terserah kamu aja, kamu mau masuk pelayaran juga gak apa-apa.” Papanya tertawa kecil.
“Itu sih maunya Papa, biar Andin bisa nerusin usahanya Papa, padahal kak Atar udah setuju buat nerusin usahanya Papa.” Andin menyuguhkan secangkir teh lalu duduk di samping Papanya. ”Andin sih maunya ngambil pendidikan aja, pengen jadi guru gitu Pa.” Andin membayangkan dirinya berada di sebuah ruang kelas.
“Terserah kamu ajalah, Papa selalu ngedukung kamu kok. Oh iya Papa sampai lupa.” Pak Malaya menepuk jidatnya.
“Lupa apaan Pa??”
“Kamu gak pernah nonton berita yah??” Andin menggeleng, ”Kapal terbaru Papa kan udah jadi, bulan depan mulai berlayar ke Australia.”
“Yang bener Pa?”
Pak Malaya meminum tehnya lalu mengecup kening anak bungsunya itu, “Kamu mau liburan kemana? Biar papa temenin kamu tapi hanya tiga hari aja loh.”
Andin mengerutkan keningnya.
“Aku ingin menemui kakak.” Jawab Andin singkat.
“Oke, kita ajak mereka berdua jalan-jalan ke puncak atau ke pantai.”
Andin mengangguk setuju.

***

Kedua kakak Andin yang meneruskan kuliah diluar kota membuat mereka jarang berkumpul bersama Andin, mereka terkejut ketika melihat Andin datang ketempat mereka tinggal apalagi Andin ditemani papanya.
“Andin? Papa?” Seru kak Dita yang melihat mereka berdua, kak Dita langsung memeluk Andin dan papa yang sangat dirindukannya.
“Uh…Andin gak bisa napas nih.” Ucap Andin menggoda sehingga Dita melepaskan pelukkannya.
“Papa ambil cuti?” Tanya Dita cepat.
“Papa sengaja ambil cuti, papa kangen sama kalian, Radit mana?”
“Radit sedang fotocopi tugas, sebentar juga pulang.”
“Itu kak Radit.” Tunjuk Andin keluar pagar lalu Andin segara berlari kearah Radit.
“Andin?” Radit menyambut pelukan Andin dan menciumi wajah adik tersayangnya itu.
“Gimana kabar kamu?”
“Baik.” Andin memeluk sekali lagi.
“Kalian mau ikut kami jalan-jalan?” Tanya papanya.
Radit dan Dita mengangguk antusias.
Mereka menikmati kepulangan papa mereka dengan jalan-jalan ke tempat wisata yang berada di kota dimana Radit dan Dita berkuliah.
“Oh iya Andin kak Radit belum mengucapkan selamat atas kelulusanmu. Selamat yah.”
“Terima kasih kak Radit.” Andin menerima ciuman dikeningnya.
“Aku juga mau ucapin selamat buat adikku, Selamat yah.” Dita juga mencium kening Andin, “Dan ini hadiah buat kamu.” Dita mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya.
“Ah apa ini kak?”
“Buka aja.”
Ternyata Andin menerima sebuah jam tangan dengan bertuliskan nama andin di tali jam itu. “Ah bagus banget, terima kasih kakakku sayang.”
“Papa juga punya hadiah buat kamu.”
“Apa pah?” Tanya Andin antusias.
Papanya menyerahkan sebuah gambar.
“Inikan?”
“Itu sebenarnya hasil rancangan kamu yang dulu itu, yang kamu kasih nama Dewa Samundar.”
Andin terkejut, ”Pantesan Andin cari gambarnya gak ketemu.”
“Kamu mau ikut pelayaran pertama?” Pak Malaya mengelus kepala Andin.
“Mau.”
“Kamu ajak teman kamu, nanti papa yang urus semuanya.”
“Sip deh.” Andin memeluk Papanya, “Terima kasih papaku sayang.”

* * *

Keesokan harinya subuh-subuh Andin sudah datang kerumah Ical.
“Andin… Tumben kamu pagi-pagi udah kesini.” Sapa Papanya Ical.
“Iya Om, mau latihan sama Ical.”
“Oh gitu, latihannya yang bener yah.” Papanya Ical meneruskan baca korannya.
Ical menarik Andin ke lapangan belakang rumah, mereka berdua sudah siap dengan baju latihan pencak silat. Latihan dimulai dengan pemasan lalu peregangan kemudian dilanjutkan dengan serangkaian gerakan silat setelah itu mereka berdua bermeditasi menunggu datangnya sang matahari.
“Cal…” Andin masih dalam posisi meditasi.
Ical menghembuskan napas, lalu menghentikan meditasinya. ”Apa??” Ical bangkit dan mengambil botol minuman dipinggir lapangan.
“Mau ikut gak?” Andin mendekati Ical.
“Kemana?” Ical menyerahkan botol minuman kepada Andin.
“Papa bikin kapal baru, gw diajakin berlayar, mau ikut gak?”
“Kemana?”
“Ke Australia.” Ucap Andin santai.
“Australia? Mau.” Ical terlonjak dan langsung memeluk Andin, ”Ajak yang lainnya??”
Andin mengangguk.

* * *

Atas panggilan Ical dan Andin semuanya berkumpul di Restonya bang Billy, menikamati makanan gratis yang dijanjikan oleh bang Billy pas perpisahan sekolah. Ikan bakar dan aneka makanan seafood serta beberapa makanan penutup disantap oleh mereka dengan gembira, tawa dan ocehan khas mereka turut menyertai kunyahan mulut mereka.
“Plok…plok…plok…plok…” Andin bertepuk tangan meminta perhatian semuanya. Semuanya berhenti makan dan memandang Andin serius.
“Kalian gak ada yang mau nanya kenapa kalian dipanggil kesini?” Andin memandang mereka semua sekali sapuan.
“Mau makan gratis kan?” Tebak Fahmi sambil nyengir.
Ical menyilangkan tangannya, “Maaf jawaban anda kurang tepat.”
“Sebenarnya gw ngundang kalian kesini itu buat…” Andin terdiam sebentar.
“Buat apa?” Tanya Han sambil makan es krim.
“Papa gw ngundang kalian untuk datang ke kapal barunya.” Ucap Andin hati-hati.
“Mau makan gratis lagi yah?” Tanya Jihad yang mengelus-elus kepala hamper botaknya.
“Tepat. Tapi ada yang lebih seru lagi yaitu berlayar ke Australia dengan kapal itu.”
Semua melotot, Han keselek es krim dan memuntahkan es krimnya ke kepala Jihad.
“Sumpeh lo!!!!” Tanya Rudi dan Bayu bersamaan.
“Disamber geledek rame-rame deh.” Andin mengangkjat 2 jari.
“Kapan??”
“Abis SPMB, nanti baliknya naik pesawat, paspor dan segala macamnya diurus sama papa, kalian tinggal kalian nyerahin surat-suratnya.” Andin kembali makan pudingnya.
“ASSSSIKKKK . . .” Mereka semua saling berjabat tangan sambil tertawa-tawa.
“Terima kasih tuhan engkau memberi ku kesempatan naik kapal mewah.” Koko berdoa mengadahkan tangan.
“Kalau begitu kalian nanti akan gw ajak jalan-jalan disana, setuju?” Fahmi berkata dengan semangat.
“Setuju!!!”

* * *

Awalnya Ical memang sangat marah karena Fahmi menyembunyikan tentang kepergiannya ke Australia namun kemudian Ical berfikir dengan jernih, ini pun untuk masa depan Fahmi sendiri dan mereka akan tetap sebagai keluarga dimanapun mereka berada dan sejauh mana mereka berpisah. Fahmi sendiri memaklumi sikap Ical yang pada awalnya menentangnya untuk kuliah di Australia walaupun ia sendiri juga tak menginginkan hal itu, tapi fahmi menjadi lega dan ringan dalam menjalankan keinginannya itu, ia pun berfikir pasti ayahnya ingin yang terbaik untuknya.
“Ma…Pa…temen-temenku mau nginep, kita mau latihan bareng.” Ucap ical manja.
“Kalian udah makan kan?” Tanya Mama Ical sambil membuat teh untuk suaminya.
“Udah ma, bolehkan temen Ical nginep?” Ical merengek.
“Boleh.” Mamanya Ical menyuguhkan teh yang ia buat untuk suaminya.
“Ya udah, tapi papa mau kenal dulu sama temen-temen kamu.” Lirik Papanya kepada Ical ketika nonton televisi.
Andin memberi kode pada semuanya untuk masuk.
“Pa…Ma… kenalin ini Rudi, ini Han, Koko, Bayu, Jihad dan…” Semuanya bergantian menyalami papa dan mamanya Ical.
“Nama saya Fahmi, Om dewo.” Fahmi menyalami Papanya Ical.
Papanya Ical memandang Fahmi tanpa berkedip, ”Om pernah lihat kamu ?”
“Masa sih Om, saya aja baru ketemu Om sekarang. Tapi Om dewo gak ngeliat muka Fahmi di Koran kriminalkan?” Ucap fahmi sambil cengengesan.
“Bisa saja kamu, ya sudah silahkan naik keatas.”
Semua naik ke atas untuk berganti baju.
“Pa…Papa…kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi bengong gitu?” Mama menepuk paha suaminya.
“Papa mau bicara dulu sama Mama.” Papa menarik Mama kekamar.
Jam 9 semuanya sudah berada dilapangan, melakukan pemanasan dengan aba-aba Bayu kemudian Fahmi mengambil komando dan mulai mengajarkan beberapa gerakan khusus bersama Bayu.
Mas Andra…dimana kamu Mas?? Aku rindu sekali denganmu, kenapa tega ninggalin aku sendirian. Batin Papanya Ical bertanya-tanya sambil melihat Ical dan yang lainnya latihan terutama Fahmi yang sangat menarik perhatiannya.
Masih jernih ingatannya ketika kakaknya Diandra mengajarkan dengan sangat teliti gerakan-gerakan silat kepadanya. Walaupun kadang ia sulit memahami gerakan-gerakan itu tapi kakak yang paling disayangnya itu mengajarkannya dengan sabar, satu-persatu gerakan diajarkan dan diberitahu manfaat dan makna yang terkandung didalamnya. Tapi semenjak kejadian itu semuanya berubah, kakaknya menjadi seorang yang pemurung. Terakhir kali ia melihat kakaknya tertawa lepas ketika suatu siang mereka mancing di sungai yang saat itu arusnya sangat deras. Pancingan yang dipegang oleh Dewa hampir terlepas dari tangannya bila kakaknya tak menangkapnya dengan gesit maka hilanglah pancingnya, saat itu kailnya tersangkut sesuatu yang menariknya dengan kuat. Dewo kira itu seekor ikan yang besar sekali sehingga ia dan kakaknya menarik batang pancing dengan kuat sambil terus menjaga agar jangan lepas ikan itu.
“Biar aku turun ke sungai dan menangkap ikan dengan tanganku.” Usul Dewo.
“Jangan, sungainya sedang mengalir deras, kau tak pandai berenang, biar masmu saja.” Cegah Andra.
“Aku saja, mas pegang pancingnya.” Dewo hendak menceburkan diri ke sungai tapi ia malah terpeleset dan berpegangan pada Andra akhirnya mereka berdua jatuh kesungai yang deras dan menemukan bahwa kail pancing mereka hanya tersangkut pelepah pisang yang terbawa arus, mereka tertawa hingga kembali kerumah dengan basah kuyup dan tanpa hasil pancingan.
Malamnya Andra membangunkan Dewo dan meminta agar Dewo menemuinya di tanah lapang dekat sungai. Sesampainya disana Andra seperti orang kesetanan menyerang Dewo, sekuat tenaga Dewo meladeni sambil menanyakan pada kakaknya apa yang terjadi. Andra bukannya menjawab malah terus menyerang Dewo, hingga Dewo berhasil menjatuhkan dan mengunci dirinya di tanah.
“Ada apa mas? Kenapa kau menyerangku seperti hendak membunuhku?”
“Selamat.” Ucap Andra sambil tersenyum pada Dewo.
Dewo atau yang bernama asli Madewa itu melepaskan kunciannya pada kakaknya, “Apa maksud mas?”
“Kau pantas disebut sebagai pendekar sejati.”
“Maksud mas?”
“Jangan takut adikku, engkau tak pantas dibandingkan dengan diriku, engkau adalah engkau, aku adalah aku, kita berbeda, maka bila dibandingkan maka tak akan habisnya dan hanya akan menimbulkan penyakit dihati.” Andra memeluk Dewo dengan sangat erat lalu melepaskannya, “Aku menyayangimu tapi aku tak bisa terus mendampingimu, bangkitlah dan jadilah dirimu sendiri tanpa bayang-bayangku.” Diandra berjalan membelakangi Dewo lalu menceburkan diri kesungai yang mengalir deras.
Melihat hal itu Dewo juga menceburkan dirinya ke sungai dan berusaha mengejar kakaknya tapi Dewo bukanlah perenang yang handal dan ia mulai kehabisan tenaga akhirnya ia menyerah dan keluar dari sungai sambil menangis.

***

“Woi udahan dulu latihannya, capek nih.”Keluh Han.
Rudi dan Jihad ikutan ngaso bersama Han.
“Gila tuh Andin sama Ical masih bertahan aja.” Puji Jihad.
Tiba-tiba Fahmi mendekati Rudi, “Rud gw pengen ngomong.”
“Tentang apa?”
“Empat mata aja.”
Rudi mengikuti Fahmi ketempat yang agak jauh dari Han dan Jihad.
“Ada apa Mi?” Tanya Rudi.
“Lo suka sama Ical kan?”
Rudi kaget dengan pertanyaan Fahmi.
“Gw minta tolong sama lo, jaga Ical selama gw pergi kuliah.”
“Maksud lo apa sih Mi?”
“Tembak Ical sekarang, biar lo bisa ngelindungin dia.”
“Bukannya lo lagi deket juga sama dia.”
Fahmi tersenyum lalu sekilas melihat Ical dan Andin yang lagi ketawa bersama Bayu, “Gw anggap Ical tuh ade gw, dan lo tuh temen gw, jadi gw titip Ical ke lo.”
Rudi menghela napas, “Lo tenang aja, gw akan jaga Ical.”Rudi tersenyum, “tapi setelah dapet izin dari…”
“Ya, gw tau dan gw yakin dia juga akan ngizinin lo sama Ical untuk pacaran.”Fahmi memberi dukungan ke Rudi.

***

Hari keberangkatan Fahmi.
“Lo nunggu siapa lagi sih Mi?” Bayu menutup pintu bagasi mobil.
“Ical.”
“Ical? Sebenernya lo ada hubungan apa sih sama dia?”
Fahmi memandang Bayu lalu menghela napas, “Gak ada.”
“Kita berangkat??”
“Tunggu dia dulu.”
“Ical biar nyusul aja ke bandara.”
Fahmi menghela napas dan mengikuti Bayu masuk ke mobil. Fahmi sibuk sms Ical sedangkan Bayu nyupir.
Siang itu jalan menuju bandara cukup padat. Sudah lebih dari 1 jam Fahmi dan Bayu terjebak macet.
“Wah bisa terlambat lo Mi.”
“Tenang aja masih 2 jam lagi kok.”
Akhirnya setelah usaha yang keras dan panjang mereka berdua sampai dibandara. Menurunkan koper-koper lalu menunggu Ical.
Tiba-tiba Ical muncul dan langsung memeluk Fahmi, “Mi jangan pergi dong.” Ical merengek.
“Nanti kita ketemu lagi kan? Kemarin kamu setuju aku pergi kok sekarang tiba-tiba merengek gitu.”
“Tapi…”
“Kamu tenang aja aku pasti kasih kabar ke kamu terus kok apalagi ada Rudi yang jagain kamu.”
“Mi, hati-hati yah disana, tenang aja kita pasti nyusul lo secepatnya.” Rudi memberi salam perpisahan pada Fahmi, “Gw akan jagain Ical seperti lo jagain Ical.”
Ical menatap Fahmi, menahan tangisnya lalu memberikan sesuatu, ”Kamu jangan lupa sama kita disini yah? Inget juga perjanjian kita.”
Fahmi memeluk Ical, ”Aku janji, aku bakal pulang cepet.” Semuanya memberi salam perpisahan terakhir untuk Fahmi. Fahmi lalu masuk ke pintu khusus penumpang.
“Cal, kamu jangan nangis yah, aku yakin Fahmi pasti cepet pulang kok.” Rudi menenangkan Ical.
Ical menghentikan tangisnya tapi hatinya tak henti berteriak memohon agar Fahmi tak pergi. Fahmi mencoba menahan air matanya karena ia merasa Ical tak henti memanggil namanya lewat hatinya.

* * *

Hari demi hari mereka semakin sibuk menyiapkan diri untuk SPMB.
“Han kok kamu gak belajar?” Tanya mamanya sambil berkacak pinggang ketika tau Han malah main PS bukannya belajar.
“Belajar terus pusing ma, bukannya pinter malah buntu.” Ucap Han asal sambil terus maen game petualangan.
“Terserah kamu deh Han, kamu udah dewasa jangan nyesal kalau terjadi apa-apa nanti.”
“Iya mama ku sayang.”
“Fad yakin ma, Han gak bakal lulus ujian apatuh namanya, Oh iya SPMB.” Celetuk Fad adeknya Han yang tiba-tiba lewat.
“Diam kau anak kecil ikut campur urusan orang dewasa saja.” Kata Han kesal.
“Bay…kamu kesini dong, aku kangen sama kamu, sekalian nanti temenin aku beli baju buat anak-anak.” Rengek Andin ditelepon.
“Andin kusayang aku siang ini ada wawancara kerja jadi nanti sore aja yah.” Bayu berusaha sabar.
“Memangnya kamu selesai wawancara jam berapa?”
“Aku juga gak tau kalau disurat panggilannya sih jam 11 tapi pasti ngaret pulangnya, gak apa-apakan??”
“Ya udah deh tapi janji yah kamu temein aku ke mal.”
“Iya, mending kamu sekarang belajar lagi deh besokkan ujian SPMB.”
“Sip deh tapi kamu jangan lupa doain aku yah.”
“Iya, assalammualaikum…” Bayu memutus obrolannya.
Di rumah Ical yang tampak sepi suasana itu menambah nikmat diskusi Rudi dan Ical diteras rumah.
“Rud kalo yang ini pake rumus yang mana?”
“Kalo yang ini harus di misalkan dulu baru kemudian baru bisa dihitung pakai rumus yang ini.”
“Oh begitu toh rupanya, kalo yang ini??”
“Kalau yang ini tinggal langsung dimasukin aja ke rumusnya.”
“Bener juga yah.”
Rudi menutup buku yang sedang di baca oleh Ical, ”Boleh aku tanya sesuatu sama kamu??”
“Tanya apa??” Ical memandang Rudi dengan serius.
“Sebenarnya Fahmi itu siapa kamu sih? Kamu kayanya lebih sayang sama dia dari pada sama aku.”
“Ya ampun Rud, udah aku bilang berkali-kali, Fahmi itu cuma temen aku gak lebih.”
“Kamu pasti bohong.”
“Aku harus ngomong apa ke kamu biar kamu percaya?”
“Cal, aku ini pacar kamu, kamu bisa percaya sama aku.”
“Aku jujur sama kamu, aku gak ada hubungan apa-apa sama Fahmi, tanya aja Andin atau yang lainnya.” Suara Ical mulai meninggi.
“Percuma nanya sama mereka pasti jawabannya sama kaya jawaban kamu.”
“Itu kamu udah tau jawaban mereka, kenapa kamu tetap ngotot mau tau lebih??”
“Itu karena aku pernah liat kamu berduaan sama Fahmi, pelukan di restonya Bang Billy.”
Ical menghela napas, ”Ya memang, aku ada hubungan sama dia tapi kamu gak akan dapat jawaban lebih dari itu, tidak akan Rud, belom waktunya.” Ical meninggalkan Rudi sendirian diteras.
Di rumah Koko.
“Bang lagi ngerjain apa sih? Dari tadi main computer terus.”
“Lagi bikin animasi, tar kalo udah jadi Abang kasih liat ke kamu deh.”
“Tentang apa bang?”
“Rahasia. Sudah sana jangan ganggu Abang terus ato nanti malah gak Abang kasih liat hasilnya lo.”
“Huh…bolehnya marah.” Protes Deni adik sepupunya Koko.

* * *

Malamnya mereka tak tidur nyenyak karena memikirkan hari esok, entah apa yang terjadi besok dan hari-hari selanjutnya. Selama tiga hari mereka hanya belajar dan belajar tapi semua keputusan ditangan Allah, mereka hanya bisa melakukan yang terbaik bagi mereka.
“Uh akhirnya selesai juga, jadi stress nih.” Keluh Andin yang baru keluar ruangan SPMB.
“Andin…” Panggil Bayu yang memang sudah menunggu di depan ruangan, “Anak-anak nunggu didepan tuh.” Bayu menarik tangan Andin.
“ Loh Ical masih didalem!!”
“Tar biar yang lain aja yang nungguin dia. “
“Ada apa sih Bay??”
Bayu cuma terus memegangi tangan Andin. Bayu berhenti menarik tangan Andin didepan seorang penjual kelinci. “Mau beli gak?”
“Mau…mau… beli buat Ical juga yah?” Andin langsung berjongkok didepan kandang kelinci.
Pas Ical keluar kelas bersama Rudi dan Jihad ia langsung disodori seekor kelinci oleh Andin.
“Lucu banget…” Ical langsung memeluk kelinci itu.
“Buat lo, jadi kita punya kelinci lucu deh.” Andin juga memeperlihatkan kelinci yang berada di tangan Bayu.
“Yuk pulang.” Ajak Koko.
Seperti biasa mereka ngumpul dulu dirumah Ical buat menikmati hidangan siang yang sengaja disiapkan untuk mereka.
“Cal boleh tanya gak?” Bayu membuka pembicaraan.
Ical mengalihkan pandangannya pada bayu, “Apa?”
“Foto itu foto siapa?” Bayu menunjuk Foto Kakek.
“Oh itu kakeknya Ical.” Jawab Andin mendahului Ical.
“Kok mirip seseorang yah?”
“Siapa?” Tanya Rudi yang turut penasaran.
“Ah salah orang kali.” Bayu cengengesan, padahal didalam hatinya dia yakin banget kalau kakeknya Ical mirip bapaknya Fahmi.

* * *

Hari keberangkatan.
“Wih…guede buanget kapalnya.” Seru Nika gembira.
“ Cek…cek…cek…kasian banget yah yang jadi OB-nya.” Gumam Fad.
“ Eh buruan nanti ketinggalan loh.” Teriak Andin.
Han menarik tangan Fad dan Nika yang berada dibarisan paling belakang.
“ Tiket?” Tanya seorang petugas pemeriksa tiket.
“ Nama saya Andina Malaya, ayah saya yang menyuruh saya ikut perjalanan ini dan kami gak megang tiketnya.” Ucap Andin agak takut.
“ Maaf nona, yang tanpa tiket dilarang masuk.”
“ Tapi kapal ini milik ayah saya.”
“ Nona jangan sembarangan, mengaku anaknya pemilik kapal ini.”
“Ada apa??” Bayu dan Ical bertanya pada Andin.
“No tiket.” Andin menggeleng.
“Trus gimana?” Tanya Han agak kaget.
“Gak tau.” Andin bingung.
“Yah gak jadi jalan-jalan deh.” Keluh Fad.
“Sedihnya.” Nika turut berkeluh.
“Maaf sebaiknya anda turun.” Perintah petugas itu.
“Tapi benar saya anaknya Pak Malaya. Nama saya Andina Malaya.” Andin mencoba menjelaskan.
Petugas itu tertawa, ”Saya hanya bercanda, kedatangan Anda sudah saya tunggu-tunggu.”
Andin dan yang lainnya kaget dengan pernyatan petugas itu.
“Nama saya Jack, mari saya antar kalian kekamar kalian.” Jack mempersilahkan mereka jalan duluan.
“Uh sangka gw beneran kita gak boleh masuk.” Bisik Andin.
“Gw juga deg-degan tau, reseh yah tuh petugas.” Ical dan Andin menahan tawa karena ingat kejadian tadi pas mereka dikerjain oleh Jack.
“Maaf yah soal tadi jangan diadukan kepada Pak Malaya.” Jack tertawa sendiri.
Fad dan Nika memandang aneh Jack.
“Kamar kalian dari kamar ini sampai kamar keempat silahkan pilih, satu kamar berdua.” Jelas Jack.
“Terima kasih, jack.” Goda Fad dan Nika.
“Sama-sama nona-nona yang cantik.” Jack mengedipkan matanya ke Fad dan ke Nika.
Semuanya tertawa kecuali Han, “Ade gw nih.” Cetus Han.
Jack pergi tanpa menghiraukan perkataan Han.
“Ih petugas aneh, kita datang malah dikerjain, sekarang pergi main nyelonong aja.” Keluh Koko.
“Kamar kita disini yah??” Tanya Nika.
“Boleh, kamar kita yang ini yah.” Andin membuka pintu kamar yang pertama sedangkan Fad dan Nika langsung masuk kekamar disebelahnya.
“Kalian kamar yang mana?” Tanya Ical ke cowo-cowo.
“Gw ambil kamar yang terakhir aja sama Han.” Ucap Bayu sambil narik tangan Han.
Semua masuk ke kamar, mengistirahatkan tubuh mereka yang akhir-akhir ini cukup lelah.
Tok…tok…tok…
“Buka tuh Din.” Perintah ical yang hendak masuk kamar mandi.
“Nona Andina?” Tanya seorang laki-laki yang berseragam seperti Jack.
“Iya, Anda siapa?”
“Kenalkan nama saya Ramdan Prawiro, saya kapten kapal ini. Saya mengantarkan barang-barang anda dan teman-teman anda.” Ucap Pak Ramdan ramah.
“Oh…mari taruh disini saja biar nanti kami yang mengaturnya sendiri.” Andin mempersilahkan Pak Ramdan dan anak buahnya masuk.
“Siapa Din?” Tanya Ical yang baru keluar dari kamar mandi.
“Cal kenalin ini kapten Ramdan.” Andin menarik Ical mendekati Pak Ramdan.
“Kenalkan nama saya Ical.”
“Saya Ramdan Prawiro, cukup panggil saya Pak Ramdan saja.” Pak Ramdan menyalami Ical.
Anak buahnya pak Ramdan keluar duluan setelah semua barang telah ditruh di kamar Andin.
“Saya senang sekali kalian bisa ikut, apalagi yang saya dengar dari pak Malaya kapal ini sebenarnya rancangan Andin.” Muka Andin jadi memerah kerena pujian Pak Ramdan.
“Ah…jadi malu saya.” Andin menutup mukanya.
“Saya justru bangga ternyata di Indonesia ini banyak bakat terpendam, nanti sore pukul 4 ada acara pertemuan, kedatangan kalian saya tunggu .” Pak Ramdan memberikan sebuah kartu undangan.
“Ya, kami akan datang.” Ucap Ical.
“Saya kembali ke ruang kendali, senang bisa bertemu dengan kalian.” Pak Ramdan menyalami keduanya.

* * *

Anak-anak berkumpul untuk mengambil barangnya masing-masing dan mereka makan siang dikamarnya Andin.
“Eh nanti jam 4 kita diundang keacara pertemuan loh.” Ucap Ical sambil memperlihatkan kartu undangannya.
“Formal??” Tanya Rudi menghentikan makannya.
“Santai.” Jawab Andin pasti.
“Pasti rame.” Komentar Fad.
“Pastilah, tadi aja penumpangnya bejubel.” Nika turut berkomentar.
“Kita berapa hari sih perjalanannya??” Bayu menuangkan jus digelasnya.
“Gak tau.” Jawab Andin cepet. Mereka menikmati siang itu sambil berkhayal lepas semau mereka, mereka saling bertanya dan menjawab sendiri pertanyaan lucu dalam benak mereka.


* * *

Mereka sampai di ruang pertemuan.
“Waduh rame buanget.” Han terkejut karena ruangan itu begitu banyak orang.
“Yuk kita cari tampat yang kosong.” Ajak Ical.
Sebelum mereka melangkah Jack menghalangi jalan mereka, “Tempat kalian disebelah sana, meja no 2.”
Tanpa berkata apa-apa semuanya berjalan kearah meja yang diberitahukan oleh Jack.
“Kayanya kita jadi tamu penting deh.” Bisik Fad ke Han.
“Ya iyalah.”
Pak Ramdan menghampiri mereka, “Saya senang kalian berkenan hadir di acara ini, silahkan menikmati pestanya.”
“Terima kasih untuk mejanya.” Ucap Andin sambil tersenyum.
“Jack yang akan melayani kalian, saya pergi dulu.”
“Silahkan.” Ucap semuanya.
Pak Ramdan memberi perintah untuk mematikan musiknya, ia mengambil Mic , ”Saudara-saudara mohon perhatiannya. “
Semua tamu berhenti berbicara dan meperhatikan Pak Ramdan yang terlihat gagah dengan seragamnya. “Terima kasih atas kehadiran anda semuanya, hari ini kita menikmati perjalanan perdana kapal ini.” Semuanya tiba-tiba bertepuk tangan.
“Hari ini pun kita kehadiran tamu istimewa, seorang yang telah berjasa membangun kapal ini, merancangnya dan membuat harapan baru untuk Indonesia. Kita panggilkan Andina Malaya.”
Andin keget karena namanya dipanggil, semua temannya tersenyum dan menyuruhnya maju. Andin menolaknya, ical dengan segera menarik Andin.
Andin dengan malu-malu akhirnya bersedia memberikan sepatah dua patah kata. Semuanya merasa kaget kerena Andin hanyalah seorang remaja, semuanya merasa bangga tapi yang paling bangga adalah sahabat-sahabat Andin.
Malam pertama di kapal tersebut sungguh menimbulkan suasana berbeda dari malam-malam sebelumnya yang telah dilalui Ical dan yang lainnya sejak dari mereka membuka mata didunia ini. Angin laut yang bertiup cukup kencang membuat siapa saja berusaha mencari kehangatan di balik pakaian yang mereka kenakan. Tapi laut tak bergeming sedikit pun dengan kencangnya tiupan angin malam itu. Langit semakin gelap, bintang semakin terang sinarnya sedangkan bulan yang belum sempurna tampak enggan menunjukkan dirinya. Ical berdiri dekat pagar, ia menutup dirinya rapat-rapat dengan 3 lapis pakaian tapi angin selalu saja dapat celah untuk masuk ke dalam pakaiannya dan menggelitik kulit tubuhnya. Ical menatap langit yang tampak senang dengan ketenangan malam itu. Rudi yang tengah berdiri disamping Ical turut tak bicara dan hanya menikmati tiupan angin yang memainkan rambutnya yang sudah tampak memanjang.
“Cal…” Rudi akhirnya membuka mulut.
Ical mengalihkan pandangannya dari hamparan bintang dan menatap Rudi dengan lembut.
Rudi membalas pandangan Ical lalu tersenyum, ”Jangan menatapku seperti itu , aku risih dengan pandangan itu.”
Ical terkejut dan tertawa, “Kau aneh.”
“Aku lebih terbiasa dengan tatapanmu yang tajam. Aku lebih mengerti maksudnya.”
“Harusnya kamu mengerti semuanya. Sudahlah sebaiknya kita masuk sebelum masuk angin.” Ical menggandeng tangan Rudi.
Nika tampak pucat wajahnya padahal beberapa jam yang lalu ia baik-baik saja. Fad yang semakin bingung akhirnya memanggil Han dikamarnya.
“Ada apa sih? Lo gak tau kalo gw lagi tidur?” Han menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Han…Nika sakit, mukanya pucet banget, mana gw gak bawa obat lagi.” Fad memohon bantuan pada Han.
“Minta obat sama Ical atau Andin aja, apa susahnya sih.”Han menutup pintunya.
“Han tunggu dulu…” Fad mendorong pintu yang baru setengah tertutup. “Kak Andin ma Icalnya gak ada.”
“Uh ngerepotin aja lo, tunggu dikamar tar gw ganti baju dulu.” Han membiarkan pintunya terbuka.
Fad segera kembali ke kamarnya dan duduk disamping Nika yang sedang mencoba untuk tidur. Han membangunkan Koko yang sedang menutup dirinya dengan selimut.
“Sabar yah Nik, bentar lagi Han nyari obat kok buat lo.” Fad mengompres Nika dengan handuk kecil.
Hampir saja Ical dan Rudi bertabrakan dengan Han dan Koko.
“Kemana aja sih lo ? Nika sakit tuh.” Omel Han kepada Ical dan Rudi.
“Sakit apa ?” Ical tampak kaget karena sehabis makan malam tadi keadaan Nika baik-baik saja.
“Mana gw tau, samperin sana. Suruh minum obat kalo perlu panggil dokter ahli, biar gak ada yang ganggu tidur gw.” Han marah-marah gak jelas lalu segera berbalik dan masuk ke kamar Fad.
“Kamu bawa obatkan?” Ditanya Rudi, Ical hanya mengangguk. Biar aku yang liat Nika, Ko tolong cari Andin yah.”
“Iya.” Koko segera berjalan benyusuri koridor arah berlawanan.
“Nik…Nika… lo ngerasain apa ?” Tanya Rudi yang baru masuk.
“Gak tau kak, Nika ngerasa mual sama kembung trus kepalanya pusing banget.” Jawab Nika sekuat tenaga.
Ical masuk membawa sekotak obat ala kadarnya. “Kamu pusing yah ? Nih minum obat sakit kepala dulu mudah-mudahan ngebantu.” Ical mengambilkan air lalu meminumkan Nika sebuti kapsul obat. Lalu menidurkan Nika kembali sambil memeriksa suhu tubuhnya. Fad duduk cemas disamping Nika sedangkan Han mencoba menutup kembali matanya sambil berbaring di sofa.
Andin, Bayu dan Koko masuk.
“Sakit apa?”Bisik Andin ke Ical
“Mual ma pusing, tapi mukanya pucet banget.” Ical mencoba menyalurkan tenaga dalamnya agar Nika merasa lebih baik.
“Gw keluar dulu yah, tar balik lagi, jagain dia baik-baiak.” Pesan Andin. Andin dan Bayu kembali keluar dari kamar Nika.
Tak lama keduanya kembali didampingi Jack dan seorang lagi yang tak dikenal oleh mereka.
“Ini dokter Bram, biarkan dia yang memeriksa Nika.” Bisik Jack kepada Ical dan Rudi.
Dokter bram memeriksa denyut nadi Nika dan detak jantung, juga frekuensi tarikan napas Nika lalu berkomentar, ”Tadi dia sudah minum obat?”
“Minum aspirin.” Jawab Rudi singkat.
Dokter itu mengangguk lalu membuka tasnya, “Berikan dia obat ini, sekali minum satu butir, kalau besok masih berlanjut teruskan minum obatnya. Dia hanya mabok laut dan masuk angin saja.” Dokter yang sudah berumur itu tersenyum pada Fad yang serius mendengarkan.
“Uh…untunglah hanya mabok laut dok, saya kira di keracunan makanan atau apa gitu.” Ucap Andin lega.
Jack melirik Andin karena merasa kurang senang, “Enak aja bilang keracunan makanan, emangnya makanan di kapal ini kadaluarsa gitu.”Omel jack dalam hati.

* * *

Pagi di hari ke-2
“Pagi Nona Andin? Bagaimana keadaan anda?” tanya Jack ketika Andin membuka pintu kamarnya hendak keluar.
“Jack jangan ngagetin gitu dong.” Andin berjalan ke kamar Nika, “Fad...”Panggil Andin dan tak lama pintu terbuka, “Gimana Nika?”
“Masih tidur tapi kayanya panasnya udah turun.” Ucap Fad sambil merapihkan bajunya.
Andin menaruh tangannya di kening Nika dan memastikan apa yang dikatakan Fad itu benar. “Jack ngapain masih disini?”
“Aku cuma ingin tau keadaan Nika saja, boleh kan?”
“Oke, dia baik-baik saja, sekarang bisa kamu keluar.” Andin berbicara tanpa melihat wajah Jack. Andin memeriksa bagian perut Nika dengan tenaga dalamnya dengan perlahan ia menyalurkan tenaga dalamnya kedalam tubuh Nika guna mengurangi sakit yang diderita Nika.
“Sedang apa sih?” Tanya Jack mau tau.
“Belum keluar juga?” Andin berbicara agak kasar dengan Jack.
“Oke aku keluar tapi nanti beri tahu aku apa yang kau lakukan tadi.” Jack melenggang ke luar kamar.
Fad yang melihatnya terkekeh, “Jack lucu yah kak.”
“Menyebalkan...” Gumam Andin.
Ical masuk, “Gimana Nika?”
“Udah mendingan.” Jawab Andin.
“Oh...syukur deh...”
Nika terbangun, “Kak Andin...Kak Ical, kok pada disini?”
“Kita khawatir sama kamu tau. Kalo masih ngantuk tidur aja lagi.” Saran Ical.
Nika tersenyum, “Nika mau bangun aja, mungkin jalan-jalan bisa membuat Nika tambah baik.”
Andin pun tersenyum mendengar omongan Nika.
“Kamu mandi dulu, nanti kita sama-sama ke ruang makan.” Ical keluar bersama Andin.
Diruang makan.
“Silahkan...” Seorang pelayan mempersilahkan mereka duduk.
“Terima kasih.” Ucap Ical sopan.
“Kalian mau sarapan apa?” Lanjut pelayan itu sambil menyerahkan buku menu.
“Em aku mau nasi goreng sama susu aja.” Ucap Fad semangat.
“Kopi sama sandwich.” Ucap Koko.
“Teh sama pancake.” Ucap Andin.
“Pancakenya mau tambah rasa apa? Coklat, Vanila, strawberi, apel atau madu?” Tanya pelayan itu lagi.
“Stawberi dan madu bisa?” Tanya Andin.
Pelayan itu mengangguk dan tersenyum.
“Saya mau panceke vanila dan madu sama minumnya segelas susu plus madu.” Ical menutup buku menu.
“Em...Cal enaknya apa?” Tanya Rudi bingung.
“Mau pesan kaya aku?” Tanya Ical yang kemudian membuka buku menunya lagi.
Rudi menggeleng, “Aku biasa makan nasi atau roti selai.”
“Ada roti selai?” Tanya Ical pada pelayan itu.
“Nanti kami bawakan roti dan 7 macam selai.” Pelayan itu tersenyum lagi lalu memanggil seorang pelayan, setelah dibisikkan sesuatu pelayan yang baru datang pergi lagi. “Yang lain?” Tanya pelayan itu sambil menatap Han, Nika, Jihad dan Bayu secara bergantian.
Nika dan Jihad menatap Andin bingung.
“Teh saja.” Ucap Bayu.
“Susu coklat.”
“Ada lagi?” Tanya Andin menatap Bayu dan Han. Keduanya menggeleng.
“Bawakan saja 2 gelas teh lagi.” Ucap Andin.
“Baik akan segera kami antarkan pesanan kalian, mohon ditunggu.” Pelayan itu memberikan senyumannya lalu pergi menjauh.
Pelayan yang tadi dateng kini kembali lagi sambil membawa sekotak roti dan 7 buah kaleng selai dengan aneka rasa, “Silahkan dinikmati.” Ucap pelayan itu sopan sembari memberi senyuman.
Rudi dan Han langsung mengambil roti itu dan mulai memilih selai yang akan mereka nikmati bersama roti.
“Nika kamu jangan sampai gak makan loh, nanti malah masuk angin.” Ical mengingatkan Nika.
“Iya kak.” Nika turut mengambil 2 lembar roti dan meruhnya di piring dihadapannya lalu mengambil selai rasa kacang dan apel.
“Sini aku bantu.” Ical mengambil pisau selai dari tangan Rudi begitu juga dengan lembaran rotinya.
“Dari tadi dong, kan jadinya tanganku gak belepotan gini.” Ucap Rudi sambil tersenyum menggoda Ical. Ical memberikan roti yang telah rata di oles selai kepada Rudi. “Ini yang namanya roti cinta rasa strawberi,hehehe...”
Ical hanya tersenyum saja mendengar ocehan Rudi.
Pelayan datang lagi membawa semua pesanan mereka, tanpa menunggu lama mereka langsung makan sambil bercengkrama ala orang Indonesia, mereka tak malu, walaupun banyak pengunjung asing yang memperhatikan mereka.
Siang itu mereka jalan-jalan mengelilingi kapal bersama Jack. Oleh Jack, mereka dikenalkan dengan beberapa orang penting yang turut dalam pelayaran perdana itu.

***

Ical langsung tidur setelah berjalan-jalan mengitari semua ruangan dikapal mewah milik ayah Andin sedang Andin menyempatkan mandi.
Han, Koko, Bayu, Rudi dan Jihad berkumpul dikamar Koko, mereka asik bermain PS dengan game-game yang hanya keluar diluar negeri dan mungkin baru beberapa bulan lagi akan ada di Indonesia.
Han dan Koko yang memang mania PS begitu senang dan tertawa-tawa saat tangannya terus memencet tombol-tombol di stik PS.
“Rud…kok lo bisa suka sama Ical sih?” Tanya Bayu tiba-tiba.
“Kenapa yah? Bingung. Kalo lo sendiri kenapa bisa suka sama Andin?” Rudi balik bertanya.
“Simple aja sih, karena dia salah satu cewe yang bisa ngalahin gw dalam banyak hal.”
“Maksudnya?” Jihad tertarik dengan pembicaraan mereka.
“Lo inget gak siapa saingan terberat gw dalam perebutan ketua OSIS dulu?” Rudi dan Jihad mengangguk, “Nah semenjak itu kita malah jadi sering ketemu dan diskusi bareng, tapi yang anehnya Andin gak mau sama sekali ngenalin gw sama Ical sampai akhirnya ketemu pas lagi mereka kenaikan tingkat.”
“Kenaikan tingkat kapan?” Tanya Jihad sambil berusaha mengingat-ingat kapan Bayu pernah hadir dalam kenaikan tingkat.
“Em…kalo gak salah akhir semester satu kelas satu dulu deh.” Jawab bayu agak ragu.
“Oh…pas itu sih gw belum deket sama Ical.” Komentar Rudi.
“Oh…jadi lo yang ketangkep gara-gara nyelinap ke sekolah waktu itu?” Tebak Jihad.
Bayu mengangguk sambil tertawa, “Gara-gara Ical gw sama Fahmi jadi ketangkep deh waktu cari hantu,hahaha…”
“Bay gw boleh tanya gak?” Tanya Rudi serius.
“Soal apa?”
“Lo kan deket banget sama Fahmi sama Andin, lo tau gak Ical sama Fahmi ada hubungan apa?” Tanya Rudi dengan hati-hati.
Bayu menggeleng, “Fahmi gak pernah mau cerita soal itu, sampai akhirnya dia pergi ke Australia. Sedang Andin selalu menjawab gak tahu kalau ditanya tentang hal itu. Tadinya gw yang mau tanya sama lo, eh malah lo duluan yang tanya.” Jawab Bayu.
Rudi hanya tersenyum mendengar jawaban Bayu, dia tak puas dengan jawaban Bayu padahal Rudi pikir hanya Bayu yang dapat memberi penjelasan tentang hal itu.
“Nanti lo tanya aja sendiri sama Fahmi kalo kita udah sampai.” Usul Jihad ke Rudi.
Tiba-tiba Nika dan Fad masuk ke ruangan dimana cowok-cowok sedang berkumpul.
“Aku punya tiket nih nonton film dokumenter atau film bioskop lainnya, pada mau gak?” Tanya Fad sambil menunjukkan beberapa lembar tiket.
“Mau…”Serbu Jihad yang rada bosen diruangan terus.
“Nih…nanti tinggal tunjukin aja ke petugasnya, ini bisa dipakai berkali-kali loh.” Jelas Nika ketika memberikan tiket yang ada padanya.
“Sekarang aja yuk nontonnya.” Ajak Jihad pada yang lain.
Semuanya menggeleng.
“Sama kita aja.” Ajak Fad dan Nika.
“Oke.” Jihad merangkul Fad dan Nika keluar kamar.
“Woi ade gw jangan lo apa-apain loh…” teriak Han ke Jihad.

***

Siang itu dihari ketiga, “Lo kenapa Cal? Muka lo cemberut gitu.”
Ical hanya menggeleng.
“Berantem sama Rudi?”
Ical menggeleng lagi, “Gw mau jalan-jalan sendiri yah.” Ical keluar kamar.
“Ih Ical kenapa sih?” Keluh Andin.
Iseng-iseng Ical kerestoran yang tersedia, menikmati semangkuk es krim di hari yang cerah itu.
“Ical…”Sapa Jack tiba-tiba, “Sedang apa? Yang lain mana?”
Ical hanya tersenyum.
“Lagi bosen yah? Baru juga 2 hari masa udah bosen?”
Ical tersenyum sebentar, “Kok gak pake seragam?” tanya Ical bingung melihat penampilan Jack yang lebih santai, ia hnya menggunakan celana sport pendek dan kaos tanpa lengan.
“Lagi libur.” Jawab jack santai.
“Libur?”
“Iya, setiap pegawai dapat beberapa hari libur selama pelayaran dan bisa pakai fasilitas yang ada. Mau ke gym nih, mau ikut?” tawar Jack.
“Boleh.” Ical bersemangat kembali.
Jack dengan semangat memakai fasilitas olahraga yang tersedia, penampilan Jack dengan badan tegap dan tinggi serta cara bicaranya yang sopan membuat beberapa wanita yang sedang berolahraga mendekatinya. Ical hanya tertawa melihat Jack meladeni kemauan para wanita itu. Akhirnya Ical pergi keruangan senam, disana tak terlalu banyak alat olahraga dan saat itu Ical sedang sendirian.
Ical membuka sepatunya dan melakukan peregangan sedikit, mulailah ia melakukan kebiasaannya yaitu latihan silat. Ical mulai dengan mencoba beberapa jenis tendangan dan melanjutkan dengan latihan yang lebih beragam. Ia sungguh menikati latihan itu dan melupakan rasa bosan yang tadi dialaminya.
“Buk…” Ical terdorong dengan keras.
“Latihan kok gak ngajak-ngajak sih?” Protes Andin, “Sebagai gantinya ayo kita tarung?”
“Oke…” Ical mulai memasang sikap pasang dan melayani setiap serangan Andin. Mereka berdua bertarung sambil tertawa dan mereka tak sadar bahwa disekeliling mereka sudah berkumpul orang-orang yang takjub melihat cara mereka bertarung.
Ical dan Andin baru sadar mereka menjadi pusat perhatian ketika suara tepuk tangan bergema diruangan itu. Seketika muka Andin dan Ical memerah dan mereka berdua tampak malu.
“Hebat…” Puji Jack.
“Sejak kapan mereka disini?”
“Lumayan lama.” Jawab Jack tekekeh melihat muka Andin dan Ical yang memerah.
“Bagus…bagus…” Puji beberapa orang yang hadir di ruangan itu.
“Gimana kalau kalian mengajarkan mereka sedikit teknik bertarung kalian?” Jack memeragakan gerakan meninju.
“Terima kasih tawarannya.” Jawab Ical lalu memakai sepatunya.
“Ayolah sedikit aja.” Rayu Jack.
“Aku bersedia.” Jawab Andin tiba-tiba.
“Bagus…” Jack langsung mengajak orang-orang yang berada disana, mereka langsung berbaris menunggu aba-aba Andin.
Ical yang sedikit kelelahan duduk dipinggir sambil melihat Andin memberi pengarahan dan latihan silat.
Sementara itu di ruang kamar, “Cuy…”Sapa Nika yang hanya melongokkan kepalanya dipintu, “Kak Ical dan kak Andin mana?”
Han dan Koko yang sedang main PS menggelengkan kepala, “Gak tau.”
Nika menutup pintu lalu menuju kamar Rudi, tapi disana juga gak ada orang akhirnya Nika kembali kekamar.
“Ketemu gak?” Tanya Fad begitu Nika masuk kamar.
“Gak…Kak Rudi, Jihad sama Bayu juga gak ada, cuma Koko sama Han yang lagi main PS.”
“Ya udah kita jalan-jalan sendiri aja.”
Nika dan Fad mendapati Jihad sedang asik nonton film di bioskop sambil ngobrol sama seorang gadis yang wajahnya rada belesteran eropa.
“Em…gak taunya disini dia? Yang lain mana?” Tanya Fad ke Jihad, Jihad sedikit terkejut dengan kedatangan keduanya.
Jihad mengangkat bahu, “Oh iya kenalin ini Davian, dari inggris.”
Fad dan Nika mengulurkan tangan dan Davian menyambutnya dangan ramah.
“Dia ini udah lumayan lama loh di Indonesia.” Ucap Jihad.
“Oh…salam kenal, kita gak ganggu deh.”Nika menarik Fad untuk duduk dibarisan depan.

***

Australia.
Kebetulan Fahmi bertemu dengan seorang mahasiswa asal Indonesia dan mereka berteman cukup baik, bahkan akhirnya mereka memutuskan menyewa apartemen di gedung yang sama.
“Kenapa lo bingung?” Sapa Ron.
“Kangen nih sama temen-temen gw.”
“Telponlah.”
Fahmi hanya diam.
“Lo beruntung punya temen yang bisa dikangenin, gak kaya gw, gara-gara banyak belajar gak sempet punya teman deh.” Keluh Ron.
“Kan sekarang ada gw, nanti gw kenalin deh sama temen-temen gw kalo mereka udah sampai sini.” Hibur Fahmi, “Sekarang mereka lagi berlayar ke sini.”
“Wah asik gw bakal punya teman lagi.” Seru Ron, “Eh Mi ngomong-ngomong siapa sih cewe yang pake baju biru di foto itu?” Tunjuk Ron ke foto yang tergantung di dinding.
“Ical, adik sepupu gw, kenapa lo suka dia? Dia udah punya pacar loh.”
“Tapi belom nikah kan, jadi gw masih bisa kenalan sama dia.”
“Jangan nekat cowonya itu badannya lebih gagah dari lo, apalagi dia juga pesilat, macam-macam sama Ical, habis deh lo.”
“Apa semua teman lo pesilat?”
“Gak juga,” Fahmi menyalakan rokok lalu menghisapnya pelan, “Kebetulan gw sama mereka satu sekolah jadi deket deh, tapi gak semuanya pesilat.”
“Wah kayanya asik yah jadi pesilat, bisa punya banyak teman.”
“Sebenernya bukan karena jadi pesilatnya tapi karena nilai yang ada di silat itu sendiri yang mengharuskan kita bergaul sama siapa aja, dari asal katanya aja silaturahmi.” Jelas Fahmi.
“Oh gitu toh, emangnya nilai apa aja?” Tanya Ron mulai tertarik.
“Yah nilai moral yang selama ini berlaku di masyarakatlah, kalo lo pernah belajar soal pancasila atau tentang adat masyarakat pasti lo tau nilai apa aja yang berlaku dimasyarakat.”
“Seperti saling menghormati, saling toleransi dan rendah hati, gitu?”
“Yap betul. Jadi kalo pesilat itu bukan cuma gerakan-gerakannya aja yang diresapi tapi makna dan nilai yang terkandung dibalik gerakan silat itu sendiri.”
“Emangnya ada artinya setiap gerakan silat?”
“Ada, contohnya cara salam silat, biarpun di setiap perguruan itu berbeda-beda tapi maknanya gak jauh beda, biasanya mengagungkan Allah dan menghormati sesama.”
Ron mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

***



4
Siang itu di hari ke 6 di kapal dewa samundar, Ical berkali-kali mengetuk pintu kamar Bayu
“Apa apa sih Cal?” Tanya Bayu sambil kucek-kucek mata.
“Andin Bay, Andin.”
“Andin kenapa??”
“Andin nangis terus gara-gara mimpinya.”
“Emangnya mimpi apaan Cal??” Tanya Rudi yang dari tadi nguping.
“mimpi tsunami.”
“Hah tsunami?” Bayu langsung berlari kekamar Andin sedang Rudi menghampiri Ical, kebetulan semalam Rudi tukeran tempat sama Han.
“Tsunami bagaimana maksud kamu??”
“Andin dan aku ku mimpi kapal kita karam gara-gara tsunami, aku liat banyak yang mati.” Ucap Ical sedih.
Rudi memeluk Ical, “Yuk kita tenangin Andin.”
Dikamar Andin.
“Sudah Din, jangan dipikirin lagi mimpi itu.” Rajuk Bayu.
“Bayu tapi mimpi itu kaya nyata banget, kaya aku sendiri yang ngalaminnya, aku takut Bay, takut kehilangan lo, kehilangan Ical, kehilangan yang lainya.” Andin menangis dipelukan Bayu.
“Istigfar Din, tenangin diri kamu, nanti kita cari tau yah, tapi kamu harus tenangin diri dulu, kasian nanti mereka panik lagi.” Bayu meyakinkan Andin bahwa tidak akan terjadi apa-apa.
Akhirnya setelah mereka berempat berunding mereka memutuskan untuk mengatakan kepada yang lainnya, Han, Koko, Jihad, Fad dan Nika.
“Ada apa sih kak Ical kok tiba-tiba kita kumpul disini?” Fad penasaran apa yang sebenarnya terjadi karena muka Ical tampak khawatir.
“Nanti kamu juga tau.” Ical hanya tersenyum.
“Kak Andin kenapa matanya bengkak gitu?” Nika memperhatikan mata Andin yang tampak sembab.
Andin cuma tersenyum.
“Kita kasih tahu aja yah.” Ucap Rudi mengawalin pembicaraan.
Semua memandang Rudi.
“Semalam Ical dan Andin mimpi buruk.” Rudi menghela napas.
“Trus kenapa?” Han tampak kecewa dengan omongan Rudi karena ia pikir masalah mimipi buruk hanyalah kejadian biasa.
“Keduanya mimpi yang mirip.” Rudi menundukan kepalanya.
“Serupa.” Gumam Ical pelan tapi semuanya dapat mendengarnya.
“Mimpi tentang apa??” Jihad semakin serius menyimak cerita Rudi.
Bayu berfikir serius ketika mendengarkan penuturan Rudi dan Ical, “Ko, tolong cari di internet tentang keadaan di Indonesia.” Perintah Bayu.
Koko yang tadi disuruh membawa laptopnya kini menyambungkan dengan internet dan sibuk mencari berita terbaru tentang keadaan di Indonesia.
“Ada kabar apaan Kak Koko??” Tanya Nika.
Koko menghela napas lalu memutar arah duduknya,” Gempa 7 skala richter.”
“Gempa lagi??” Fad tampak tidak percaya.
“Gw yang akan jelasin tentang apa yang akan kita bicarain.” Ical ambil bicara, ”Gw sama Andin mimpi kapal kita karam, begitu banyak yang mati dan gw gak tau kita bakal selamat atau tidak.” Ical menahan tangisnya.
“Han gw takut.” Fad menatap Han. Han tersenyum meyakinkan pada Fad bahwa tidak terjadi apa-apa.
“Trus apa yang harus kita lakukan??” Tanya Jihad cemas.
“Kita hanya bisa berdoa agar tak terjadi apa-apa.” Ucap Rudi lemas.
Tok…tok…tok… ”Nona Andin saya Jack.” Koko membukakan pintu untuk Jack. “Sedang berkumpul rupanya.” Jack masuk dan tampak terkejut melihat layar computer milik Koko, lalu berusaha menanangkan diri. “Kapten ingin bertemu dengan kalian.”
“Dimana??” Tanya Rudi.
“Di ruang rapat.” Jack membuat dirinya senormal mungkin karena ia tak mau mereka menjadi curiga.
“Jack…” Panggil Andin,” Hal itu akan terjadi kan??”
“Hal apa??” Jack bingung.
“Kapal ini bisa karam kapan saja.” Ucap Andin tegas.
“Tenanglah tak akan terjadi apa-apa.” Jack tersenyum lalu keluar dari kamar Andin walau ia sendiri sanksi dengan perkataannya yang tadi.
Andin terduduk lemas, memandang langit cerah hari itu. ”Semua salah gw!!!”
“Din, ini semua bukan salah lo, mungkin ini kehendak Allah.” Ical duduk disamping Andin, merangkul sahabatnya.
“Ical bener Din, ini bukan salah lo, kita hanya bisa berdoa supaya gak terjadi apa-apa.” Bayu jongkok dihadapan Andin dan menghapus air mata Andin.
“Iya kak Andin, kita gak nyalahin kak Andin kok. Mending kita ketemu sama kapten, kali aja ada yang mau diomongin, mungkin sebuah kabar baik.” Fad menyemangati Andin.
Andin memandang semua temanhya satu persatu. Semuanya memberi tatapan percaya pada Andin lalu Andin pun tersenyum.
Diruang rapat.
“Nah kebetulan nona Andin sudah datang, mari masuk.” Sapa Jack sambil menyebar senyumnya.
Andin dan yang lainnya duduk di kursi yang masih kosong.
“Ada apa Din? Tampaknya kamu habis nangis yah?” Kapten menunjuk ke arah wajah Andin yang tampak lesu dan matanya agak bengkak. Andin hanya tersenyum. “Ini tuan Smits, Kita mulai saja tuan Smits.”
“Saya senang kalian semua dapat berkumul disini, saya ingin mengadakan pesta atas hari-hari yang indah di kapal ini, berkat Andin.”
Semua saling pandang sejenak mereka melupakan kegelisahan hati, tersenyum gembira. “ Kapan??”
“Lusa, di dek kapal, yah pesta biasa, kita hanya makan dan minum bersama, sekedah berbincang saja.” Ujar Smits.
“Kami akan sangat senang datang ke pesta Anda.” Ucap Andin meyakinkan.
“Baik kalau begitu hanya itu saja yang saya ingin sampaikan.” Ucap Smits yang lalu berdiri dan keluar ruangan menyusul Jack dan kapten.
“Kapten…” Panggil Bayu,” Kami ingin bicara sebentar, boleh?”
Kapten masuk kembali dan Bayu menutup pintu.
“Ada apa? Apa yang kalian ingin bicarakan dengan saya?”
“Maaf mungkin ini agak aneh bagi kapten, semalam saya dan Ical bermimpi kapal ini akan karam, tsunami.” Ucap Andin memandang tajam kepada kapten.
“Maksud kalian??”
“Kami sudah mengakses internet dan melihat berita tentang gempa yang sering terjadi di Indonesia bagian timur, dan gempa-gempa tersebut berpotensi meninbulkan tsunami, mungkin saja ditengah perairan ini dapat terjadi gelombang tinggi.” Jelas Koko.
Kapten menghela napas, ”Apa yang kalian bicarakan tidak asing bagi saya.”
“Maksud kapten hal itu benar?” Tanya Nika tidak sabar.
Kapten terdiam semuanya saling pandang dan tampak terpukul. “Hal itu mungkin saja terjadi.”
Semua tampak shok dengan kata-kata kapten.
“Tapi untuk sementara ini keadaan laut belum menunjukan gejala akan terjadi gelombang besar, bahkan badai pun tak ada tanda-tandanya.” Kapten meyakinkan mereka.
“Apa persediaan pelampung dan segala alat pertolongan memadai untuk semua penumpang bila hal itu terjadi?” Tanya Jihad tegas.
“Semuanya telah dipersiapkan untuk keadaan darurat.”
“Apa sebaiknya kita memberi tahu penumpang tentang hal ini?” Tanya Han.
“Keputusan yang sulit tapi saya kira belum saatnya karena kita pun belum mengetahui adanya tanda bahaya dari alam.”
“Mudah-mudahan hal itu tidak akan pernah terjadi.” Tegas Rudi.
“Yah semoga saja. Maaf saya harus kembali ke ruang kemudi.” Kapten meningkalkan mereka dengan pikiran mereka masing-masing.
Smits masuk ke kamarnya duduk diatas ranjangnya, ia tampak terpukul dengan suatu hal. “Tidak mungkin hal itu terjadi, oh tuhan aku belum mau mati.” Smits menjambak rambutnya.
Kembali ke Andin dan teman-temannya.
“Sudahlah Din, kamu denger sendirikan perkataan kapten. Tidak ada tanda bahaya dari alam.” Bayu meyakinkan Andin.
“Din, lebih baik kita kembali ke kamar saja kita bicarakan semuanya disana sambil makan, Ok.” Ical tersenyum meyakinkan Andin.
Setelah makan mereka semua mandi dulu sedangkan Andin dan Ical tidur.
“Fahmi….” Ical langsung memeluk Fahmi ketika orang yang dirindukannya itu berada dihadapannya.
“Hei…kamu baik-baik saja??” Fahmi melepas pelukan Ical dan menatap matanya. Ical mengangguk. “Kamu jangan kuatir, Allah pasti selalu melindungi kita.”
“Maksud kamu??”
Fahmi tak menjawab pertanyaan Ical, ia pergi menjauhi Ical.
“Fahmi…” Ical memanggil dan mengejarnya.
Fahmi berhenti dekat pagar pembatas terluar di kapal, lalu terjun dan menghilang diterjang ombak.
“FAAAAAHHMMMMIIIIII……” Ical terbangun dari tidurnya.
Andin kaget mendengar teriakan Ical, “Ada apa Cal??”
Dengan napas terengah-egah ia menjawab,” Gw mimpi Fahmi kecebur di laut.”
“Mudah-mudahan itu bukan suatu pertanda buruk.” Gumam Andin.
Tak lama yang lainnya masuk.
“Trus sekarang apa yang kita lakukan?” Tanya Jihad lemas.
“Entahlah…” Rudi mengangkat bahunya.
“Kita doa bersama aja.” Usul Koko yang mulai memainkan laptopnya lagi.
“Boleh juga usulnya Koko.” Rudi melirik Bayu.
“Semua setuju??”
Semua hanya mengangguk.
“Ok mulai malam ini selama tiga hari setelah sholat isya??” Bayu memandang mereka satu persatu.
“Yah kamu aja yang mimpin.” Ucap Andin.
Hari berlalu dengan cepat namun terasa begitu lama bagi mereka detik demi detik terasa sangat menentukan, kegelisahan dihati mereka semakin mengusai pkiran mereka.
Semua berserah diri kepada tuhan, walau jauh dilubuk hati mereka,terbesit perasaan takut dan menyalahkan Andin, tapi persahabatan lebih penting, mereka menyembunyikan perasaan mereka itu.
Fad dan Nika memutuskan untuk menggunakan hari-hari mereka sebaik-baiknya, berjalan-jalan dengan Smits.
Koko terus memantau berita di internet, mengirim email untuk keluarga dan teman-temannya, kadang membuka situs-situs aneh untuk menghabiskan waktu.
Han mencoba melupakan masalah tsunami itu, dengan main PS atau sekedar jalan-jalan dan berkenalan dengan penumpang yang lain.
Jihad menghabiskan waktunya di perpustakaan kapal, buku-buku langka tentang pengetahuan semua dihadapkan didepan mukanya, ia mencoba melupakan apa yang menganjal dihatinya kalau bosan dengan buku-buku itu ia pergi kebioskop dan menonton disana.
Mungkin yang masih kepikiran adalah Ical, bukan karena mimpi tsunaminya saja tapi juga karena ia bermimpi tentang Fahmi, sepupu yang merangkap sebagai kakaknya.
Bayu dan Rudi cemas melihat kelakuan Ical dan Andin yang menjadi pendiam, mereka bingung apa yang harus mereka lakukan untuk menghilangkan kecemasan mereka.
Banyak yang telah mereka lakukan untuk menghilangkan kecemasan dalam hati mereka karena mereka juga merasa bahwa apa yang dikatakan Ical dan Andin itu benar, setiap malam mereka berdoa kepada Allah agar dibei kekuatan menghadapi kecemasan dan diberi keselamatan dari segala malapetaka, tapi kecemasan itu belum hilang juga.
“Smits??” Andin cukup kaget melihat Smits mendatangi kamar mereka.
“Boleh saya masuk?”
“Tentu .” Andin mempersilahkan Smits masuk.
Smits menyalami Ical, Rudi dan Bayu yang berada diteras kamar.
“Ada apa? “ Tanya Bayu yang heran dengan kedatangan Smits.
“Kalian jadi datang ke pestaku kan??” Smits duduk tak jauh dari mereka.
“Insya Allah kami akan datang.” Ucap Rudi sambil menawarkan minuman soda.
“Insya Allah??”
“Jika tuhan menghendaki.” Jelas Bayu.
“Oh, maaf.” Smits mengambil soda dari tangan Rudi.
“Maaf? untuk apa?” Ical merasa agak aneh dengan perkatan Smits tadi.
“Boleh saya bertanya?”
“Tentu saja.” Jawab Andin santai, “Apa yang ingin ditanyakan ?”
“Saya dengar obrolan kalian dengan kapten tiga hari yang lalu.” Wajah Smits agak risau.
“Tentang apa ?”Bayu agak terkejut.
“Masalah …masalah mimpi kalian. Apa itu benar??”
“Itu hanya mimpi saja.” Ucap Ical sambil melirik Andin dan tersenyum.
“Tapi ada beberapa mimpi yang bisa terjadi kan, saya pernah mengalaminya.” Smits mencoba meyakinkan mereka.
“Dengar Smits, masalah mimpi kami jangan kamu pikirkan, kami tak ingin orang lain merisaukan hal itu.” Jelas Bayu.
“Tapi kalau sekiranya hal itu terjadi, apa kalian tidak merasa bersalah karena tak memberitahu orang lain.” Smits tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Bayu tadi.
“Jika itu memang pertanda untuk kita, kami pun tak tahu harus mengatakan apa kepada orang lain, kami tak tahu itu memang akan terjadi atau tidak.” Ical meyakinkan Smits.
“Sudahlah Smits jangan dipikirkan hal itu, kita berdoa saja semoga mimpi itu hanyalah sebuah mimpi saja.” Rudi turut meyakinkan Smits.
“Semoga saja itu memang hanya sebuah mimpi, jangan lupa nanti kalian datang ke pestaku, tapi pakailah pakaian hangat mungkin nanti malam lebih dingin dari biasanya.” Saran Smits, lalu Smits pergi dari kamar Ical.
Smits merasa begitu tenang ketika bersama Andin, Ical dan yang lainnya,” Ada apa denganku?? Aku merasa tenang sekali bersama mereka, walau aku tahu mereka juga cemas tapi mereka terlihat begitu tenang .” Gumam Smits.
Rudi tertawa.
“Kenapa Rud??” Ical bingung dengan tingkah Rudi.
“Ternyata bukan kita saja yang dirisaukan hal itu.” Rudi menghentikan tawanya lalu meminum sodanya.
Ical mendekati Rudi, “Maaf yah aku membuatmu risau, jangan khawatir aku sudah tidak apa-apa lagi.” Ical memeluk Rudi.
“Aku lega kamu bicara seperti itu, semoga itu benar.”
Andin dan bayu saling berpegangan tangan, saling pandang dan tersenyum.
“Kak Andin…Kak Andin jadi ke pestanya Smits kan??” Teriak Nika sambil berlari ke arah Andin yang lainnya.
“Jadi, kita kan mau seneng-seneng.” Ucap Ical yang sudah melepaskan pelukannya.
“Fad mana?” Tanya Bayu.
“Lagi PD kate cogan,cowo ganteng.”Nika terkekeh sendiri. “ Nanti kalo mau pergi ke pesta Smits, panggil Nika yah.” Nika langsung keluar dari kamar Andin.
“Rud menurutku kita gak usah datang, aku masih khawatir.” Ical tertunduk lemas.
“Cal, ayolah kasian anak-anak kalo kita gak jadi datang, mereka kan mau seneng-seneng masak cuman karena mimpi kaya gitu kita jadi gak nikmatin perjalanan ini.” Rudi mencoba meyakinkan Ical.
Ical hanya menghela napas lalu tersenyum.
Malam rasanya datang begitu cepat tetapi dinginnya lautan malam mendahului sang malam itu sendiri. Angin memang berhembus pelan, laut tampak tenang dan bersiap untuk menikmati pesta bersama penumpang dan awak kapal.
Fad dan Nika agak sedikit grogi dengan pesta itu, mungkin karena itu pesta pertama mereka selain pesta ulang tahun atau pesta hajatan, maklum saja merekakan bukan dari kelas ekonomi tingi yang bisa setiap saat meikmati pesta yang berbau foya-foya.
Koko dan Han mendatangi kamar Jihad, sedangkan Bayu sudah nongkrong dikamar Andin dari petang tadi.
“Males nih, mana dingin lagi.” Keluh Han yang sedang membaringkan tubuhnya di ranjang berselimut tebal.
“Lo disini bukannya seneng-seneng malah molor trus.” Omel Koko.
“Yah namanya liburan jadinya waktu istirahat alias tidur.” Celetuk Han.
“Ah lo berdua berantem aja sih kerjaannya, yuk pasti yang lainnya udah nunggu.” Jihad memaksa Han bangun dari pembaringannya.
Semua sudah berkumpul dan bersiap menghadiri pesta makan. Malam itu angin berhembus pelan namun membawa butir-butir air yang terasa sangat dingin bila menyentuh kulit.









5
Kejadiannya begitu cepat hingga mereka tak sempat mencerna apa yang terjadi saat itu, semua berubah menjadi gelap, dingin dan menyesakkan. Mereka tak merasakan apapun, bahkan kehangatan tubuh mereka sendiri.
“Ya Allah apa yang terjadi? Dimana aku? Dimana mereka? Lindungi kami ya Allah dan hilangkan mimpi buruk ini secepatanya.” Andin hilang kesadarannya.
Laut tampakknya belum puas memainkan tulang berbalut daging itu, sesekali laut menghempaskannya ke darat namun tak lama laut kembali menyeretnya. Begitu pun malam yang hanya melihat dan mentertawakan keadaan di bumi dengan hintikan hujan.
“Mas…mas bangun…” Suara itu berkali-kali masuk kedalam sanubari Rudi.
“Mas bangun, kita harus cari yang lainnya.” Maung menggoncang-goncakantubuh Rudi.
Rudi mendapatkan setengah kesadarannya lagi. Ia merasakan sakit luar biasa dari sekujur tubuhnya.namun hilang juga setengah kesadarannya itu.
Maung membaringkan tubuhnya di samping Rudi, ia menjilati dirinya sendiri sambil sesekali menjilati darah yang keluar dari tubuh Rudi. Maung menatap sedih tuannya yang kini tak berdaya. Entah mengapa Maung menangis melihat keadaan laut yang begitu kejam. Maung mengaum keras melepaskan beban dihatinya,tampak hanya hewan-hewan saja yang ketakutan mendengar suara itu, tetapi Rudi mendapatkan kesadaran penuhnya berkat auman maung.
“Kita cari mereka.” Rudi berusaha bangkit, maung membantunya dan menaikkannya kepunggungnya.
Maung menengok kekanan dan kekiri, menentukan arah dengan indranya, kemudian maung berlari dengan cepat kearah selatan, mudah baginya mengetahui arah selatan sudah biasa baginya menandakan arah dengan pertanda di langit. Rudi yang sudah mendapatkan kesadarannya tak berkata apa-apa dan tak memprotes kecepatan berlari sang macan gaibnya. Tiba-tiba maung berhenti dan memberi tanda kepada Rudi untuk turun dari punggungnya.
“Ada apa?”
“Kau tunggu aku disini, aku akan membawa mereka kesini.” Tanpa menunggu Rudi berkata Maung kembali melesat dengan cepat. Rudi terduduk dan mencoba mencerna semua kejadian yang menimpanya, “Ya allah, apa mungkin aku bisa bertemu dengan sahabat-sahabatku? Lindungilah mereka dan pertemukanlah kami kembali.” Gumamnya sambil memandang bintang.
Maung kembali dengan 2 sosok tubuh diatas punggungnya, dengan perlahan Maung merenbahkan tubuhnya dan menurunkan 2 sosok itu. Rudi bangkit dan membantunya.
“Han, Jihad syukurlah kalian selamat.” Rudi memeluk Han dan Jihad yang tampak lemas.
“Aku akan mencari makanan untuk kalian, sepertinya banyak barang yang turut terdampat disini.” Maung berdiri dan berjalan santai kearah pantai.
“Carikan juga pakaian untuk kami.” Pinta Rudi sambil membaringkan tubuh Han dan Jihad.

* * *

Malam yang kemari untunglah berlalu dengan cepat semburat cahaya telah tampak pada langit yang awalnya berbintang, perlahan matahari pun menampakkan keperkasaannya. Rudi yang turut tertidur bersama Han dan Jihad mulai membuka matanya dan memeriksa tubuhnya yang terasa perih, Rudi mengganti pakaiannya yang telah sobek dan tak berbentuk lagi dengan pakaian yang dicarikan Maung. Han mulai sadar dan turut bergembira ketika ia lihat Rudi dan Jihad berada tak jauh darinya.
“Gw seneng kita bisa ketemu lagi.” Han memeluk Rudi.
“Gw juga seneng, luka lo ada yang parah?” Han melihat tangan dan kakinya, ia baru sadar tangan dan kakinya penuh baret begitu juga dengan perutnya, lalu Han menggeleng.
“Syukurlah.” Rudi menawarkan baju dan sebotol air minum. Kita harus mencari yang lain.” Ucapnya sambil memandang laut yang ombaknya berdeburan.
“Yah semoga saja mereka selamat.”
Maung kembali menghadap Rudi, “Tampaknya aku menemukan jejak Fad dan Nika, mereka bersama seseorang.”
“Pantau mereka, dimana mereka sekarang?”
“Ke sana.” Tunjuk maung menggunakan kaki depannya, “Lumayan capek jika kalian berjalan, mau ikut denganku?”
Rudi menggeleng, “Kau tunggu kami disana.”
“Baik.” Seketika itu juga Maung hilang dari pandangan Rudi.
Han yang dari tadi memperhatikan Rudi baru berani buka mulut, “Ngomong sama siapa lo? Piaraan lo?”
Rudi tertawa, “Oh lo denger gw ngomong yah? Tadi gw ngomong sama Maung.”
“Trus dia ngomong apa?”
“Iya. Kita akan berjalan ke sana, ke barat”
“Ada apa disana?” Tanya jihad sambil memperhatikan arah yang ditunjukkan Rudi.
“Ada yang selamat disana, setidaknya kita tak hanya bertiga.” Ucap Rudi sambil menarik napas panjang.
“Oke ayo kita jalan.” Ucap Han sambil mengangkat kepalan tangannya ke atas, “Semangat Han!!” Ucapnya pada dirinya sendiri. Semoga disana Fad, harap hati Han.
Sambil membawa beberapa barang pungutan mereka bertiga berjalan ke arah barat.

* * *

Di Tempat Fad dan Nika.
“Kalian gak apa-apa?” Tanya Sandy ketika keduanya tersadar dari pingsannya.
“Akhhh.......Kita selamat!!” Fad dan Nika langsung berteriak kegirangan dan saling berpelukan.
Sandy memandang mereka dengan aneh, “Dasar cewe, kenapa sih selalu berteriak histeris disaat apapun.” Ucapan Sandy yang tentu saja hanya di dalam Hati.
“Makasih ya dah nyelamatin kita.” Teriak keduanya lalu memeluk Sandy sebagai ucapan terima kasih.
“Udah dong sesek nih, gak bisa napas tau.” Sandy berusaha melepaskan pelukan Fad dan Nika.
Fad dan nika melepaskan pelukannya dan menatap Sandy dengan berbinar-binar, sekali lagi mereka memeluk Sandy dan mengucapkan terima kasih, kali ini mereka memeluk dengan pelan dan Sandy membalas pelukan mereka dengan selayaknya.
“Sebaiknya kita membuat tempat untuk berteduh dan mencari makanan, perutku lapar.” Sandy berdiri dan memandang batas laut yang masih jauh dari batas normal.
“Kita kemping!” Seru Nika sambil berdiri dan bertolak pinggang.
Fad turut berdiri, “Mari kita bagi tugas, kamu yang buat tempat berteduh kita yang cari barang-barang atau makanan, setuju?” Fad mencotohkan sikap Andin saat membagi tugas.
“Setuju!!” Sandy dan Nika berseru bersama.
“Tapi kayanya kita belum kenalan deh?” Tanya Nika menyadarkan mereka bahwa tak saling kenal.
“Aku Sandy, nama kalian?” Sandy mengulurkan tangannya.
“Aku Nika dan Ini Fad.” Nika menyambut tangan Sandy begitu juga dengan Fad.
“Sekali lagi terima kasih karena udah nyelamatin kita.” Ucap Fad sambil tersenyum.
“Sama-sama.”
Sandy membongkar barang-barang yang ada ditas daruratnya, “Pisau kecil, pisau besar, bumbu, em...” Ia mengecek barangnya satu-persatu, “Yak komplit.” Iya kembali memasukkannya ke tas dan hanya membawa pisau besar untuk memotong batang dan daun-daun yang natinya akan digunakan untuk membuat atap.
Nika dan Fad mencari barang-barang yang masih bisa mereka gunakan selain itu Nika dan Fad mencari buah kelapa untuk mengganjal perut mereka.

* * *

“Rud, masih jauh ya?” Tanya Jihad yang seduah mulai kelelahan namun tetap berjalan didepan Rudi dan Han.
“Mungkin.” Jawab rudi pelan.
Mereka tak mempersalahkan apa yang di ucapkan oleh Rudi yang berarti perjalanan mereka akan lebih lama dari yang mereka bayangkan.
“Kita istirahat dulu.” Han langsung berteduh dibawah bayang-bayang sebuah pohon yang ia tak tahu namanya. Ia mulai mengipas-ngipasi dirinya dengan daun kering yang tak jauh darinya.
Jihad turut duduk disamping Han dan meluruskan kakinya yang pegal. Rudi menyodorkan botol minuman lalu turut duduk dan mengatur napasnya. Semoga mereka baik-baik saja.” Gumam Rudi.
Kres...tuk...buk...terdengar suara dari dalam hutan.
“Apaan tuh?” Han segera menengok ke sumber suara.
Jihad dan Rudi segera berdiri, mereka saling pandang, “Menurut lo?” Tanya Jihad ke Rudi, Rudi mengangkat bahunya.
“Ah mungkin cuma batang kering yang jatoh.” Ucap Han santai dan kembali mengipasi dirinya.
Suara itu terdengar lagi tadi lebih dekat. Han bangkit dari duduknya karena merasa terancam. Tiba-tiba gubrak... daun kelapa yang sudah kering jatuh dari batangnya dan membuat mereka kaget.
“Tuh kan apa yang gw bilang. Cuma batang daun kelapa.” Han duduk lagi begitu juga dan Jihad dan Rudi.
“Gw masih gak nyangka dengan kejadian semalem, sekejap mata tau-tau kita sadar kita udah disini.” Keluh jihad.
“Mungkin ini udah takdir.” Rudi memandang batas antara langit dan laut.
“Semoga yang lain bisa selamat.” Han menahan harunya karena teringat dengan Fad.
Tiba-tiba seseorang keluar dari semak-semak sambil mengacungkan golok.
“Siapa lo? Manusia primitif yah?” Tanya Han bingung.
“Kayanya gw pernah liat lo dikapal deh. Lo penumpang Dewa Samundark kan?” Tanya Jihad memastikan.
Sandy mengangguk, “kalian juga penumpang kapal itu?”
Rudi dan Jihad mengangguk.
“Aku Sandy.” Jihad segera memeluk Sandy.
“Syukur kita bisa bertemu.” Sandy menyalami dan memeluk Han dan Rudi. ”Setidaknya aku tidak hanya tinggal bertiga dengan dua cewek.”
“Ada lagi yang selamat?” Tanya Han kaget.
Sandy mengangguk, “Nama mereka Fad dan Nika, kalian kenal mereka?”
“Yang bener? Fad selamat?” Tanya Han sambil berjingkrak-jingkrak, “Yes ade gw masih hidup, alhamdulillah.”
Sandy mengangguk tegas tapi menatap Han dengan bingung.
“Dimana mereka?” Tanya Han tak sabar.
“Ditempat yang aman, kalian mau bantu aku membuat villa.” Goda Sandy yang kemudian menebas semak yang dari ia gunakan mengintai Han, Jihad dan Rudi.
Mereka mengikuti Sandy dan membantunya mengangkat beberapa batang kelapa yang sudah kering dan seikat ranting kering. Mereka terus berjalan mengikuti Sandy.
“Dimana mereka?” Tanya Han sekali lagi ketika Sandy terduduk.
“Mungkin sebentar lagi mereka akan kembali.” Ucap Sandy sambil membaringkan tubuhnya.
“Itu mereka.” Tunjuk Rudi girang.
Han segera berlari ke arah Fad dan Nika, ketika yang sadar bahwa orang yang belari ke arah mereka adalah Han, mereka pun turut berlari menyongsong Han.
Rudi ingat kejadian malam itu, saat mereka sedang asik mengobrol Ical dan Bayu mengambil kue dan minuman untuk mereka sambil menunggu Fad dan Nika yang sedang ke toilet. Saat itu mereka sedang membicarakan rencana mereka ketika sampai di Australia. Tiba-tiba suasana berubah, angin tak lagi berhembus, bahkan ombak begitu pelan bergerak, awalnya tak banyak yang memperhatikan itu tapi kemudian orang-orang berlarian dari dek depan. Disanalah Rudi tau sebuah ombak yang melebihi besar kapal sedang menyongsong kapan, ia panik, ia mencoba mencari yang lain tapi mereka berpencar, Rudi berusaha mencari Ical tapi entah dimana Ical. Saat itulah air menyerbu Rudi dan orang-orang yang sedang berlarian dan saat sadar ia sudah dipulau ini.

***

“Han sudah sehari kita disini, mungkin gak kalo kita bisa kembali?” Tanya Fad sambil menyenderkan kepalanya dibahu Han.
“Semoga saja, berdoalah.” Ucap Han sambil membusai kepala Fad.
“Aku senang.” Ucap Nika tiba-tiba.
Semua menatap Nika dengan pandangan bingung.
“Aku senang melihat kalian akur, biasanya kan berantem trus, semoga kejadian ini bisa membawa manfaat untuk kita.” Ucap Nika sambil tersenyum dan memandang semuanya satu-persatu.
“Semoga saja adikku ini tak lagi sering membuatku marah.” Han tersenyum pada Fad dan Fad membalas senyuman Han dengan senyum yang manis.
Dalam tutupan mata mereka terlihat dengan jelas masa-masa kebersamaan mereka dengan orang-orang yang sangat mereka sayangi.
Saat berbahagia merayakan sesuatu, saat bersedih ketika di landa masalah bahkan saat mereka berpura-pura kuat dihadapan banyak orang. Terlihat jelaslah bahwa mereka begitu kecil dihadapan alam, dihadapan sang pencipta pun tak ada seujung kuku pun. Mereka merasa begitu hina dan tak terhormat sedikitpun. Mereka menyia-nyiakan hidup dengan hanya bermain-main dan bersifat egois.
Tapi makin mereka melihat gambaran itu mereka sungguh bersyukur, jantung mereka masih berdetak hingga saat ini, dari hidung mereka masih dapat menghirup udara bahkan mereka masih bisa saling bertemu saat ini. Mereka menangis memohon pengampunan dan perlindungan dalam gelapnya malam.










6

Ical mulai mendapatkan setengah kesadarannya, ia mulai bisa merasakan hembusan yang keluar dari hidungnya. Namun ia belum sanggup membuka mata maupun mengggerakkan anggota badannya.
“Tidur saja cah ayu.”
Ical yang hampir membiarkan dirinya tertidur tiba-tida mendapatkan kembali kesadarannya, Ical membuka matanya. Terakhir dalam igatannya seseorang menyelamatkannya ketika ia sampai di bibir pantai.
“Loh disuruh tidur malah melek.” Ucap seorang kakek sambil mengelap tangan kiri Ical, “Kamu pasti capek dan kesakitan.” Ucap Kakek itu sambil tersenyum kepada Ical.
“Kakek siapa?” Tanya Ical sangat pelan karena tenggorokannnya begitu kering.
Kakek yang penampilannya sangat sederhana namun masih tampak gagah memberi Ical minum.
“Sebaiknya kau istirahat saja dulu nanti kakek buatkan obat penghilang rasa sakit dan obat luar untuk lukamu. Kakimu juga tampaknya patah, jangan kau paksakan untuk menggerakkannya, nanti kakek urut.”
Ical hanya menurut saja kata kakek itu, Ical hanya terdiam dan memandang kakek itu.
“Kakek akan segera kembali.” Sekali lagi kakek tersenyum pada Ical dan Ical mulai memejamkan matanya.
Tak ada pikiran apapun di diri Ical, Ia merasa sangat letih dan akhirnya tertidur.
Kakek terdiam didepan pintu Ical. “Kenapa kamu bisa sampai disini? Sebenarnya siapa kamu?” Kakek menghela napas dan pergi keluar rumah, ia memutar lewat jalan samping mengambil sebuah keranjang kecil lalu menjinjingnya.
Kakek itu tampak masih tampak gagah dan masih kuat untuk berjalan jauh, dengan santai baginya namun hewan-hewan yang melihatnya tercengang dengan kecepatan jalan kakek itu, beberapa kali ia membelokkan arahnya dan berhenti untuk mengambil beberapa tanaman yang bisa digunakan sebagai obat.

* * *

Ical merasa sudah cukup istirahat, ia bangun dari tidurnya. Ia menatap ruangan tempatnya berbaring. Ia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Ical terus berjalan sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya terutama di kakinya.
“Udah bangun?” Sapa kakek tua ketika melihat Ical keluar dari rumah, “Mandi dulu, airnya sudah mbah siapkan, kamu juga bisa memakai pakaian yang ada di kamarmu. Setelah itu kita makan dan mbah akan obati lukamu.”
Ical tak dapat mencerna kejadian yang telah ia lalui. Ical masuk kembali ke dalam kamarnya dan mengambil pakaian yang telah disediakan untuknya. Ia berjalan saja semau kakinya dan sampailah ia ke tempat mandi sederhana.
Ical menghabiskan waktu yang cukup lama di kamar mandi, dalam kesendiriannya ia mulai mengingat kejadian itu, saat itu ia ditemani Bayu mengambil kue dan minuman. Bayu menggodanya dan menanyai banyak hal, Ical sendiri bingung dari mana Bayu banyak tau tentang dirinya, apakah Andin sering membicarakan tentangnya kepada Bayu. Ia ingat betapa manis cara bicara Bayu saat menggodanya. Ical juga jadi teringat awal-awal pertemanan mereka dulu, dengan malu-malu mereka berdua saling berkenalan dan kadang sms-an.
Ups…dalam kenangan tentang Bayu Ical ingat tentang Andin, Andin yang sudah lama menjadi sahabatnya, saudaranya, ia tak mungkin mengkhianati Andin dengan memikirkan tentang Bayu. Ical berusaha membuang jauh-jauh pikirannya dari kesan manis Bayu.
Ical keluar dari tempat mandi dengan pakaian yang diberikan kakek, pakaian yang agak ketinggalan jaman, sebuah kemben, untung bukan kebaya yang diberikan kepadanya melainkan sebuah celana panjang dan baju panjang, mirip kostum-kostum teater untuk pertunjukan cerita-cerita kuno.
Ical kembali menemui kakek yang menyebut dirinya mbah di halaman depan.
“Jangan banyak jalan dulu, kakimu belum sempurna sembuhnya.” Saran mbah itu.
“Mbah…ini dimana?” Tanya Ical pelan sambil memperhatikan sekelilingnya.
Mbah hanya tersenyum saja, “Kau lapar?” Mbah mendekati Ical dan duduk disamping Ical di balai.
Ical memperhatikan wajah Mbah dan mengangguk.
“Mbah ambilkan makan untukmu.” Ical ditinggalnya sendiri.
“Ya Allah dimana ini? Bagaimana dengan yang lain? Apakah mereka selamat?” Gumam Ical.
Mbah yang mendengar gumaman Ical itu tak berkomentar, “Ini habiskan makanmu biar kau cepat sembuh, habis ini Mbah akan mengurut kakimu.”
Ical tersenyum, “Terima kasih Mbah telah menyelamatkan Ical, apa Mbah menemukan orang lain?”
Mbah hanya tersenyum.

***

Han membuka matanya pagi itu, pagi yang hangat dan sejuk. Ia melihat Fad dan Nika masih tidur disebelahnya. Han meregangkan otot-ototnya yang sedikit tegang lalu membangunkan yang lainnya.
“Apa rencana kita kali ini?” Tanya Rudi setelah meneguk air kelapa.
“Kita cari air tawar didalam hutan?” Usul Sandy.
Rudi mengangguk, “Usul yang bagus.”
“Di hutan ada hewan buasnya gak?” Tanya Fad agak takut sambil memikirkan bagaimana kalau di dalam hutan terdapat harimau yang kelaparan.
“Kemaren aku sempet masuk hutan, tapi gak jauh sih, gak ada jejak hewan besar atau belum ketemu aja yah.” Sandy memberikan komentar.
“Jadinya gimana? Kita ambil resiko berhadapan dengan hewan buas atau tetap disini tanpa air bersih untuk minum.” Ucap Jihad yang kemudian melihat satu persatu orang yang hadir bersamanya.
Rudi mengambil napas panjang, ia masih terdiam dan seperti memikirkan sesuatu, “Sandy lo punya pisau berapa?”
“Gw bawa pisau kecil satu, pisau besar satu dan golok satu.”
“Oke, kita susun rencana, sebelum kita masuk hutan kita harus menyiapkan segala sesuatunya,” Rudi memimpin mereka kali ini karena mereka tau Rudi sudah mendapat cukup pengalaman di pramuka walau belum pernah terdampat beneran. “Kita cari kayu yang agak pancang, ujungnya diruncingkan untuk setiap orang satu, kita juga harus mencari persediaan kelapa kali aja di hutan kita agak susah menemukan makanan lain. Nanti yang berjalan di depan biar gw sama Sandy, di belakang Han dan Jihad sedang Nika dan Fad ditengah.”
“Oke, gw akan cari kayu bersama, siapa yang mau ikut?” Tanya Jihad semangat.
“Gw ikut,” Sandy mengajukan diri.
“Oke kalau begitu, gw sama Han dan yang lainnya mencari kelapa.” Ucap Rudi.

***

Fahmi memandang awan siang itu, ia memikirkan perasaanya hari ini dan mimpinya semalam. Entah itu hanya sebuah khayalan atau memang akan terjadi beneran.
Mimpinya begitu nyata, ia ingat betul bagaimana Ical dan teman-teman lainnya minta tolong kepadanya ketika mereka semua tersapu ombak. Apa mimpi itu terbentuk kerena rasa rindunya kepada mereka. Sudah beberapa hari ini Fahmi mencoba menghubungi mereka tapi tak ada balasan.
“Yah ampun nih anak bengong terus yah.” Ucap Ron yang menemuai Fahmi sedang berdiri di depan jendela tanpa melakukan apapun.
Fahmi membalikkan badanya lalu berjalan ke komputer, “Mereka gak bales email gw, padahal kata mereka dikapal itu ada fasilitas internetnya.”
“Mungkin mereka lagi menikmati perjalanan kali, gak usah bingung gitu ah mikirin mereka.” Saran Ron, “Gw pinjem buku lo yah bentar.” Ron mengambil buku di rak buku milik Fahmi, “Kalo lo penasaran tentang mereka lo telpon aja kerumah mereka kali aja keluarga mereka lebih tau tentang keadaan mereka.”
“Bener juga lo Ron, kadang-kadang pinter juga lo.” Fahmi langsung mengambil telepon genggamnya dan menghubungi rumah Ical.
Sedikit lama ia menunggu.
“Halo…”Sapa suara serak dari sebrang.
“Halo, bisa bicara dengan mas Winta?”
“Dari siapa yah?”
“Ini Fahmi.”
“Oh Fahmi temennya Ical yah, tunggu sebentar yah.”
Fahmi menunggu lagi.
“Halo dengan Wintara disini.” Sapa Winta ramah.
“Mas ini Fahmi. Mas tahu keadaan Ical? Fahmi dapet firasat buruk.” Ucap Fahmi tergesa-gesa karena khawatir.
Wintara menghembuskan napas, “Mas juga gak tau Mi, sudah tiga hari ini merek tak bisa dihubungi.”
“Sebenernya apa yang terjadi? Coba mas cari papanya Andin, mereka pasti tahu apa yang terjadi.” Saran Fahmi.
“Baik mas akan coba kerumah Andin lalu menemui papanya Andin, nati mas kirim kabar lewat email atau sms aja.”
“Oke mas Fahmi tunggu, kalo udah dapet kabar tentang mereka segera hubungi Fahmi yah.”
“Iya.” Winta segera menutup obrolan dan mengganti pakaiannya lalu mengambil kunci moobil, saat itu memang sedang tidak ada orang tua Ical, yang ada hanya Paun, baby sitternya dan orang tua Wintara.
“Kamu mau kemana Win?” Tanya bapaknya, pak Hasan.
“Winta pinjem mobil sebentar mau ketempatnya Andin nanya sesuatu.” Jawab Winta sambil memakai jaketnya.
“Loh bukannya Andin bersama Ical?”
Winta sulit memberi jawaban, akhirnya Winta hanya pamit pada bapaknya lalu mencium Paun yang sedang bermain.
Winta sedikit ngebut saat itu karena ia ingin secepatnya tau keadaan Ical dan yang lainnya.
Sesampainya di rumah Andin, Winta langsung bertemu dengan kedua kakaknya Andin, Radit dan Dita.
“Mas Wintara kan?” Tanya Dita yang membukakan pintu.
Winta tersenyum, “Dita kan?”
Dita mengangguk, tiba-tiba Radit muncul dibelakang Dita.
“Kalian mau kemana?” Tanya Wintara ketika menyadari bahwa sepertinya mereka hendak pergi.
Radit memandang mata Winta sebentar, “Mas ikut kami aja, kita ngobrol dijalan.”
Wintara tak menolak ajakan itu.
Wintara bersama Dita dan Radit pergi memakai mobil Radit sedangkan mobil yang dibawa oleh Winta ditinggal di garasi rumah Andin.
“Kalian mau kemana?” Tanya Winta membuka obrolan.
Mendengar pertanyaan itu Dita menengok kepada Radit dan meminta Radit yang menjelaskannya.
Radit melihat Winta yang sedikit cemas lewat kaca.
“Mas sendiri ada apa, tumben kerumah?” Radit malah bertanya balik.
“Sudah beberpa hari Ical dan yang lainnnya tak bisa dihubungi, mas khawatir terjadi sesuatu dengan mereka.”
Sekali lagi Dita menengok kepada Radit lalu membuang pandangannya jauh kedepan.
Radit menarik napas panjang lalu menepikan kendaraannya ketika melewati jalanan yang cukup sepi, “Kami berdua dipnggil pulang sama papa karena ada suatu hal,” Radit menunggu reaksi dari Winta, tapi karena Winta hanya memperhatikannya tanpa berucap maka Radit meneruskan ucapannya, “Kantor pap kehilangan kontak dengan kapal yang Andin dan lainnya tumpangi.”
Tiba-tiba terdengar isakan Dita. Winta terdiam dan berusaha tenang tapi karena ia terlalu menyayangi Ical, Andin dan yang lainnya maka ia tiba-tiba menjadi gugup.
“Lalu apa yang terjadi dengan mereka?” Tanya Winta cepat.
Radit menggelengkan kepalanya, “Entahlah.” Radit lalu menyanggakan kepalanya ke jendela.
Winta berusaha menahan air matanya yang hendak keluar sedang Dita terus menahan tangisnya walaupun air matanya terus keluar dari matanya.
“Kita kesana segera, biar kita tahu apa yang terjadi pada mereka.” Ucapan Winta menyadarkan Radit dari lamunannnya.
Radit segera mengemudikan lagi mobilnya.

***

Semua sudah tersedia, apa-apa yang dibutuhkan untuk masuk menerobos hutan. Masing-masing dari mereka membawa 2 buah kelapa yang telah dikupas serabutnya dan hanya disisakan sediki untuk membawanya. Rudi dan Sandy yang berada didepan membawa golok dan pisau besar milik Sandy, sedangkan pisau kecil sengaja diberikan kepada Fad, Han dan Jihad hanya dibekali kayu panjang yang telah diruncing dan sebuah kayu pendek yang telah diruncing juga.
“Hati-hati agak banyak duri disini,” Peringat Sandy.
Mereka terus masuk kedalam hutan sambil membawa perbekalan yang mereka temukan dipinggir pantai. Rudi membuka jalan lebar-lebar sehingga memudahkan mereka untu kembali kalau-kalau terjadi sesuatu.
“Sampai kapan kita jalan begini?” Tanya Fad yang sudah mulai kelelahan.
“Semoga didepan kita menemukan sungai atau sejenisnya.” Ucap Rudi tegas.
Mereka terus berjalan masuk begitu jauh kedalam hutan dan jauh meninggalkan pantai.
“Tanahnya mulai basah, mungkin ada sebuah sungai ata sumber mata air disini.” Ucap Sandy sambil berhenti sebentar.
“Kita teruskan jalannya, semoga tak jauh lagi. Ayo kita harus bertahan.” Rudi menyemangati yang lainnya lalu membawakan beberapa barang bawaan Nika dan Han mengambil beberapa barang bawaan Fad.
Mereka terus berjalan hingga tibalah disebuah tempat terbuka dan tanahnya kembali berpasir.
Mereka bingung kenapa bisa ada pasir disana padahal itu telah jauh ke dalam hutan. Mereka menemukan sebuah kolam air jernih, akhirnya mereka beristirahat dan meletakkan semua barang bawaan mereka, Rudi dan cowok lainnya mendekati kolam air tersebut.
“Airnya tawar.” Ucap Jihad lalu langsung mengambilnya dengan tangannya dan meminumnya, “Seger banget.”
Yang lainnya pun mengikuti apa yang dilakukan Jihad. Sandy memperhatikan daerah sekitar kolam air itu, ternyata ada sebuah sungai kecil yang bersal dari hutan yang lebih dalam lagi.Sandy mengajak rudi untuk melihat keadaan sambil memperhatikan tanah, mungkin saja mereka menemukan jejak-jejak hewan buas.
Fad dan Nika menyusul Han dan Jihad yang telah asik bermain air.

***

Sore itu ical hanya menikmati suasana di rumah mbah, sesekali Ical membantu mbah membawa kayu bakar ke dapur dan membantunya memasak.
“Bagaimana ceritanya hingga kamu bisa mengalami hal seperti ini?” Tanya mbah tiba-tiba.
“Ical sama temen-temen Ical sedang menikmati pelayaran dengan kapl mewah milik papanya teman Ical menuju Australia.” Jawab Ical,
Mbah memandang wajah Ical yang hanya memperhatikan api membakar kayu.
“Lalu sampai sebuah ombak yang lebih besar dari kapal menghantam kapal dan menghempaskan kami ke laut.” Ical menarik napas panjang lalu memasukkan lagi kayu bakar ke tunggu.
“Mbah tinggal sendiri disini?” Tanya Ical kemudian.
“Dulu disini itu ada sebuah perkampungan tapi sekarang tinggal sedikit yang tinggal disana jadi mbah membangun tempat yang agak jauh dari mereka.” Ucap Mbah lalu bangkit dan menegak air putih dari kendi.
“Mbah asalnya dari mana?”
“Tanah jawa.” Ucap Mbah.
“Mbah sendiri bagaimana bisa sampai dipulau ini?”
Mbah memandang keluar lewat jendela lalu menatap dan tersenyum ke Ical, “Mbah naik kapal berhari-hari hingga terdampar disini.”
Ical tersenyum lalu memperhatikan api di tungku lagi.

***

Setelah menunggu hampir dua jam. Radit, Dita dan Winta menunggu untuk bertemu dengan papanya Andin akhirnya bisa bertemu juga.
Mereka bertiga masuk ke ruangan besar yang terdapat banyak gambar kapal dan banyak gambar foto. Setelah bersalaman dengan papanya Andin Winta duduk setelah dipersilahkan.
Papanya Andin yang bernama Malaya menarik napas panjang lalu menghubungi sekretarisnya untuk membawakan minum untuk mereka.
“Maaf om kalau boleh tau apa yang terjadi dengan kapal?” Winta langsung bertanya tanpa basa-basi, “tadi Radit memberitahu saya bahwa kapal kehilangan kontak.”
Papanya Andin tak bisa menyembunyikan lagi apa yang terjadi, “Kami kehilangan kontak dengan mereka tiga malam lau.”
“Kami sudah berusaha menghubungi mereka, bahkan kami menghubungi mereka lewat satelit, tapi belum ada jawaban juga.”
Tok..tok..tok..seorang laki-laki masuk membawa nampan berisi jus jeruk dan secangkir kopi.
“Terima kasih.” Ucap pak Malaya setelah laki-laki itu menaruh minuman di meja lalu laki-laki itu keluar.
Winta berucap,” Apa yang terjadi pada mereka?”
“Ayo silahkan di minum dulu.” Ucap pak Malaya basa basi lalu menyeruput kopinya.
Untuk menghormati papanya Andin maka Wintara meminum sedikit minuman yang telah disuguhkan kepadanya.
Pak Malaya bangkit menuju meja kerjanya, menghubungi seseorang melalui telepon kantor dan berbicara sedikit.
“Winta, kami disini juga cemas dengan keadaan mereka semua, kami masih terus berusaha menghubungi mereka tapi belum ada jawaban juga.” Ucap pak Malaya yang berusaha menenangkan dirinya sendiri.
“Lalu?” Tanya Radit yang juga khawatir dengan keadaan Andin dan Ical.
“Ikut saya.” Pak Malaya bangkit dan memimpin mereka ke sebuah gedung, “Disinilah kami masih terus mencoba menghubungi mereka.”
Seorang laki-laki seumuran pak Malaya menghampiri mereka, “Untung bapak kemari, kami berusaha melalui satelit mengecek koordinat mereka, walau agak susah tapi kapal itu akhirnya terdeteksi juga, anehnya kapal itu tak bergerak dari koordinat sebelumnya padahal sudah 2 jam berlalu.” Jelas laki-laki itu.
“Apa mungkin kapal itu mengalami kerusakan?” Tanya Dita kepada laki-laki itu.
“Kemungkinan itu terjadi, tapi kita tak tahu separah apa kerusakan kapal yang menyebabkan kita kehilangan kontak dengan mereka.” Ucap laki-laki itu sambil membawa mereka ke ruang komunikasi.
Seseorang datang menghampiri laki-laki itu lalu memberikan berkas kepadanya, pak Malaya melihat apa yang ada dikertas itu, lalu pak Malaya segera menjauh dari Wintara, Radit dan Dita.
“Kenapa mereka?” Tanya Dita pada Radit.
Winta tak bisa berbuat apa-apa, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri sambil menunggu penjelasan dari pak Malaya.
“Usahakan semaksimal mungkin untuk berkomunikasi dan mengetahui keadaan mereka.” Pak Malaya memberi perintah lalu mengajak mereka bertiga kembali ke ruangannya.
Setelah sampai di ruangannya kembali, “Saya sudah tidak dapat menyembunyikannya dari kalian. Saya menerima informasi terbaru, 2 hari lalu terjadi gempa dasar laut dan gelombang naik tidak seperti biasanya, koordinatnya tak jauh dari tempat terakhir kali kapal itu berada, segala kemungkinan bisa terjadi.” Pak Malaya menunggu reaksi dari mereka bertiga terutama Winta.
Winta terduduk di sofa, wajahnya tampak terpukul, “Ya Allah lindungi mereka.”
“Dalam 24 jam kami menunggu informasi dulu baru menghubungi keluarga para penumpang. Tapi karena ini juga menyangkut hidup dan mati anak saya dan teman-temannya maka saya minta bantuan kamu Win, kamu hubungi keluarga mereka dan beritahukan kepada mereka untuk menunggu informasi selanjutnya.” Pak Malaya jongkok di sebelah sofa yang diduduki Winta.
Wintara masih terdiam, wajahnya menatap lantai dengan pandangan yang kosong sedangkan Radit memeluk Dita yang sudah menangis karena mendengar kabar tentang adiknya.
Pak malaya bangkit dan tiba-tiba menonjok dinding dekat jendela, “Kenapa aku begitu bodoh membiarkan anakku dan teman-temannya pergi menaiki kapal itu.” Sekali lagi kepalan tangan nya menghantam tembok.
Winta berdiri, “Aku akan menghubungi keluarga mereka dan mengusahakan agar mereka tenang. Permisi saya harus pergi.” Winta segera keluar ruangan.
Radit mengejar Winta, “Biar aku antar dan bantu menjelaskan kepada keluarga mereka.”
Wintara tersenyum, “Cukup antarkan aku mengambil mobilku, biar aku yang bicara dengan mereka.”
“Baiklah.”

***

“Tempat tidur sudah jadi.” Ucap Han bangga atas kerjanya membangun tempat berteduh.
“Hehehehehe….bisa juga lo bangun tenda buat kita.” Puji Jihad.
“Ya elah kaya gini doang sih gampang.” Han bersikap sedikit sombong.
“Ah baru dipuji sedikit aja dah sombong banget lo.” Ucap Nika menggoda.
“Woi gw dapet ikan nih, untung tuh kolam ternyata banyak ikannya, buruan dah siapin kayu bakarnya.”
Rudi yang baru datang sambil membawa kumpulan kayu yang akan digunakan untuk kayu bakar. Segera saja Jihad membantu Rudi membawa dan langsung membuat api unggun sedangkan Fad dan Nika membantu Sandy membersihkan ikan yang telah didapat Sandy.
Hari itu sudah senja, mereka menikmati makanan pertama mereka selain kelapa.
“Gw gak nyangka ikan tanpa bumbu juga begitu nikmat.” Han terus menyantap jatah ikan untuknya.
“Ya gw juga baru sadar, ikan tuh nikmat banget.” Fad mendukung ucapan Han.
Sandy dan Jihad yang telah selesai makan duluan bangkit dan berjalan menuju semak-semak.
“Woi mau ngapain lo?” Teriak Rudi pada mereka.
“Mau cari kayu buat bikin pager, biar lebih aman.” Ucap Jihad sambil berteriak.
“Gw bantu mereka yah, Han lo jaga Fad sama Nika aja.” Rudi meninggalkan mereka dan menyusul Sandy dan Jihad.

***

“Mbah gak kesepian tinggal sendirian disini?” Tanya Ical sambil menikmati singkong rebus.
Mbah menggelengkan kepalanya, “Mbah tak selalu sendiri, nah itu mereka datang.”
“Siapa mereka?”
“Murid-muridku, setiap malam dua hari sekali mereka datang untuk berlatih silat.” Jelas Mbah lalu mendekati beberapa pemuda yang datang yang kemudian langsung salim kepada Mbah.
“Tamu Mbah sudah sadar yah?” Tanya seorang pemuda yang tubuhnya paling tegap.
Mbah tersenyum pada pemuda itu, “Ical mari kenalkan mereka ini Ar dan Li 2 murid utamaku, sedang yang lainnya biar mereka mengenalkan diri mereka sendiri.”
Ical menghampiri semuanya dan menyalaminya.
“Ical mari bantu Mbah dan Ar membuat minum.” Mbah masuk kedalam rumah sedangkan pemuda yang lain berjalan melewati halaman samping dipimpin oleh Li.

***

Winta tak langsung memberitahu keadaan Ical dan yang lainnya, ia memilih besok pagi. Sebelumnya ia meminta papa dan mamanya Ical untuk kembali dulu ke rumah.
“Ya ampun aku lupa harus menghubungi Fahmi.” Segera saja Winta menghubungi ponsel Fahmi.
“Halo mas Winta yah, gimana? Ada kabar tentang mereka?” Ucap Fahmi buru-buru ketika menerima telepon dari rumah Ical.
“Mas gak tahu harus berkata apa, kapal mereka…terjadi sesuatu dengan kapal mereka, tapi belum ada kepastian, mas menunggu sampai besok pagi untuk memberitahu keluarga Ical dan yang lainnya sedangkan mungkin informasi pastinya baru siang atau sore besok diketahui oleh papanya Andin.” Ucap Winta cepat karena ia ingin Fahmi mendengarkan kata-katanya sebelum terjadi apa-apa.
“Terima kasih mas, Fahmi usahakan untuk kembali ke Indonesia. Fahmi gak bisa menunggu kabar disini.”
“Apa nantinya gak menimbulkan masalah?” Tanya Winta.
“Sudahlah mas, Fahmi lebih gila lagi kalau harus tetap disini.” Fahmi menutup teleponnya.
Fahmi segera menuju ke apartemen Ron, “Ron buka pintu,” Fahmi menggedor pintu pintu apartemen Ron.
“Ada apa sih Mi?”
“Ron bantu gw ngurus kepulangan gw.”
“Lo mau ke Indonesia, kok mendadak gitu?”
“Adek sama temen-temen gw kena musibah gw harus balik secepatnya.”
Ron menghela napas, “Okelah.”

***

Ical tertawa ketika melihat Ar terjatuh ketika melawan Li, bukan karena Li berhasil menjatuhkannya tapi lebih karena Ar tak hati-hati dan tersandung batu.
Ar memandang Ical dengan tatapan kesal. Ar mengambil salah satu tongkat yang dipegang oleh seorang murid lalu melemparkannya kearah Ical, bila Ical tak cepat menyadarinya maka dapat dipastikan tongkat itu akan melukainya karena ketika Ical menghindar tongkat itu menancap ditanah cukup dalam sehingga tongkat itu dapat berdiri tegak.
Ical yang tak suka dengan sikap Ar bangkit dan mengambil tongkat yang tadi di lemparkan padanya.
“Mau membunuhku?” Tanya Ical dengan nada mengejek, “Tak malu melawan perempuan?”
“Jangan hanya bicaramu dan tawamu saja yang menantang tapi kalau kau berani hadapi aku.” Tantang Ar, “Aku persilahkan kau menyerang terlebih dahulu.”
Ical mencari keberadaan Mbah disana, ketika dilihatnya Mbah sedang duduk memperhatikan mereka dari belakang Ical, Mbah mengangguk pada Ical.
Ical serasa telah mendapat restu dari Mbah untuk melawan Ar sehingga ia tak perlu mengendalikan kekuatannya.
“Baik, aku akan menyerangmu terlebih dahulu.”
Ical memutar sekali tongkat yang berada ditangan kirinya lalu melemparkannya ke atas, lemparan yang begitu tinggi sehingga membuat perhatian semuanya tertuju kesana, dalam sekejap Ical telah berada dibelakang Ar dan menggoda Ar sedikit, “Jangan alihkan perhatianmu dariku.” Bisik Ical.
Ar yang kaget segera melenting ke depan dan menghindari Ical yang berada dibelakangnya. Ical meloncat mengambil tongkatnya yang hendak jatuh ke tanah.
Ical langsung meyerang Ar dengan tongkatnya lurus kearah perut, Ar berhasil menghindar dan memukul tongkat Ical dengan tongkat ditangannya, Ical menyerang lagi kali ini kaki Ar menjadi sasarannya, Ar berhasil menghindar lagi tapi Ical tetap menyerang kearah kaki Ar, kini ia merubah serangannya dengan menyabet kaki Ar mulanya Ar bisa menghindar dengan baik tapi tiba-tiba Ical menaikan serangannya kearah pingga Ar dan Ar tak cukup meloncat tinggi akhirnya paha Ar terkena hantaman tongkat di tangan Ical.
Ical berhenti sebentar memberi kesempatan bagi Ar untuk merasakan sakitnya sabetan tongkat Ical.
Ar yang awalnya merasa yakin bahwa Ical tak punya kemampuan apapun kini mulai goyah keyakinannya itu, ternyata Ical cukup cerdik juga, dengan gerakan sederhana Ical berhasil mengenai tubuh Ar.
Ar bersiap menyerang Ical, ia mendekati Ical dengan sekali salto depan dan menghantamkan tongkatnya kearah kepala Ical, Ical sudah mengira bahwa pukulan itu sangat bertenaga maka Ical tak hanya menahan tongkat itu di atas kepalanya tapi Ical langsung mendorongnya ke arah kiri sedangkan badannya bergerak kearah berlawanan dengan cepat Ical menendang pinggang Ar yang terbuka.
Buk…Ar tersungkur di tanah, ia merasa pinggangnya terasa sakit bahkan menjalar ke kakinya, kakinya lemas tapi Ar memaksakan diri untuk tetap melawan Ical, Ar bersiap untuk menyerang lagi, kali ini ia meyongsong Ical dengan kakinya, Ical tak cukup jauh menghindar dari Ar, tongkat Ar tiba-tiba menyerangnya maka Ical dengan cepat menahan dan mengunci tongkat itu dengan tangannya yang kosong, dengan tangannya yang memegang tongkat Ical menyerang Ar hingga akhirnya Ar kehilangan tongkatnya.
“Cukup.” Ucap Mbah tiba-tiba.
Ical melepaskan tongkat Ar dari tangannya.
“Belajar dimana Ical?” Tanya Mbah.
“Diajari kakekku.” Jawab Ical singkat.
Mbah mendekati Ar, “Kau tak apa-apa?”
Ar yang sebenarnya masih merasakan sakit dipinggang hanya mengangguk karena ia tak mau diremehkan Ical.

***






7

Suara tangis pecah dirumah Ical ketika Winta memberi tahukan kabar yang menimpa kapal dewa samundar.
“Bagaimana bisa itu terjadi?” Tanya papanya Ical pada Wintara.
Wintara bingung mau menjawab apa karena semua itu terjadi memang diluar kendali manusia, hal itu terjadi karena pergerakan alam.
“Winta, bagaimana itu terjadi?” Kini ayahnya bertanya padanya.
Winta memandang ayahnya, ibunya, papa dan mamanya Ical serta Paun yang tak jauh dari mereka, “Winta hanya tau terjadi gempa dasar laut di tempat terakhir kapal itu berada, selama tiga hari papanya Andin berusaha tetap berhubungan dengan kapal itu tapi sia-sia saja. Aku sengaja memberitahukan om sama tante sekarang karena aku baru siang ini mendengar kepastian kabar itu. Om dan tante pergilah ketempat om Malaya, saya akan menyusul karena saya akan memberitahukan kabar ini kepada keluarga teman-teman Ical yang lainnya.” Jawab Winta, “Maaf om, maaf tante Winta tak segera memberitahukannya.”
Papanya Ical mendekati Winta lalu memeluknya, “Beri tahukan kepada keluarga teman Ical, nanti om kabari dari tempat Malaya.”
Winta mengangguk setelah melepaskan pelukkan Pak Madewa lalu pamit.

***

Suasana berubah tegang ketika semua keluarga Ical dan teman-temannya berkumpul dikediaman Pak Malaya. Tak ada yang berbicara walaupun banyak yang akan ditanyakan. Para Ibu menangis tanpa suara walau begitu air mata mereka terus keluar dari sudut mata.
Setelah disuguhkan minuman dan makanan seadanya suasana tak berubah. Winta yang tak bisa berdiam terus mondar-mandir kedalam dan keluar rumah, entah apa yang terjadi padnya ia tak bisa bersikap tenang.
Semua yang hadir disana tak bisa saling menyalahkan karena mereka sadar betul hal itu adalah kejadian alam.
Kak Ji datang atas panggilan Winta.
“Bagaimana cerita yang sebenarnya? Tanya kak Ji pada Winta.
Winta menghela napas lalu menceritakan semuanya, “hanya itu yang ku tahu.”
“Tenang saya akan bantu kamu biar gak terjadi masalah lain.” Kak Ji masuk kerumah dan berkenalan dengan keluarga anak latihnya selama ini.
“Bapak-bapak, ibu-ibu mari kita doakan saja keselamatan mereka semua, saya kenal bagaimana mereka diluar rumah, mereka anak yang baik dan sangat peduli pada sekitar, Allah pasti melindungi mereka semuanya.” Ucap Kak Ji berusa menenangkan hati-hati yang resah.
Pak Malaya tiba-tiba muncul diruangan itu, semua mata tertuju padanya, “maafkan saya semua ini salah saya, saya yang mengizinkan mereka semua turut dalam pelayaran perdana kapal itu karena saya berpikir mereka akan sedang dengan perjalan itu.” Ucap Pak Malaya menahan keingannya sendiri untuk menangis.
Papanya Ical mendekatinya lalu memeluk pak Malaya, “Semua sudah takdir, kita tak bisa berbuat apa-apa.”

***

Selama tiga hari tak ada kepastian kabar dari mereka, sedangkan pak Malaya tak bisa secepatnya melakukan pencarian karena belum mendapatkan izin dari negara melihat keadaan disana masih sering terjadi gempa.
Selama tiga hari juga Rudi dan yang lainnya merasa kesepian, capai dan sedih dengan keadaan mereka, untung saja untuk masalah makanan tak ada masalah begitu juga tempat mereka berteduh, hujan yang hanya sesekali turun dengan rintik-rintik menambah suasana hati mereka keruh, mereka mulai berpikir bahwa mereka kehilangan sahabat mereka yang lainnya, Andin, Bayu, Koko dan Ical.
Fad dan Nika mulai bermimpi aneh ketika mereka tertidur sedangkan Jihad dan Han berusaha menenangkan mereka dan menemani mereka terus. Rudi berusaha lebih tegar dengan belum diketahuinya nasib Ical dan yang lainnya, tapi ia semakin jarang bicara. Sandy yang memang sudah biasa jauh dari kedua orang tuanya dan keluarganya yang lain tiba-tiba merasa rindu dan ingin pulang juga, ia berjanji bilaa pulang nanti ia akan menikmati hari-harinya ditengah keluarganya.
Rudi dan Sandy yang semenjak pagi telah berjalan ke arah pantai terkejut dengan keadaan pantai yang telah berubah, awal mereka sampai disana tak ada jejak kapal maupun penumpang kapal selain mereka, tapi kini di pantai telah berserakan barang-barang yang sudah pasti berasal dari kapal. Rudi dan Sandy segera memungut barang-barang yang mereka kira bisa berguna nantinya.
“Rud…Rudi…”Panggil Sandy dari kejauhan.
Rudi menaruh barang hasiln pungutannya didekat semak-semak lalu menghampiri Sandy. Rudi terkejut, ia melihat Sandy tengah menolong Andin keluar dari air laut dan Rudi pun terkejut ketika dilihatnya sesosok tubuh lagi sedang mengambang tak jauh dari mereka.
Tanpa pikir panjang Rudi menarik tubuh yang masih terombang ambing oleh air laut, rupanya itu Koko. Sangat bersyukur rudi dengan ditemukannya Andin dan Koko.
Sandy berusaha menyadarkan Andin setelah tahu bahwa Andin masih hidup, ia memberikan tekanan pada dada dan perut Andin hingga Andin mengeluarkan air dari mulutnya.
Setelah keluar dari Air Rudi segera mengecek apakah Koko masih bernyawa atau tidak, syukurlah ia masih bernapas namun begitu palan napasnya. Rudi melakukan pertolongan sebisanya hingga akhirnya napas Koko mulai normal.
Sandy dan Rudi membawanya ketempat tadi Rudi meletakkan barang hasil pungutannya. Mereka beristirahat sebentar. Sandy membagi barang bawaan mereka lalu kembali ke tempat bermalam mereka bersama Andin dan Koko.
Fad dan nika langsung menolong Rudi yang membawa Andin sedangkan Jihad dan Han menolong Koko yang dipapah Sandy.
Nika dan Fad dengan petunjuk dari rudi dan Sandy merewat Andin sedang Jihad dan Rudi sendiri merawat Koko, Sandy dan han mencari makanan untuk mereka semua juga mereka mencari kelapa untuk nantinya diminumkan kepada Andin dan Koko agar kondisi mereka bisa bertahan.

***
Ical dan Ar telah melupakan kejadian beberapa hari lalu, justru kini mereka berteman. Ical juga menjadi lebih kenal dengan Li yang tak banyak berbicara dan memberikan komentar tak seperti Ar yang sedikit lebih banyak bicara.
Setiap hari Ar dan Li membantu mbah untuk mencarikan obat untuk Ical dan kini mereka berdua atas permintaan Mbah mengajarkan segala yang mereka bisa, Mbah melihat sesuatu yang lain dari Ical. Mbah menginginkan apa yang telah dipelajari oleh kedua murid utamanya itu menjadi pengetahuan untuk Ical juga.
Pada latihan ketiga pada hari ketiga yang bertepatan dengan hari latihan bagi semua murid Mbah, Ical telah banyak kemajuan dalam silat, bahkan Ical telah berhasil mengisi kekosongan pada jurus-jurus silat yang telah di milikinya selama ini. Untunglah daya ingat ical cukup bagus sehingga ia mengingat semua hal yang telah diajarkan padanya.
Malam itu Mbah meminta semua untuk duduk melingkar. Mbah menunjukkan gerakan baru utuk semuanya, yang kemudian diajarkan satu persatu kepada semua murid oleh Ar dan Li. Sedangkan ical diajak berbicara oleh Mbah.
“Ical siapa nama lengkapmu?” Tanya Mbah yang kemudian meneguk air dari kendi.
“Icalia putri Madewa.” Jawab Ical.
“Ayahmu dan kekekmu?”
“Ayahku bernama Madewa dan kakekku bernama Halim Sadyatama.” Ucap Ical yang kemudian bingung karena melihat perubahan sikap pada Mbah.
“Kakekmu Halim Sadyatama?”
Ical mengangguk, “Ada apa Mbah?”
“Kamu…cucunya Sadyatama?”
Sekali lagi Ical mengengguk.
Kakek tak bertanya lagi, kini ia diam seperti memikirkan sesuatu. Ical yang tak ambil pusing dengan pertanyaan-pertanyaan kakek memperhatikan Ar dan Li melatih.

***

“Fahmi.Kamu…”
Fahmi memeluk ibunya, ia begitu rindu padanya, “Mana Ayah?”
“Diruang tivi.” Jawab Ibunya yang kaget sekaligus senang.
Kaget karena kepulangan Fahmi yang tanpa kabar dan belum waktunya, ayah Fahmi terlihat marah, “Kenapa kamu pulang?”
“Fahmi harus mencari teman-teman Fahmi yang kapalnya hilang beberapa hari lalu, Yah.” Ucap Fahmi pelan.
“Mereka kan punya keluarga? Kamu gak harus pulang ke Indonesia dan meninggalkan kuliahmu.” Ucap ayhnya tegas.
“Mereka sudah seperti keluarga bagi Fahmi dan satu hal ayah, Fahmi gak mau kehilangan mereka seperti ayah kehilangan adik ayah.” Fahmi pergi kekamarnya dan mengambil uang simpanannya di laci kamar.
“Fahmi apa maksud kamu? Bagaimana kamu tau tentang adik ayah?” Ucap Ibunya pada Fahmi.
“Aku tahu semua bu, aku tahu semua dari buku ini, buku catatan ayah.” Fahmi meberikan buku yang berada dilaci kepada Ibunya.
Ketika Fahmi hendak keluar kamar ternyata ayahnya sudah berada didepan kamarnya, “Kamu harus kembali ke Australia.” Ucap ayahnya tegas.
Fahmi pun menggelengkan kepalanya, “Ayah, Fahmi tahu ayah inginkan yang terbaik untuk Fahmi tapi tolong ayah biarkan Fahmi disini dulu sementara waktu sampai mereka ketemu.”
“Kamu harus kembali ke Australia.” Ucap Ayhanya lebih tegas lagi.
“Gak, atau lebih baik ayah ikut aku menemui keluarga mereka, ayah akan tahu apa alasanku memaksa untuk pulang.”
Ayahnya Fahmi berpikir tak ada salahnya mengikuti keinginan Fahmi karena pasti disana juga ia akan mengetahui nasib Bayu yang telah menjadi teman karibnya Fahmi sejak lama, namun ia tak bisa mengungkapkan rasa kuatirnya terhadap bayu yang sudah seperti anaknya sendiri, “Baik Ayah ikut kamu, Ayah ingin tahu apa yang membuatmu memaksa kembali ke sini.”
Akhirnya Fahmi dan kedua orang tuanya pergi setelah Fahmi menghubungi Winta.
Mereka langsung menuju rumah Ical.
“Ini rumah siapa Mi?” Tanya Ibunya.
“Ini rumahnya Ical yah.”Fahmi masuk kedalam rumah setelah memarkir mobilnya di depan garasi.
Saat itu Winta yang memang menunggu Fahmi langsung membuka pintu setelah mendengar bel berbunyi. Winta memeluk Fahmi dan kemudian menyalami kedua orang tua Fahmi lalu mempersilahkan mereka masuk dan duduk diruang tamu.
Fahmi dan Winta masuk ke ruangan lain untuk menemui papanya Ical.
“Om ada Fahmi temannya Ical ingin bertemu dengan Om.” Ucap Winta.
Papanya Ical langsung memeluk Fahmi ketika melihatnya, entah kenapa di pertemuannya yang kedua dengan Fahmi papanya Ical merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang lebih kuat dari perasaan saat pertama bertemu Fahmi.
“Om, Fahmi ingin om menemui seseorang.”
“Siapa?” Tanya papanya Ical.
Fahmi tak menjawab tapi hanya mempersilahkan dia untuk menuju ruang tamu. Winta berjalan dibelakang mereka.
Begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya hingga papanya Ical membeku, ia tak bisa berkata dan seolah tak bisa bergerak. Ayahnya Fahmi yang juga terkejut bangkit dari duduknya. Lidah mereka terasa kelu untuk berbicara, terasa sulit sekali menelan ludah sendiri. Keduanya mendekat, terlihat mata mereka menahan haru, sesaat mereka hanya saling memandang tanpa berkata.
“Ayah… Ini Papanya Ical, temanku.” Ucap Fahmi. Lepaslah kekakuan mereka, mereka saling berpelukan, berpelukan dengan erat, saling melepas rindu yang telah lama tersimpan dalam diri mereka.
“Mas kemana aja selama ini?” Tanya papanya Ical pada Ayahnya Fahmi yang sebenarnya merupakan saudara yang telah lama terpisah.
Ayahnya Fahmi tak bisa menjawab pertanyaan mudah itu, dari sudut matanya meneteslah air mata kebahagiaan karena telah bertemu dengan adik yang sangat disayanginya. Sekali lagi mereka berpelukan melepas rindu.
“Winta panggil tante.” Pinta Pak Madewa.
“Ayah…” Panggil Fahmi pada ayahnya.
“Oh iya…ini anakku Fahmi, kau sudah kenal dia bukan?” Ucap Ayahnya Fahmi sambil menghapus air mata yang tadi sempat menetes.
“Yah aku kenal dia, pantas dia begitu mirip denganmu ternyata dia memang anakmu mas.” Papanya Ical memeluk Fahmi dengan perasaan bahagia.
“Dan ini istriku.”
Papanya Ical menyalaminya, “Kakak iparku.”
Mamanya Ical datang bersama Winta.
“Fahmi, bukannya kamu di Australia?” Tanyanya ketika melihat Fahmi.
“Tante.” Fahmi salim kepada mamanya Ical.
“Ma mari kenalkan ini Diandra, kakakku yang dulu sempat pergi sangat lama, kini kami telah bertemu lagi, ini kakak iparku dan Fahmi adalah keponakan kita.” Jelas Pak Madewa pada Istrinya.
Mamanya Ical begitu terharu dengan keadaanya itu karena ia tahu seberapa besar kerinduan dan kasih sayang suaminya terhadap kakaknya itu. Ia juga bahagia ternyata Fahmi adalah keponakannya dan Ical tak harus merasa sendiri lagi.
“Ayah… sekarang Fahmi bisa menjelaskan kenapa Fahmi kembali ke Indonesia, karena Ical juga turut kapal yang karam beberapa hari lalu ketika menuju ke Australia.” Ucap Fahmi.
Ayahnya mengangguk, “Ya, ayah mengerti sekarang.”
“Jadi Ayah izinkan Fahmi ikut mencari Ical?”
“Ya ayah Izinkan.”

***

Andin yang tersadar lebih dahulu daripada Koko yang ditemukan bersamanya langsung diminta oleh Nika dan Fad untuk meminum air kelapa dan memakan sedikit ikan bakar agar keadaanya cepat pulih tapi Andin menolak memakan ikan tersebut. Andin masih terlihat trauma dengan peristiwa itu, tatapannya kosong dan ia masih belum mau bicara. Fad dan Nika setia menungguinya sambil terus berusaha mengajaknya bicara.
Koko yang belum sadar secara paksa diminumkan air kelapa karena takutnya Koko mengalami dehidrasi karena selama beberapa hari ia terombang-ambing dilautan. Nika dan Fad sesekali bergantian membersihkan luka yang ada ditubuh Koko.
Rudi, Jihad, Han dan Sandy bekerja memperluas tempat mereka bermalam, mengumpulkan sebanyak-banyaknya kayu bakar dan menyisakan sedikit persediaan buah-buahan dari hutan.
Sehari semalam Andin belum mau bicara juga tapi dia sudah mau untuk makan dan minum serta membersihkan badannya.
“Kak, Kak Andin…” Panggil Fad kepada Andin yang sedang termenung menatap langit sore itu.
“Kak Andin jangan diam aja dong, bicara biar kami tahu keadaan kak Andin.” Ucap fad sedikit memaksa. Andin bereaksi dengan melihat sekilas wajah Fad dan Nika.
Nika mendekat lagi kepada Andin, “Kak Ical pasti gak suka kalau kak Andin diam kaya gini, kalau kak Ical ada pasti sedih kalau ngelihat kak Andin diam aja.”
Andin melihat Fad dan Nika secara bergantian, matanya mulai berkaca-kaca dan ia mulai menangis, “Tapi Ical tak ada disini, aku gak tahu apakah dia selamat atau tidak, dari pada aku tahu ia yang meninggal lebih baik akau yang meninggal.”
Fad dan Nika yang baru sadar mengapa Andin begitu shok dengan kejadian itu karena ia tak menemukan Ical disampingnya ketika ia sadar, langsung saja Fad dan Nika memeluk Andin.
“Kak Ical pasti selamat kak, kak Ical kan orang baik pasti dilindungi.” Ucap Fad sambil menangis juga.
“Iya kak Ical pasti selamat, mungkin dia ada di bagian pulau ini hanya saja kita belum bertemu dengannya, jangan nangis yah kak.” Ucap Nika terbata-bata.
Rudi yang melihat mereka bertiga saling berpelukkan menjadi bingung, “Ada apa?” Tanyanya.
Nika dan Fad melepaskan pelukkannya.
“Rud, udah ketemu sama Ical?” Tanya Andin tiba-tiba.
Rudi menatap Andin dan tersenyum lalu menggeleng, “Tapi aku yakin dia pasti selamat.”
“Fad, Nika bantu Sandy bersihin ikan tuh.” Teriak Han.
“Kak kita tinggal dulu yah, kak Andin gak apa-apakan?”
“Gak apa-apa kok Fad.” Andin tersenyum.
“Nah gitu dong, senyum jangan nangis.” Puji Rudi.

***

Li dan Ar dipanggil Mbah ke tebing yang menjadi perbatasan darat dan laut tempat tinggal mereka. Mereka menunggu kata-kata keluar dari mulut sang guru dan orang tua yang ada dihadapan mereka sekarang, yang duduk bersila membelakangi mereka.
Dalam keheningan senja hari itu mereka bertiga saling terdiam, kedua pemuda tak berani berkata-kata dan hanya sekedar saling melirik, berkata lewat isyarat.
“Nikmatilah sore ini, udaranya, mataharinya dan pemandangan ini.” Ucap Mbah tiba-tiba.
Li mengerutkan keningnya, hati ingin bertanya tapi tak cukup keberanian untuk itu, ia menurut saja. Merapihkan duduknya memandang matahari di depan mereka yang sebentar lagi tenggelam ke dalam birunya laut. Menikmati hembusan angin yang serasa makin kencang dan makin riang bermain diantara mereka bertiga.
Ar dalam keadaan yang sama dengan kedua orang itu menutup matanya, menikmati sisa hangat mentari dan dinginnya angin dengan perasaannya. Tiba-tiba ia teringat pula dengan Ical semakin lama ia menikmati suasana semakin jauh ia memikirkan Ical, mengenang pertemuan pertamanya, saat-saat bersamanya dan tiba-tiba ia kehilangan gambaran tentang Ical. Ia membuka matanya.
Mbah sudah duduk menghadap Ar dan Li. Ar sedikit kaget karena Mbah meliriknya, segera ia sedikit salah tingkah, ia takut kalau-kalau mbah tau apa yang dipikirkannya tadi.
Mbah mengambil napas panjang serasa ingin menghirup semua udara disekitar mereka, “Ical…” Satu kata keluar dari mulutnya.
Li mengerutkan keningnya.
“Aku minta tolong pada kalian bawa Ical keluar dari sini dan bimbing ia bertemu dengan teman-teman, bimbinglah juga orang-orang yang akan mencari mereka agar bertemu mereka secepatnya.” Ucap Mbah tegas.
“Ada apa Mbah?” tanya Ar.
Mbah menyempatkan melihat sebuah gunung besar yang berada di laut samping kanannya lalu kembali berbicara, “Ia Icalia Putri Madewa, anak dari Madewa dan cucu dari anakku Halim Sadyatama. Tak seharusnya ia berada disini.” Mbah memandang Ar dan Li.
“Bawalah ia pergi secepatnya aku memberikan waktu pada kalian sampai esok malam.” Mbah berdiri dan angin membawanya dari mereka berdua.
Ar menundukkan kepalanya, ia sungguh akan merasakan kehilangan akan kepergian Ical nanti, ia merasa sudah jatuh hati pada gadis yang tak akan bisa bersamanya.
Li berdiri, “Tak lama lagi tempat ini akan hilang bersama dengan kepergian Ical. Kau tentu masih ingat bukan tentang hal ini?”
“Ya, hanya saja aku tak terpikir bahwa yang dimaksud dalam cerita itu adalah Ical.” Ar membaringkan tubuhnya. “Aku merasa dekat dengannya, kau tidak merasakan itu?”
Li menatap tajam kearah Ar, “Kau jatuh hati padanya? Ingat kita tak boleh melakukan itu. Lupakan dia dan jalankan tugas kita secepatnya.”
“Kau membohongi hatimu sendiri Li, aku sering melihat kau tersenyum sambil melirik kepadanya. Kau tak pernah seperti itu selama ini, ingat aku mengenalmu.” Ar bangkit dan berjalan kearah hutan lalu menghilang sekejap mata.
Li terduduk, ia sudah tak dapat memungkiri lagi hatinya suka pada gadis itu. Mungkin ia bisa merasa lebih kehilangan dari pada Ar yang terang-terangan suka kepada Ical. Apa yang akan ia lakukan sekarang.?
“Aku hanya menganggap ia sebagai sahabat saja, temui aku besok disini pada waktu yang sama.” Suara Ar memasuki lerung batin Li.

***

Satu persatu orang berdatangan kerumah Ical, menunjukkan muka sedih dan muka penasaran dengan kejadian yang sebenarnya. Sebuah motor menderu dibelakang orang-orang yang tengah berjalan memasuki halaman rumah Ical. Orang-orang itu memberi jalan agar motor itu bisa mendahului mereka. Motor itu kemudian terpakir di depan sebuah garasi, mengemudinya segera membuka helm dan masuk kerumah Ical dengan terburu-buru.
Winta hampir menabraknya saat itu, “Oh maaf…”
Pak ji menggelengkan kepalanya, “Bagaimana keadaan Ical? Sudah ada kabar?”
“Mari masuk dulu biar pak Ji bisa langsung berbicara dengan orang tua Ical.” Winta mengajak Pak Ji masuk kesebuah ruangan yang semua orang berkumpul disana.
Pak Ji memperhatikan semua yang ada disana, anak didiknya turut kehilangan teman-teman mereka, yang paling bersedih disana adalah kedua orang tua Ical yang duduk sambil memangku anak laki-laki mereka, Paun yang tertidur pulas.
Pak ji langsung menghampiri mereka dan bersalaman, tanpa basa-basi ia langsung mencari tahu keadaan Ical dan yangg lainnya.

2 jam setelah itu, ketika dari dalam terdengan suara orang-orang mengaji untuk keselamatan Ical dan yang lainnya, Pak Ji justru terduduk ditaman sendirian, sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Ia bingung dengan perasaannya, ia merasa ada sebuah ruang yang sungguh sangat menggangunya, sebuah benda rasanya masuk kedalam ruang napanya dan membuatnya sesak. Ia memandang kelangit.
Seseorang datang, teman sejawatnya. “Sudahlah Ji, Allah pasti melindungi mereka. Gw tau perasaan lo sekarang ini, gw juga ngerasainnya.”
“Lo tau perasaan gw? Tau tentang apa? Gw yang selama ini bersama mereka, sedangkan lo muncul ketika mereka sudah membawa kesuksesan kepada kita. Aku tanya apa yang lo tau?”
“Ji…”
“Lo gak akan pernah tau, mereka itu adik-adik gw, anak-anak gw dan teman-teman gw. Bayangkan kalau dalam satu waktu loyang kehilangan ketiga hal itu. Kau baru akan tahu rasa apa yang ada didalam hidup gw.” Pak Ji meninggalkan temannya sendiri disana.

***

Pagi-pagi sekali Ical dibangunkan dari tidurnya, tapi bukan oleh Mbah melainkan oleh Ar.
“Ada apa?” Ical masih begitu ingin menenggelamkan dirinya dalam mimpi.
“Kita jalan-jalan. Cepat cuci mukamu.” Lalu Ar meninggalkan Ical.
Beberapa saat kemudian, Ical mendapati Ar didepan rumah. “Mau kemana kita? Mbah mana?”
“Sudah ikuti saja.”
Ical mengikuti Ar, awalnya mereka berjalan beriringan tapi makin lama Ar jalan jauh didepan Ical sampai akhirnya Ar menghilang dari pandangan Ical, dan ical ragu untuk terus berjalan, saat itu Li datang.
“Aku diminta Ar menemanimu jalan-jalan.” Ucap Li tanpa ekspresi.
“Ih…Ar gimana sih tadi ngajak jalan-jalan tapi dia malah pergi…kita pulang saja.” Ical berbalik arah.
“Tunggu…” Li mengejar Ical, “maaf kalau aku tak ramah padamu, ayo kutunjukkan tempat-tempat indah disini.”
Ical menurut saja.

***

Pagi itu rudi dan yang lainnya dikegutkan dengan gempa yang cukup kencang.
“Han…” Teriak Fad yang agak ketakutan. Han segera mendekati Fad dan memeluknya begitu juga dengan Nika yang sudah mau menangis.
Andin segera bangun dan keluar dari tenda, ia takut kalau-kalau tempat mereka rubuh dan menimpa mereka, yah walaupun mungkin tak berat tapi bisa saja membuat mereka terluka. Rudi dan Jihad yang sadar dengan apa yang ada dipikiran Andin segera memapah Koko keluar dari tempat itu dibantu oleh Sandy.
“Kalian juga keluar.” Perintah Sandy pada Fad, Nika dan Han.
Setelah menunggu beberapa saat mereka akhirnya bisa bernapas lega karena gempa tersebut telah usai, Sandy dan rudi segera mengecek tempat mereka tidur, harus di perbaiki atau tidak. Setelah yakin tak ada yang perlu diperbaiki mereka membawa Koko kembali ke sana, lalu mereka mulai melakukan aktifitas seperti biasa, mencari makan untuk menyambung hidup mereka sambil terus berdoa akan ada yang datang menyelamatkan mereka.
Jihad memutuskan menemani cewek-cewek yang masih agak ketakutan sekalian menjaga Koko. Rudi dan Sandy memutuskan kembali ke pantai dan melihat apa yang terjadi.

***

Winta bersama Fahmi, pak Madewa dan pak Diandra datang ketempat kerja papanya Andin, mereka sengaja diminta hadiri untuk membicarakan tentang rencana pencarian.
Pak Malaya, papanya Andin, sengaja tak melibatkan banyak pihak dari keluarga korban, ia justru takut malah menghambat pencarian dan membuat ricuh suasana.
Pak Madewa segera menyalami dan memeluk pak Malaya, sudah cukup lama mereka tak bertemu karena kesibukan masing-masing, sedang yang lainnnya hanya menyalami pak Malaya.
“Mari ikut saya, kita sudah ditunggu.” Pak Malaya memimpin mereka masuk keruangan lain, disana sudah ada banyak orang. Lalu keempatnya dipersilahkan duduk dan disuguhkan air mineral.
Pak Malaya tak langsung duduk ditempat yang disediakan ia malah segera menuju sebuah podium kecil tempat berbicara.
“Terima kasih kalian semua telah hadir tepat waktu, sebelumnya saya kenalkan 4 orang tamu kita yang nantinya juga turut serta ikut dalam pencarian.” Pak Malaya mempersilahkan keempatnya berdiri lalu setelah mereka duduk kembali ia mulai bicara kembali.
“Saya telah menyiapkan sebuah kapal yang akan kita gunakan untuk melakukan pencarian. Selain para awak kapal yang turut dalam pencarian ini kita juga akan mengikut sertakan tim SAR dan saya telah mendapatkan bantuan dari angkatan laut untuk melakukan pencarian jadi kita tak sendirian dalam melakukan pencarian.” Pak Malaya berhenti sejenak lalu meminum air yang telah disediakan untuknya.
“Telah kita sepekati bahwa kita akan memulai pencarian besok dan akan dimulai dari sini terus berlayar mengikuti jalur pelayaran kapal Dewa Samundar.”
Rapat hari itu baru berakhir sekitar pukul 15.00. pak Madewa dan yang lainnya segera pulang untuk menyiapkan apa yang perlu dibawa besok, awalnya mamanya ical memaksa ikut tapi setelah diberi pengertian akhirnya ia rela tak ikut dalam pencarian itu.

***

Bayu membuka matanya dan segera memeriksa keadannya sendiri, ia begitu lelah dan kelaparan, tapi ia segera bersyukur masih selamat dari musibah itu. Bayu mencari kayu yang bisa ia gunakan untuk membantu berjalan agar tak terlalu menguras tenaganya yang sebenarnya sudah habis. Bayu memasuki hutan dengan sangat lambat, ia juga takut kalau-kalau ada hewan buas disana, paling tidak ia takut dengan ular apalagi ular berbisa.
Sesekali ia tersenyum dan tertawa ketika menemukan pohon buah yang bisa ia makan, dengan rakus ia memakan sekuat perutnya dan kembali berjalan, ia harus menemukan tempat yang aman untuk bermalam, karena hari sudah semakin senja.
Terus berjalan hingga ia sampai pada suatu tempat yang aneh, disana terdapat sebuah makam dan didekatnya terdapat batu besar yang terdapat ukiran-ukiran. Bayu ingat film-film yang berhubungan dengan penggalian-penggalian benda-benda purbakala.
“Mungkin ini tulisan kuno yah. Kaya di film-film. Em…kira-kira tulisannnya apa yah?” Bayu agak kelelahan lalu duduk sambil menyender di batu itu, makin lama ia duduk di sana, akhirnya ia tertidur.
Bayu masuk ke dunia mimpinya. Disana ia bertemu dengan seorang laki-laki gagah, ia berdiri dihadapan Bayu dengan muka ramah dan menyapa Bayu, lalu duduk disampingnya.
Tanpa memperkenalkan siapa namanya ia mulai berbicara, menceritakan banyak hal yang harus Bayu ingat tanpa mengeluarkan sepotong pertanyaan pun.
“Ingatlah ini hanya untukmu dan dia saja, selanjutnya itu menjadi haknya. Aku akan membimbingmu menemui teman-temanmu.”
Untuk berita yang satu ini Bayu tak dapat menahan diri, “Jadi mereka selamat, siapa aja yang selamat? Andin? Rudi? Jihad?”
Pemuda itu tersenyum, “Mereka semua selamat dan kalian juga akan kembali pada keluarga kalian. Sekali lagi kuingatkan ini hanya untukmu dan di selanjutnya itu hanya menjadi haknya, ia yang akan menentukan.”
Bayu mengangguk cepat, dan ia tenggelam dalam kebahagiaannya sendiri.

***














8

Fahmi bersama Winta begitu cemas saat pencarian, walaupun dengan kecepatan penuh belum tentu mereka akan menemukan Ical dan yang lainnya dalam satu hari. Mereka berpikir semakin butuh banyak waktu mereka tak menemukannya maka semakin tipis jugalah peluang untuk menemukan mereka.
Fahmi terus bertanya pada pak Malaya yang langsung memimpin pencarian itu, kapan mereka akan menemukan Ical, Andin dan yang lainnya padahal belum ada satu hari pun mereka berlayar. Sampai suatu saat Fahmi diajak langsung keruang koordinasi yang digunakan untuk menentukan awal mula pencarian hingga akhir pencarian. Disana Fahmi dijelaskan dari mana mereka akan mulai mencari dan hingga kapan.
Bukannya semakin tenang tapi hati Fahmi semakin kacau dan kesedihan mendalam mulai merasukin hidupnya, Fahmi tak mau makan dan keluar kamar. Ayahnya bingung harus bicara apalagi agar Fahmi mau makan.

***

Bayu berjalan memapah Ical yang tak sadarkan diri. Terus berjalan sesuai dengan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Sampai akhirnya ia sampai ditempat dimana kawan-kawannya berada. Saat itu bayu kelelahan dan langsung jatuh pingsan.
Andin yang melihat kedatangan Bayu langsung menyongsongnya dan memanggil yang lain.
Bayu dan Ical segera dibawa ketemapat berteduh mereka, Andin, Fad dan Nika dengan cekatan merawat mereka, membersihkan tubuh mereka, mengecek apakah mereka terluka.
Rudi mendatangi Andin, Fad dan Nika yang sedang sibuk. “Syukurlah mereka selamat.” Rudi duduk tak jauh dari Ical dan Bayu, tanpa sepengetahuan siapa pun ia meneteskan air mata.
Dalam keadaan sibuk seperti itu tiba-tiba Koko tersadar dari pingsannya, Rudi langsung merawatnya, meminumkan air kelapa dan memberinya makanan agar kondisi Koko kembali seperti semula.

***

Senja itu, Li menemui Ar ditempat yang telah dijanjikan. Li duduk memandangi laut, tatapannnya kosong dan pikirannya tak henti-hentinya berpikir tentang Ical.
Ar memegang bahu Li, “Tenanglah kita sudah melakukan yang terbaik untuknya, dan aku percaya ia akan terus mengingat kita dalam hatinya.”
Li melihat langsung pada mata Ar, “Kau benar, itu yang terbaik untuknya, kembali ke keluarganya. Tugas kita belum selesai dan kita harus secepatnya menyelesaikan tugas ini sebelum hal itu terjadi.”
Ar menganggukkan kepalanya, “Kita lakukan malam ini.”
“Baik.”
Setelah matahari berganti dengan bulan yang hampir mendekati bulan purnama, Ar dan Li melakukan tugasnya, dengan bantuan alam mereka membimbing kapal yang digunakan untuk mencari Ical dan korban lainnya menuju ke pulau itu.
Kapal utama terpisah dengan kapal lainnya yang turut melakukan pencarian. Kapal utama itu terbawa derasnya ombak menjauh dari yang lainnya, segala upaya digunakan untuk melawan arus air laut tapi tak bisa juga. Akhirnya kapal itu benar-benar terpisah dari kapal yang lainnya.

***

Matahri menyambut wajah-wajah yang kelelahan dengan hangat, menghilangkan kecemasan dari hati mereka dan memberikan semangat baru.
Fahmi akhirnya merasa butuh mencari udara segar, ia keluar dari kamarnya. Kapal terlihat sepi dan agak berantakan.
“Hai…mana yang lainnya?” Tanya Fahmi pada salah satu awak kapal lang sedang merapihkan barang-barang yang berpindah tempat.
“Mereka diruang koordinasi, mereka akan turun dari kapal dan akan kepulau itu, karena mungkin saja ada korban yang salama disana atau setidaknya mayat mereka.” Ucap awak kapal itu sambil terus melakukan tugasnya.
Fahmi langsung berlari dan masuk ke ruang koordinasi, ia ingin ikut turun ke pulau itu, ia ingin turut serta dalam setiap pencarian lagi pula ia merindukan daratan.
Dengan beberapa sekoci 1 tim turun ke pulau itu.
“Pak Malaya pulau ini tidak ada dalam peta dan tak terdeteksi dalam satelit kita, apa tetap akan kita lakukan pencarian?” Tanya salah seorang anggota tim.
“Kita tetap lakukan pencarian, apapun resikonya.” Ucap Pak Malaya tegas.
Fahmi merasakan sesuatu, ia merasakan bahwa turun kepulau itu adalah keputusan yang tepat, “Mas aku yakin Ical akan kita temukan.”
“Ya aku juga, aku merasa ia ada disini.” Ucap Winta semangat.
Tim tersebut berjalan disekitar pantai, mulanya mereka mencari tempat yang aman untuk mendirikan kemah kalau-kalau mereka membutuhkan banyak waktu untuk menyusuri tempat itu.
Fahmi dan Winta mengikuti bagian dari tim yang ditugaskan untuk menyusuri pulau itu, mereka berjalan terus sambil berusaha mencari-cari tanda kehidupan.
Ketika Winta, Fahmi dan seorang lainnya sedang asik mengobrol, salah seorang yang lainnya segera berlari mendekati semak-semak, ia menemukan sesuatu, ia berteriak memanggil yang lain.
“Lihat apa yang aku temukan, kelapa ini dikupas dengan benda tajam bukan dengan batu, berarti ada yang selamat disini.
Membesarlah harapan Fahmi bahwa itu kawan-kawannya.

***

Ketika semua tertidur, Bayu sadar dan membangunkan Ical.
Mereka duduk dipinggir danau agak menjauh dari yang lainnya, menikmati angin malam dan sinar bulan.
Bayu memberanikan diri merangkul Ical, membawa kepala Ical ke dadanya dan memeluk Ical.
Ical menatap bayangan bulan di air danau sambil menggenggam tangan Bayu, “Jangan katakan kepada siapapun tentang hal ini, aku tak mau mereka khawatir.”
“Ya akan aku jaga baik-baik tentang hal ini, kamu gak usah khawatir akan hal itu.”
Mereka berdua kembali bersama yang lain dan tertidur lelap.

***

Pagi-pagi sekali Fahmi membangunkan yang lainnya, ia begitu semangat melakukan pencarian. Ia sudah semalaman menyiapkan diri, ia berdoa semalaman agar mereka segera ditemukan, syukur-syukur mereka dalam keadaan sehat dan tak kurang satupun.
“Mas Winta bangun dong buruan kita cari mereka…” Fahmi berkali-kali mengguncang tubuh Winta sampai akhirnya Winta terbangun.
Setelah semua yang diperlukan siap, Fahmi, ayah dan omnya serta pak Malaya berjalan di barisan depan bersama beberapa orang lainnya yang sudah berpengalaman melakukan pencarian seperti ini sedangkan Winta berjalan santai sambil mencoba menggunakan intuisinya kepada Ical, hatinya tak berhenti memohon kepada Allah akan keselamatan Ical dan yang lainnya.
Mereka terus berjalan, mereka seperti tak sadarkan diri berjalan berjam-jam di tanah berpasir hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah tempat dekat semak-semak.
Mereka baru sadar, mereka merasa seperti terhipnotis. Tapi mereka merasa beruntung berada disana, jejak-jejak tanda kehidupan semakin jelas, mereka terus mengikuti jejak-jejak itu. Semakin jelas tanaman perpotong dengan alat tajam, semakin jelas juga jejak kaki yang ditinggalkan.
Mereka terus berjalan hingga akhirnya mereka sampai di tempat Bayu tertidur tadi.
“Aneh kok ada makam ditempat ini?” Winta berjongkok di depan makam itu, sejenak ia mengirim doa, ia hanya menghormati orang yang lebih dahulu hidup saja.
“Em ini aneh… kenapa di pulau yang sejauh ini ada makam? Trus ini sepertinya sebuah prasasti, kira-kira apa arti tulisan ini?” Diandra memperhatikan tulisan yang ada di batu besar lalu berpikir sejenak, “Winta, om pinjam kamera kamu sebentar.”
Winta menyerahkan kamera yang dibawanya, “Aneh yah om?”
Diandra hanya tersenyum.
Terdengar beberapa orang berjalan kearah mereka, mereka bersiap-siap walau tak tahu apa yang akan mereka hadapi.
“Papa?” Andin berlari ketika melihat papanya berdiri didepan matanya, ia memeluk dan menangis dipelukan papanya.
Fahmi segera menyambut Ical dan yang lainnya terutama Bayu salah seorang sahabat terdekatnya.
Mereka semua tak henti-hentinya bersyukur karena keselamatan mereka.

Tamat Sementara.
Mayli Nadir